4. Hari Buruk

1755 Kata
“Mama!” Terdengar suara Tutur berusaha menghentikan perbuatan Dahayu yang hendak menampar Sembagi sekali lagi. “Jangan diterusin. Kalau ada yang melihat perbuatan Mama tadi, bisa saja diviralkan di media sosial,” ucap Tutur. “Mama tidak ada urusan dengan siapapun. Lagipula rumah ini jauh dari apa pun. Tidak mungkin ada orang yang tidak sengaja lewat sini lalu menyaksikan apa yang baru saja Mama lakukan,” jawab Dahayu ketus. Kemudian tatapan Dahayu kembali memandang Sembagi. “Saya membiarkan kamu selama ini bukan tanpa alasan. Jadi kamu jangan banyak tingkah,” ujar Dahayu memperingatkan. “Saya tahu kamu adalah wanita karier yang sukses dan memiliki segalanya. Tapi itu dulu. Sekarang kamu cuma ibu rumah tangga yang nggak bisa ngasih keturunan pada keluarga ini. Minimal itu tahu diri.” Dahayu nyerocos panjang lebar. “Lebih baik kamu kembali ke kamarmu, Gi,” ujar Turangga. Dahayu memasang tampang masam setelah kepergian Sembagi dari kamarnya. “Kamu itu gimana, sih, Tur. Kalau Mama diam saja nggak ngasih perempuan itu peringatan, bisa-bisa dia menjadikan isu itu untuk menginjak-injak kamu. Dia bisa saja menuntut kamu kalau nggak dikasih peringatan dari awal. Lagian ngapain sih, kamu sok baik sama dia? Seperti kamu tidak pernah bersikap jahat saja sama dia. Tidak ada gunanya kamu bersikap baik sama dia. Sekalinya dia dibaikin yang ada kamu akan diinjak-injak sama dia. Mending kamu segera ceraikan dia, Tur.” Kemudian Turangga pergi dari hadapan Dahayu. Dia tidak mau berlama-lama di hadapan ibunya malah akan menjadikan wanita yang telah melahirkannya ke dunia itu sebagai pelampiasan amarahnya. Turangga menyusul Sembagi meninggalkan kamar ibunya. Dia tidak mungkin menyelesaikan persoalan rumah tangga di depan ibunya. Meski Dahayu menunjukkan reaksi tidak setuju pada keputusan Turangga, tapi wanita itu tidak bisa protes apa pun kalau sudah anak laki-laki semata wayangnya itu yang membuat keputusan. Sembagi kira Turangga akan membela saat dia menyampaikan persoalan yang membuatnya berakhir didorong seperti tadi oleh ibu mertuanya itu. Ternyata sikap Turangga sungguh di luar nalar. Memang tidak secara langsung membela sang ibu, tapi tutur kata Turangga mengarah pada menyalahkan Sembagi atas tindakan yang dilakukan oleh sang ibu. “Kenapa nggak nunggu aku aja, sih? Harus banget kamu ngaduin masalah kayak gini ke Mama? Berharap apa kamu dari Mama? Dibela? Mama akan berempati sama kamu? Lagipula Mama itu punya penyakit jantung. Kalau sampai Mama aku kenapa-kenapa gara-gara kamu, lihat aja nanti.” “Kamu mau apa, Mas?” “Lupakan saja. Yang penting jangan diulangi lagi. Kali ini aku maafin kamu.” “Maafin aku? Harusnya kata-kata itu aku yang ngucapin, bukan kamu! Kamu masih berhutang penjelasan sama aku, Mas,” ujar Sembagi kemudian keluar dari kamar mereka. “Gi! Aku belum selesai bicara!!” teriak Turangga dari pintu kamar yang terbuka lebar. Namun Sembagi sama sekali tidak menghiraukan teriakan Turangga. Dia memutuskan keluar dari kamar untuk menjernihkan pikirannya. Dia terus berjalan cepat menyusuri tangga. Dia menyalakan smart tv di ruang keluarga lalu menyambungkan ke ponsel. Terdengar derap suara langkah lari dari tangga. Tak lama kemudian Turangga menunjukkan wajah kesal setelah berada di ruang keluarga. Di sana ia lihat Sembagi sedang duduk di sofa sambil memegang remote control dan memandang ke arah televisi. Suasana sedang dalam keadaan sepi karena saudara ipar Sembagi sedang tidak di rumah. “Sopan kamu ninggalin suami begitu saja di saat belum selesai bicara?!” bentak Turangga melihat reaksi istrinya yang hanya melirik pada kedatangannya. “Jelasin maksud dari semua foto-foto itu. Aku juga sudah screenshot chat dari perempuan gila itu. Kalau kamu sudah bosan sama aku bilang. Kasih tahu apa yang bikin kamu bosan dan kasih tahu hal apa yang harus aku lakukan untuk menghilangkan kebosanan kamu itu. Kalau memang kamu punya perempuan lain, aku juga udah nggak peduli. Tapi jangan pernah kamu menjelek-jelekkan aku di depan selingkuhan kamu.” “Aku nggak selingkuh, Sembagi!” geram Turangga sambil meremas rambutnya sendiri. “Aku itu cinta banget sama kamu. Kalau sampai aku beneran selingkuh, itu artinya aku udah nggak waras.” “Trus itu apa? Kamu mau bilang itu editan? Kamu pikir aku bodoh nggak bisa bedain mana foto asli dan editan?” Turangga menarik napas panjang lalu melangkah lesu ke hadapan Sembagi. Dia jatuh berlutut tepat di depan lutut istrinya. “Demi Tuhan, Agi. Aku nggak ada hubungan apa-apa sama dia. Aku mohon percaya sama aku ya. Kalau memang aku harus sujud dan mencium kakimu, akan kulakukan demi kamu percaya semua omonganku.” Turangga benar-benar melakukan seperti yang dia ucapkan. Perbuatannya itu membuat hati Sembagi terenyuh. Dia tersentuh melihat dan mendengar kesungguhan Turangga. Justru kini dia yang dibuat bingung oleh perasaannya sendiri. “Lalu foto-foto itu apa, Turangga?” Turangga menegakkan tubuhnya tapi masih tetap berlutut di hadapan Sembagi. Dia menarik napas sebelum mulai menjelaskan hal yang diminta oleh Sembagi. “Aku sudah bilang sama kamu dari awal, kan. Geby itu friendly ke semua orang, Sayang. Aku nggak cuma berduaan aja sama dia. Ada orang kantor lain di sana. Dia nempel gitu nggak cuma ke aku, tapi juga ke yang lain. Aku deketan sama dia tanpa rasa apa pun. Malah kalau aku nolak apalagi jaga jarak yang ada aku dituduh punya perasaan lain sama dia. Belum lagi orang-orang kantor pasti pada mikir kalau aku jaga jarak karena takut sama kamu. Aku nggak mau mereka berpikiran jelek soal kamu, Sayang.” “Tapi kamu juga terlalu mesra sama dia, Mas,” ujar Sembagi dengan mata memerah menahan tangis. “Aku nggak percaya kalau hubungan kalian hanya sekedar peluk-pelukan, duduk deketan atau bahkan pangku-pangkuan aja. Pasti kalian sudah melakukan perbuatan yang lebih menjijikkan dari itu.” “Aku akui aku salah besar sudah nekat melanjutkan keisenganku pada perempuan itu. Aku benar-benar khilaf, Gi. Aku sama sekali nggak ada rasa apa pun sama dia. Aku benar-benar cinta mati sama kamu, Gi. Kalau nggak sama kamu, aku nggak bisa hidup di dunia ini,” ujar Turangga kemudian meletakkan keningnya di antara kedua lutut Sembagi. “Jujur aku sudah muak overthinking terus sama kamu. Aku yakin kamu pasti juga lama-lama muak sama aku. Tapi kalau kamu kayak gini terus aku bisa apa?” keluh Sembagi dengan suara lirih. Turangga akhirnya bangkit dari berlututnya. Dia lalu duduk tepat di samping Sembagi. Dia merengkuh tubuh istrinya itu lalu mengusap punggungnya yang kini sedang gemetar menahan tangis. “Maafin aku ya, kalau selalu bikin kamu overthinking. Aku nggak bermaksud kayak gitu,” bisik Turangga lalu mencium puncak kepala Sembagi. Dia membiarkan tangis Sembagi pecah hari itu. “Aku capek, Mas. Aku mau kita pisah. Ayo kita akhiri semua ini dan kembali ke kehidupan masing-masing.” Turangga menggeleng cepat. “Enggak, Gi… Kamu boleh menghukumku dengan cara apa pun. Tapi aku mohon jangan minta perpisahan dariku. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Sembagi.” Masih dengan sesenggukan Sembagi menatap wajah Turangga yang tengah menatap datar padanya. Dia sengaja membiarkan tangisnya tumpah dan berharap ini adalah kali terakhir dia menangisi Turangga. “Mas, ada satu hal yang perlu kamu ingat. Aku nggak mandul seperti yang dituduhkan perempuan itu. Lima tahun aku periksa kesuburan aku. Bahkan aku sampai jauh-jauh memeriksakan diri ke Singapore. Tapi semua dokter dan rumah sakit yang memeriksa aku menyatakan kalau nggak ada yang salah dengan rahim dan kesuburan aku. Justru sebaliknya. Selama lima tahun kita menikah, kamulah yang belum pernah memeriksakan kesuburanmu, Mas.” “Gi…” “Ayo, Mas… Aku temani kamu periksa. Apa pun hasilnya, aku akan menerimanya dengan lapang d**a. Kalau kamu memang mau maaf dariku dan nggak ada perpisahan di antara kita, turuti permintaanku ini.” “Kamu serius ngomong seperti ini sama aku? Kamu nuduh aku yang mandul gitu?” ujar Turangga tidak terima. “Sujud di kakimu sudah aku lakukan untuk memohon maaf, Gi. Aku juga udah maafin kamu dengan segala tuduhan kamu tentang aku. Tapi kamu malah mikir aneh-aneh tentang aku.” “Nggak gitu maksud aku, Mas. Mana dari kata-kata aku yang menuduh kamu mandul? Coba sebutkan? Aku cuma mau mengajak kamu periksa, Mas. Memeriksakan kesuburan kamu seperti yang aku lakukan lima tahun terakhir.” Turangga tidak memedulikan kata-kata yang diucapkan oleh Sembagi. Dia bangkit dari sofa lalu bergegas meninggalkan ruang keluarga. Namun langkah yang diambil Turangga bukan ke arah tangga menuju kamarnya, melainkan ke arah ruang tamu. Melihat pergerakan suaminya yang hendak keluar rumah, Sembagi refleks bangkit dari sofa. Dia berlari mengejar langkah lebar Turangga. “Kamu mau ke mana, Mas?” tanya Sembagi setelah berhasil menghentikan langkah Turangga yang hendak membuka pintu mobil. “Memenuhi permintaanmu,” ujar Turangga dengan tatapan tajam kemudian menepis tangan Sembagi. “Kamu mau periksa? Aku temani ya.” “Siapa bilang aku mau periksa? Aku mau memenuhi permintaan perpisahan tololmu itu. Akan aku pastikan setelah kita bercerai kamu keluar dari rumah ini tanpa uang sepeserpun dan bahkan hanya menggunakan pakaian di badanmu saja, Sembagi,” ujar Turangga, lalu masuk mobil, menyalakan mesin dan tancap gas meninggalkan rumah. Sembagi hanya terpaku di tempatnya berdiri sambil menatap mobil Turangga yang sudah lenyap dari pandangannya. Dia merenungi kembali kata-kata yang disampaikan pada Turangga perihal mengajak suaminya itu untuk memeriksakan kesuburan. Tidak ada yang salah menurutnya. Namun yang diterimanya justru sikap Turangga yang sama sekali tidak bisa ditangkap oleh akal sehatnya saat ini. Sambil kembali masuk rumah Sembagi juga merenungi kembali kata-kata yang diucapkan Turangga sesaat sebelum masuk ke mobil sesaat yang lalu. “Kenapa malah jadi kacau gini? Kenapa dia manipulatif seperti ini? Harusnya aku masih marah sama dia soal perempuan gila itu. Tapi kenapa sekarang kondisinya malah jadi berbanding terbalik? Kenapa jadi malah aku yang mau diceraikan?” Sembagi terus merenung sambil bermonolog ria. Padahal tadi dia sudah mulai luluh pada kesungguhan Turangga ketika meminta maaf dan memohon kepercayaan Sembagi sekali lagi. Dia sudah nyaris memberikan maaf dan kepercayaan itu sekali lagi pada Turangga. Namun kini Sembagi kembali berpikiran buruk tentang Turangga. Hal ini bukan pertama kalinya bagi Sembagi. Dia sudah sering merasakan karakter Turangga yang semakin hari menunjukkan sikap manipulatif. Tak ingin masalah ini semakin melebar kemana-mana Sembagi mengejar Turangga keluar rumah. Di carport rumahnya Sembagi menemukan mobil Turangga sudah dalam keadaan menyala mesinnya. ketika Sembagi mempercepat langkah mendekati mobil tersebut, Turangga sudah tancap gas lebih dulu. Sembagi mengejar mobil Turangga hingga ke depan rumah. Tepat ketika Sembagi sedang berdiri di tengah jalan depan pintu gerbang rumahnya, tak jauh dari sana ada sebuah mobil hendak melintas di depan rumah dengan kecepatan tinggi tapi arahnya tidak beraturan. Karena terlalu terkejut Sembagi tidak bisa menghindar oleh kedatangan mobil tersebut. Sehingga mobil itu menabrak tubuh Sembagi sampai terpelanting sejauh 50 meter. Tubuh Sembagi menghantam bak sampah miliki rumah lain tak jauh dari rumahnya. Sementara mobil yang menabrak Sembagi berhenti karena menghantam tembok double way. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN