CHAPTER 16. JIWA YANG TAK PERNAH MENYERAH

2168 Kata
    Anastasius menerima uluran tangan dari Cenora. Seperti yang dikatakan oleh Cenora, semuanya pasti akan berjalan dengan baik, selama mereka selalu bersama. Ia tidak perlu ragu dan menyesal, satu hal yang sekarang bisa ia lakukan adalah terus melangkah maju.     Sedangkan keadaan Abel tidak terlalu baik. Tubuh besarnya seakan telah dipaku pada lantai, sehingga tidak bisa bangkit ataupun bergerak. Sama persis seperti yang Cenora pernah alami sebelumnya, ketika melawan Noah.     “Asta. Dengarkan aku baik – baik.” Ujar Cenora.     Cenora menoleh ke arah Anastasiis, kemudian menatap matanya dalam, “Kamu harus masuk kedalam. Hancurkan Inti Energi agar kekuatanku bisa kembali, biarkan aku melawan Noah disini.”     Anastasius membelalakan matanya karena terkejut, “Nora, tapi kamu sekarang tidak memiliki sihir.”     Cenora lantas memegang tangan Anastasius. “Pinjamkan aku sedikit kekuatanmu. Hanya sedikit sudah cukup.”     Anastasius mengerutkan keningnya, “Bagaimana caranya?”     “Genggam tanganku. Alirkan sihirmu kepadaku. Berusahalah untuk mengontrolnya, tanam didalam pikiranmu bahwa kamu ingin memberikan sedikit kekuatanmu, bukan untuk menyerang.” Jelas Cenora.     Anastastasius segera melakukan seperti yang Cenora perintahkan. Ia mengalirkan sihirnya secara perlahan ke tangan Cenora, pada awalnya dia masih kesulitan untuk mengontrol pemberian kekuatan itu kepada Cenora, sehingga membuat Cenora sedikit meringis karena merasakan sentruman listrik di tangannya.     Ketika hendak meminta maaf, Anastasius dapat melihat Cenora yang mengangguk. Pertanda bahwa ia baik – baik saja, Anastasius berusaha keras mengontrol kekuatannya agar tidak menyakiti Cenora. Dan nampaknya, hal itu berhasil. Aliran listrik milik Anastasius menjalar statis menuju Magis Edelsteine milik Cenora, memacu Magis Edelsteinenya agar kembali berdetak.     “Cukup. Kamu memberikanku terlalu banyak.” Ujar Cenora seraya melepaskan tautan tangan mereka.      Suara derap langkah yang terdengar dari belakang tubuh Abel langsung membuat Cenora mengambil Fotia yang menggantung di pinggangnya. Sihir milik Anastasius yang sekarang bergerak didalam tubuhnya sudah lebih dari cukup untuk membuat Fotia kembali menyalakan api di tali cambuknya.     Noah melangkah melewati tubuh Abel, masih dengan senyuman menyebalkan yang paling dibenci oleh Cenora. Dibelakang Noah, nampak Cerik yang mengikutinya dengan setia. Nampaknya, Cerik merupakan bawahan kepercayaan Noah.     “Sayangku, kita bertemu lagi.” Ujar Noah seraya merentangkan tangannya.     Cenora berbisik kepada Anastasius, “Pergilah.”     Anastasius mengangguk, dia bergerak cepat menuju pintu masuk kedalam ruangan yang ada di hadapannya. Cerik ingin menghadang Anastasius, namun terhalangi akibat Cenora mengayunkan Fotia dibelakang Anastasius. Api menjulur diatas lantai, mencegah Cerik untuk mendekati Anastasius yang pada akhirnya berhasil masuk ke dalam ruangan.     Api dari Fotia merupakan api abadi yang bisa menghanguskan siapapun yang menyentuhnya, dan Cerik tidak berani melewati api tersebut.     “Bagaimana kamu bisa memiliki sihir?” Tanya Cerik kesal kepada Cenora.     Cenora tidak menjawab, melainkan memacut Fotia ke arah Cerik tanpa henti. Cerik mengeluarkan senjatanya yang berupa lima pisau yang digerakkan menggunakan telepati, kelima bilah pisau tersebut terbang menuju ke arah Cenora, hendak menggoreskan setiap bilah ke permukaan kulit Cenora. Akan tetapi, Fotia mampu menghalangi kelima pisau tersebut mengenai Cenora.     Api pada Fotia semakin membara tatkala Cenora menambahkan intensitas sihirnya, bahkan dibalik apinya terlihat percikan listrik di sekitar tali cambuknya. Ia berjalan menuju Cerik, mengikatkan tali Fotia pada tubuh Cerik lalu menarik tubuh siluman itu hingga menghantam dinding kastil dengan keras.     Sensasi terbakar memenuhi tubuh Cerik, membuatnya langsung meringis. Bebatuan pada dinding kastil pun runtuh menjatuhi tubuhnya.     Cenora tertawa kecil kepada Noah, “Bawahanmu lemah sekali.”     “Dia memang hanya kupersiapkan sebagai pertunjukkan. Bagaimana bila kamu melawanku?” Tawar Noah, masih dengan senyuman menyebalkannya.     Manik emas Cenora menyala dan menatap Noah dengan tajam, “Kemarilah. Akan kuremukkan tulangmu atas balasan karena telah menyentuhku.”     Noah melesatkan bola – bola energi berwarna kemerahan ke arah Cenora, dengan cekatan Cenora berhasil menghindari seluruh bola energi tersebut. Kemudian dia berlari ke arah Noah dengan Fotia yang diayunkan kedepan.     Noah menembakan bola energi merah ke arah Fotia, membuat Fotia terlembar kebelakang membawa tubuh Cenora ikut serta. Bola energi tersebut merupakan bola gravitasi yang bisa memaksa seseorang agar tidak bisa bergerak akibat tertahan oleh gravitasi.     Cambuk Fotia yang telah terkena bola energi tersebut menjadi terasa berat untuk diangkat, sehingga hanya menempel pada lantai. Cenora berusaha keras mengangkat Fotia, namun tetap saja senjata suci itu tidak bergerak sedikitpun.     Cenora meloncat menjauh tatkala ada bola energi yang dilontarkan kepadanya lagi. Bila Noah selalu menembakkan bola energi seperti itu, bagaimana mungkin Cenora bisa mendekatinya dengan mudah. Dengan Fotia yang sulit diambil, terpaksa ia harus menyerang Noah dengan kemampuannya sendiri.     Sihir milik Anastasius mulai terkuras akibat Cenora terlalu banyak menggunakannya saat memakai Fotia. Dia harus menyerang sekarang, atau ia tidak akan bisa menyerang sama sekali nantinya. Cenora menajamkan penglihatannya, berusaha melihat setiap pergerakan bola energi yang dilontarkan oleh Noah. Dia harus melewati celah diantara bola energi tersebut untuk mendekati Noah.     Ketika ia sudah begitu dekat dengan tubuh Noah, Cenora memusatkan seluruh aliran listrik milik Anastasius di kepalan tangan kanannya kemudian hendak memukulkannya ke arah Noah. Akan tetapi, ia langsung mendesis tajam tatkala Noah menahan kepalan tangan Cenora menggunakan tangannya.     Noah tersenyum, “Kamu terlalu berani, sayang. Seharusnya kamu tetap diam saja di tempat kurunganmu.”     Noah mengalirkan energinya melalui persatuan tangan mereka. Energi miliknya merasuk kedalam tangan Cenora, menyelubungi tulang tangannya. Noah lantas menghancurkan tulang tangan Cenora hingga remuk.     “b******n!” Pekik Cenora.     Rasa sakit mendera tangannya, membuatnya menahan rintihan kesakitan. Noah melemparkan tubuh Cenora hingga tubuhnya berulang kali menghantam lantai dengan tulang tangan yang retak.     Cenora sudah bersiap untuk menerima hantaman dinding pada punggungnya. Namun, ada sesuatu yang menahannya, membuat Cenora tidak merasakan dinding kastil yang keras. Tatkala ia menoleh ke belakang, seorang siluman berbadan besar dengan tanduk dikepalanya tengah tersenyum kepadanya.     “Pelayan Anastasius?” Kata Cenora.     “Kami akan berusaha melindungi anda, Nona.” Ujar Pedrosa.     Ketika Cenora menoleh ke sampingnya, Teona dan Maulvi telah berdiri di sebelah kiri dan kanan Pedrosa. Kondisi fisik mereka mungkin masih belum terlalu baik, namun setidaknya sudah cukup untuk bisa kembali bertarung melindungi Cenora.     Cenora benci mengakui bahwa dia butuh perlindungan, tapi sekarang bukan saatnya tetap mempertahankan ego nya, “Berusahalah melindungiku. Karena, jika sampai aku terluka maka Asta pasti akan menyalahkan dirinya.”     Mereka semua mengangguk, kemudian berdiri dihadapan Cenora. Maulvi memulai penyerangan dengan berlari secara acak menuju Noah, melemparkan sepasang Kipas Obelia yang merupakan besi runcing di ujungnya. Noah menangkis kedua kipas tersebut, namun keberadaan Maulvi dihadapannya menghilang.     Kipas itu hanyalah jebakan agar pergerakan Maulvi yang berikutnya tidak terlihat. Siluman itu telah meloncat tinggi ke atas udara, bersiap untuk menendang tubuh Noah dengan kecepatan tinggi. Noah bisa merasakan ancaman di atasnya, kemudian ia mengarahkan bola energi ke tubuh Maulvi. Melemparkannya menjauh dari Noah.     “Apa rasa sakit yang kuberikkan tidak cukup untuk kalian? Para pengkhianat ras siluman.”     “Kami tidak pernah berkhianat. Kalian yang berkhianat kepada Dewa Xenos.” Kata Teona dingin. Tangannya mengayunkan tombak dengan cekatan, berusaha melukai Noah yang terus menerus menghindar.     Noah tertawa, “Dewa b******k kalian bahkan tidak membantu disaat kita mengalami kesulitan.”     Noah menarik Pedang Parsa dari sarungnya, pedang yang menjadi pasangan dari Pedang Eklesia. Bila Eklesia dominan dengan elemen cahayanya, maka Parsa sangat kental dengan elemen gelap. Elemen yang selalu dikelilingi oleh kehancuran.     Tombak milik teona beradu dengan Pedang Parsa. Menciptakan gelombang energi yang begitu besar hingga membuat dinding serta lantai di sekeliling mereka retak. Meskipun Teona merupakan siluman tingkat tinggi, tetap saja kemampuan masih jauh bila dibandingkan dengan Noah yang hidupnya sudah ribuan tahun lebih lama.     Noah menebas tubuh Teona, menciptakan goresan panjang di bagian depan tubuhnya. Teona langsung jatuh seketika dengan darah yang keluar dari tubuh serta mulutnya. Maulvi yang hendak kembali menyerang Noah harus terhenti, karena tubuhnya ditekan oleh energi Noah agar tetap berada ditempatnya.     Kapak ditangan Pedrosa dilemparkan ke arah Noah ketika pria itu tengah lengah. Kapak tertancap di d**a sebelah kirinya, tapi dengan tertawa ia dengan mudah mencabut kapak berat tersebut. Luka langsung menutup dari tubuhnya, seakan tidak pernah terluka sama sekali.     Noah menarik tubuh Pedrosa kearahnya bahkan tanpa menyentuh Pedrosa. Ia lantas menusukkan Pedang Parsa ke d**a Pedrosa, tepat dijantungnya, hingga menyebabkan siluman itu langsung terjatuh lunglai ke lantai.     “Bagaimana ini, mereka semua sudah kalah. Sayang, aku punya penawaran untukmu. Aku akan membiarkanmu hidup, bila kamu mau menjadi budakku? Atau lebih tepatnya mungkin menjadi penghangat ranjangku.” Tawar Noah seraya tertawa keras.     Cenora hanya diam tidak menanggapi perkataan Noah. Ia berjalan melewati para siluman yang masih tergeletak tak berdaya, genangan darah mengotori kaki Cenora yang tak memakai alas kaki. Pemandangan yang sudah seringkali Cenora lihat.     Darah dan kematian adalah dua hal yang begitu erat dalam hidup Cenora. Tidak pernah ia merasa iba atau pun kasihan tatkala melihat mayat yang tergolek di tanah. Namun, ketika semua siluman yang bersikeras melindunginya harus berakhir seperti ini. Darah Cenora langsung mendidih didalam tubuhnya, amarah terkumpul didalam hati.     Cenora mengambil Tombak Leander milik Teona menggunakan tangan kiri. Ia mengerahkan seluruh sihir terakhir yang diberikan Anastasius kepada dirinya untuk mengisi penuh setiap rongga dari tombak tersebut. Percikan listrik yang beradu menyelimuti tombak, membuat senjata itu lebih kuat dari sebelumnya.     Cenora tahu betul bahwa ia tidak akan bisa mengalahkan Noah tanpa sihirnya. Namun, menyerah tidak pernah tersemat didalam nama Cenora. Meskipun seluruh tulangnya harus hancur atau tubuhnya tercabik, ia tidak akan pernah bersujud dihadapan musuhmya.     “Kamu tahu, Noah?” Cenora memutarkan tombak, mengarahkan mata runcingnya ke arah Noah.     “Apa?”     “Aku sangat ingin merobek mulut busukmu itu.”     Cenora lantas berlari menuju ke arah Noah. Mengerahkan seluruh sisa energi pada tubuhnya dalam pertarungan ini. Setiap serangan Noah mampu dia hindari, begitupun dengan Noah yang kerap kali menghindari serangan Cenora yang memiliki tempo begitu cepat. Lebih cepat dari sebelumnya.     Pedang dan Tombak menghantam satu sama lain. Menimbulkan bunyi nyaring yang mungkin mampu terdengar ke seluruh penjuru kastil. Cenora bergerak lebih cepat, berusaha mengungguli gerakan Noah meskipun hanya satu detik. Dan itu berhasil, tatkala Noah lengah, Cenora berhasil menggoreskan luka ke wajah Noah. Membuat wajah tampannya ternoda oleh darah.     “Jalang sialan!” Noah hendak menggapai leher Cenora, dan Cenora mampu menangkis tangan itu dengan mengayunkan tombak ke arah tangan Noah.     “Noah, kamu sepertinya memang sangat bosan hidup.”     Ketiga siluman yang tergolek diatas lantai masih bisa mengintip pertarungan antara Noah dengan Cenora. Awalnya mereka hanya mengira Cenora hanyalah sebuah beban bagi Tuan mereka, dan bisa mati bila ditinggal sendirian.     Namun, kini mereka melihat Cenora bagaikan sebuah batu yang begitu sulit untuk dirobohkan. Gerakannya begitu cepat namun begitu tepat mengenai sasaran. Membuat mereka mulai mempertanyakan latar belakang Cenora.     Teona bisa merasakan Tombak Leander memiliki intensitas kekuatan yang lebih besar dibanding berada di tangannya. Kekuatan Anastasius bercampur dengan kemampuan bertarung Cenora. Menghasilkan sebuah perpaduan mematikan, bahkan hingga bisa melukai Noah yang nampak tak memiliki Celah.     “Cukup bermain – mainnya.” Bisik Noah.     Noah mengeluarkan bola energi di sekeliling tubuh Cenora, memerangkan wanita itu agar tidak bisa menghindar kemanapun. Bahkan dibagian atad kepala Cenora terdapat bola energi yang begitu besar. Membuat Cenora mau tidak mau harus berdiam diri ditempatnya seraya menatap ke arah Noah dengan pandangan mematikkan.     “Apa yang sebenarnya kalian inginkan dari kami?” Tanya Cenora, mulai kesal dengan semua perlakuan mereka.     “Tentu saja membunuh kalian.”     Cenora menatap tajam ke arah Noah, “Siapa yang menyuruhmu? Kalian semua selalu berkata tentang ‘Dia’, siapa sebenarnya dia yang kalian maksud.”     Noah mengangkat bahunya, “Entahlah, dia tidak pernah menunjukkan sosoknya. Tapi, sepertinya Dia sangat membenci kalian berdua. Terutama kamu.”     Cenora hanya tertawa kecil, “Semua orang memang membenciku.”     “Tapi, musuhmu kali ini sepertinya sangat ingin mencabikmu hingga tidak bisa hidup lagi. Sepertinya kamu telah mengambil sesuatu yang ‘berharga’ baginya.”     “Jika memang hanya ingin mengincarku. Kenapa harus membawa Anastasius ikut serta? Lepaskan anak itu, biarkan aku menghadapi tuan kalian.”     Noah memutari tubuh Cenora, “Itu tidak mungkin. Dia bilang harus membunuh kalian berdua. Jadi menurutmu, siapa yang akan mati terlebih dahulu. Kamu atau anak itu?”     Manik emas Cenora bersinar bagaikan matahari, menatap Noah dengan dalam, “Selama aku masih hidup. Maka Anastasius akan tetap hidup. Dan sayangnya, aku tidak akan pernah bisa mati.”     Mendengar hal itu membuat Noah langsung tertawa keras hingga hampir terjungkal ke lantai, “Sombong sekali! Kenapa jalang ini selalu berkata begitu sombong!”     “Bagaimana bila ucapanmu kita buktikan?”     Bola energi yang mengelilingi Cenora merasuk kedalam tubuh Cenora. Membuat wanita itu langsung terjatuh ke atas lantai, tanpa bisa menggerakan tubuhnya lagi.     Noah memerintahkan kekuatannya untuk mengangkat Cenora begitu tinggi hingga kakinya tak lagi menyentuh lantai. Kemudian menarik tubuh Cenora cepat ke tangannya. Mencekik leher wanita itu dengan keras.     Cenora menggeretakkan giginya, menahan rasa sakit yang mendera tulang lehernya. Suara keretakan tulang mulai terdengar, darah segar mengalir dari mulut Cenora.     “Bagaimana, mau menjadi budakku?”     Cenora meludahkan darah ke wajah Noah untuk yang kedua kalinya. Membuat Noah hanya tertawa melihat perlakuan wanita itu yang masih begitu keras kepala.     “Tidak akan pernah. Bahkan didalam mimpimu sekalipun, bajingan.” Desis Cenora.     Noah lantas tersenyum, “Sayang sekali. Padahal kamu bisa hidup lebih lama.”     Noah menusukkan Pedang Parsa kedalam perut Cenora hingga menembus punggungnya. Kedua mata Cenora langsung terbelalak kaget, baru kali ini ia merasakan tusukkan pedang yang terasa seakan mencabik seluruh tubuhnya dari dalam.     Tatkala Noah menarik pedang dari perut Cenora serta melepaskan cengkramannya pada leher wanita itu. Cenora langsung terjatuh ke atas lantai dengan bersimbah darah. Energi gelap dari Parsa bergerak didalam tubuhnya, mencabik setiap organ dalam milik Cenora. Tulang leher Cenora yang retak menyebabkan wanita itu bahkan tidak bisa mengeluarkan suara untuk merintih kesakitan.     Kematian memang tidak akan menjemputnya, namun rasa sakit yang ia rasakan selalu nyata. Air mata menuruni pipinya, menjadi tanda bahwa ia tidak sanggup menahan rasa sakit yang ia rasakan. Bila kekuatan sihirnya tidak kunjung kembali, mungkin Cenora lebih memilih untuk mati.     “Sekarang, tinggal melihat mayat anak itu yang mungkin telah dikuras darahnya oleh Axelia.” Kata Noah seraya merenggangkan tubuhnya.     Cenora berusaha menahan kaki Noah yang hendak melangkah masuk ke ruangan.     “Lepaskan, dasar jalang.” Kata Noah seraya menginjak tangan Cenora.     Cenora selalu yakin bahwa keputusannya merupakan hal yang tepat. Namun, kini ia mulai merasa bersalah karena membiarkan Anastasius masuk kedalam sendirian. Mungkin ia pun merasa kesulitan, atau bahkan merasakan sakit seperti yang Cenora rasakan.     “As..ta..”     Kamu harus hidup.     ****     To Be Continued     14 Juli 2020
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN