43- Cerita Argan

1096 Kata
Argan mendongak. Pemuda itu menerawang lagi. "Iya. Jadi tadi ada pembeli di minimarket gue yang perawakannya sama persis dengan penguntit hari itu yang ngikutin Bella." Ia menatap Nino dengan sorot mata penuh keyakinan. "Gue yakin itu dia. Karena gue hapal wangi parfum yang dia pakai malam itu, dan sama persis dengan yang dipakai oleh pembeli di minimarket gue tadi pagi." Begitu selesai mendengar penjelasan dari Argan itu, Nino hanya dapat menganga lebar. Ia menatap Argan tak percaya. "Gila!" Ia mengumpat keras. "Terus ... terus ... lo kejar dia nggak?" tanya pemuda itu lagi dengan penasaran. Argan seketika mengangguk. Ia menatap Nino dengan raut wajah seriusnya. "Gue kejar dia," ucapnya dengan cepat. Kemudian setelah mengingat peristiwa yang terjadi tadi pagi itu, ia sekejap mengubah raut wajahnya, menjadi muram. "Tapi gue kehilangan jejak dia pas di tikungan gang," sambungnya lagi. Nino yang sedari tadi hanya mengangguk- anggukkan kepalanya saja kini menatap Argan lagi dengan raut seriusnya. "Kok dia bisa sampai di minimarket lo, ya?" tanya Nino mengusap dagunya sembari berpikir. Argan mengedik bahunya. "Nah itu yang gue bingung, No. Kok dia bisa ada di minimarket gue itu juga masih gue pikirin." Pemuda bermata lebar itu menatap ke arah lantai dan terus sibuk berpikir. Namun detik berikutnya ia teringat sesuatu. "Tapi anehnya dia beli tisu yang sama kayak yang Bella beli waktu itu." Argan kembali mengingat- ingat dengan jelas. Nino mengerjap. "Dia ... beli tisu juga?" tanyanya. Detik berikutnya ia terkekeh saking ngerinya. "Buat apaan? Untuk apa coba seorang pria beli tisu?" Argan menggelengkan kepalanya. "Gak tahu juga motif dia apa. Tapi yang jelas tadi gue udah hapal sama muka dia dan perawakannya, jadi kalau sewaktu- waktu ketemu, pasti bakal gue kejar lagi." Ia menjelaskan dengan menggebu- gebu. Mendengar hal itu, sontak Nino mengangguk. "Lo bener," ujar pemuda itu. "Kalau suatu saat lo ketemu dia lagi, lo bisa kasih tahu gue gimana ciri- cirinya." Nino ikut menundukkan pandangannya ke arah lantai. "Tapi tunggu! Kenapa dia bisa tiba- tiba ngilang pas di tikungan?" tanya Nino dengan cepat. Ia menaikkan alisnya menatap Argan dengan bingung. Argan menggelengkan kepalanya. "Gue gak tahu juga. Larinya kenceng banget dan meskipun dia juga cuma berjalan, gue tetap ga bisa nyusul dia." Nino mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tapi aneh banget dia mendadak ilang gitu aja padahal dia gak tahu kalau lo ikutin dia, 'kan?" tanyanya lagi dengan nada tak percayanya. Nino kemudian menatap pada Argan dengan raut wajah seriusnya. "Apa jangan- jangan ... dia tahu kalau lo lagi ikutin dia?" tanya Nino lagi. Siapapun akan tercengang mendengarkannya. Sangat aneh jika ada seseorang mendadak menghilang di tempat yang bahkan untuk satu orang dapat ditemukan. Maka dari itu Nino bertanya- tanya mengapa bisa tiba- tiba si penguntit itu menghilang. Argan yang mendengar kesimpulan pendapat dari Nino itu pun sontak membelalakkan matanya lebar- lebar. "Anjir!" Pemuda itu seketika mengumpat. Ia menatap ke arah Nino dengan cepat. "Lo bener!" serunya sembari bertingkah antusias. Argan menjentikkan jemarinya. "Pantesan aja pas gue ikutin dia itu, tadinya dia yang jalan biasa aja dan pelan, bisa tiba- tiba jalannya jadi lebih terburu dan cepat. Dan pas gue samperin ke gang, dia udah gak ada, ngilang gitu aja." Argan menjelaskan dengan menggebu- gebu. Ia masih mendelik memandaang Nino di sampingnya itu. Nino dengan gerakan refleknya, pemuda itu langsung membekap bibirnya. "Jadi bener kalau dia diikutin lo?" tanyanya memastikan. Argan dengan cepat mengangguk. "Iya, artinya dia udah tahu kalau gue ikutin dia." Tidak ada yang tahu tentang isi hati si penguntit itu. Semuanya random. "Anjir gue merinding!" Nino menjerit dengan lebaynya. Ia meraba tangannya yang telanjang karena ia hanya mengenakan baju pendek. Dengan pelan ia usap- usap tangannya dan seketika bulu halus di tangannya sontak berdiri. "Ini lo lihat gimana bulu kuduk gue pada berdiri?" Nino mengangkat tangannya dan menunjukkannya ke hadapan Argan. Argan mengangguk ketika melihat memang bulu tangan Nino yang seketika berdiri. "Gue juga dengernya ngeri, sih." "Fix sih dia itu umpetan di gang itu. Lo bilang itu gang sempit dan agak gelap, 'kan?" Nino lagi- lagi berujar lebay. Ia menunjuk ke arah Argan. "Untung aja lo gak diapa-apain sama dia! Kata Bella, dia itu nekat ngelakuin apapun." Argan mengangguk. Ia secara tak sadar membenarkan ucapan Nino itu. Apa jadinya jika memang si penguntit itu benar- benar mencelakainya hari itu? Argan bahkan tak kepikiran akan hal itu dan hanya mengejar sosok penguntit itu saja. Kini ia mendadak menjadi lebih was - was. Nino kembali menyambung ucapannya dengan keras. "Lain kali kalau lo kejar dia, jangan sendirian. Pokoknya sebelum kita bener- bener kuasain tentang ilmu bela diri itu, jangan sampai kita turun tangan sendiri- sendiri!" peringatnya. "Ngerti?" Ia menunjuk- nunjuk Argan di depannya itu. Argan hanya dapat mengangguk- anggukkan kepalanya itu. Nino meremas tangannya dan menatap Argan yang tertunduk itu. "Kok zaman sekarang banyak sih orang- orang jahat kek gitu?!" Argan hanya terdiam. Ia menatap lantai kamar kosnya. Ia bahkan belum sempat melihat wajah pria itu dan kini dilanda rasa penasarannya. Jadi memang seharusnya ia dengan cepat mengejar sosok pria itu dan melihat wajahnya. Bisa bahaya kalau sampai pria asing penguntit itu menghubungi Bella lagi. Mendadak Argan jadi merasakan empati mengenai apa yang terjadi pada Bella itu. Pasti sulit dan sangat menakutkan bagi wanita itu. "Kasihan Bella ... Pantes aja dia sampai ketakutan kayak gitu." Argan dengan reflek mengucap kalimat itu. Ia masih menundukkan kepalanya memandang lantai. "Iya, kasihan Bella." Nino yang kini ikut menatap ke arah lantai kamar kosnya juga mengangguk. Ia membenarkan perkataan Argan itu. Memang benar bahwa semuanya menjadi merasa iba pada Bella. Dan kini rasanya ia ingin cepat- cepat menangkap penguntit itu, menghukumnya agar jera, hingga akhirnya membuat Bella tenang. Mendengar nama Bella yang terucap dari bibir masing - masing, seketika Argan dan Nino mendongak. Keduanya saling menatap dan memasang raut wajah terkejutnya. "Oh, iya, Bella!" Nino berseru dengan keras. Membuat Argan terkejut. Argan bahkan sampai berdiri seketika dari duduknya itu. "Iya, benar! Kita berdua 'kan udah janji mau jemput Bella!" serunya dengan nada panik. Nino memukul dahi lebarnya. "Eh iya!" Seketika mereka teringat akan menjemput Bella pulang dari mall itu. Mereka memang berjanji akan menjemput Bella selama si penguntit itu belum juga ditangkap dan dihukum. Itu semua mereka lakukan demi melindungi Bella. Kedua pemuda itu kini segera mengambil jaket tebal masing- masing dan mengambil ponsel mereka. Argan dan Nino segera berlari menuju pintu kamar, ke luar kamar dan segera menguncinya. Berikutnya dengan cepat mereka memakai sepatu mereka dan berjalan dengan langkah yang hampir berlari. Bella pasti sudah menunggu mereka sekarang. Jadi Argan dan Nino pada akhirnya berlari, mencari taksi yang akan mengantar keduanya menuju mall tempat Bella bekerja. Jangan sampai terjadi apa- apa pada Bella karena penguntit itu telah mengetahui tentang Argan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN