CHAPTER 9. SENJATA SUCI

1995 Kata
Seluruh permukaan air pada Danau Perak telah membeku, sehingga bisa menjadi tempat untuk berpijak. Suhu semakin merangkak turun akibat Danau Perak dikelilingi oleh perisai es yang tebal, membuat uap udara akan keluar setiap kali Anastasius menghembuskan nafasnya. Pedang berwarna perak tertancap kuat diatas sebuah batu besar yang ada di belakang Axelia. Bilah pedang tersebut berkilauan bagaikan terpantul cahaya rembulan. Axelia berjalan mengitari pedang itu, wajahnya tak berhenti tersenyum bahkan melodi senandung keluar dari bibirnya. Axelia sangat gembira saat ini, pasalnya tak pernah ia mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan diri ke permukaan danau selama ribuan tahun sejak pertama kali Danau Perak diciptakan oleh Dewa Xenos. Anastasius adalah lawan pertamanya, dan ia sangat tidak sabar untuk melawan Anastasius hingga pemuda itu tak sanggup berdiri lagi. “Baiklah, sebelum pertarungan di mulai. Aku akan memperkenalkanmu dengan senjata suci yang kulindungi. Nama pedang ini adalah Pedang Eklesia, pedang pertama yang di tempa oleh Dewa Xenos.” Axelia memperhatikan Anastasius secara berulang kali, masih merasa tidak percaya manusia yang akan dia lawan tidaklah sesuai dengan kriteria yang sudah lama Axelia bayangkan. Axelia menopangkan kepalanya di atas pegangan tangan pedang, “Katakan padaku, Anastasius. Apa yang menarik darimu, hingga Eklesia bisa tertarik keluar?” Meskipun Anastasius tidak yakin dengan jawabannya, ia tidak bisa terlihat ragu dihadapan musuh. Senyuman kecil terpatri di wajah pemuda itu, “Bukankah kamu bisa tahu setelah kita memulai pertarungan?” Suara tawa keras keluar dari Axelia. Siluman rubah itu tertawa begitu kencang hingga hampir membuatnya jatuh kebelakang. “Menarik! Kamu menarik sekali!” “Apa peraturannya?” Tanya Anastasius, tak mengindahkan Axelia yang masih terlihat kesulitan mengendalikan tawa. Axelia langsung berjalan ke depan Pedang Eklesia, kemudian memegang pegangan pedang tersebut, “Peraturannya mudah. Kamu hanya harus mengambil pedang ini dari perlindunganku. Dengan begitu kamu bisa menang.” Anastasius, “Bagaimanapun caranya?” Axelia tersenyum kecil, “Apapun caranya.” “Baiklah, kapan kita akan mulai?” Lapisan es pada perisai semakin di pertebal, membuat udara di sekitar mereka semakin mendingin. Axelia memegang pedang Eklesia seraya memandang ke arah Anastasius. “Sekarang.” Aliran listrik melingkupi tubuh Anastasius, magis edelsteine memompa sihir milik Anastasius ke seluruh tubuhnya, memperkuat vitalitas tubuh pemuda itu. Anastasius bisa merasakan tubuhnya menjadi lebih ringan, salah satu keunggulan yang bisa ia miliki dari sihir elemen listrik adalah bergerak dengan cepat. Anastasius berlari ke hadapan Axelia, begitu cepat. Melebihi kecepatan detik pada waktu, ia tidak berlari lurus kedepan melainkan membuat gerakan acak yang mungkin bisa mengecoh Axelia. Pupil mata Axelia bergerak mengikuti kemanapun Anastasius berlari, berusaha agar tidak kehilangan jejak Anastasius meski hanya satu detik. Anastasius memang bisa bergerak dengan cepat, namun kecepatannya akan mulai melambat seiring dengan berjalannya waktu karena kemampuannya yang masih belum bisa mengontrol sihir dengan sempurna. Karena itulah, kesempatan Anastasius untuk mengecoh Axelia hanya bisa digunakan pada kesempatan awal, bila rencana Anastasius gagal. Maka ia harus melawan Axelia untuk mendapatkan Pedang Eklesia, dan hal itu adalah sesuatu yang sangat Anastasius hindari. Perbedaan kekuatan mereka sangat besar, dan Anastasius tahu itu. Anastasius memaksa tubuhnya untuk bergerak lebih cepat, membuat Magis Edelsteine nya memompa kekuatan sihir lebih keras. Rasa sesak menguasai d**a Anastasius, Pemuda itu seperti berhenti bernafas setiap kali kekuatan sihirnya diperkuat. Dia harus lebih cepat, melampaui kecepatan yang bisa ditangkap oleh kedua mata Axelia. Hingga akhirnya gerakan mata Axelia lebih lambat beberapa detik dari Anastasius. Disaat itulah Anastasius bisa menjalankan rencana yang sudah dia susun didalam kepalanya. Ia membuat gerakan berlari ke arah kanan dan kiri, kemudian berlari lurus ke hadapan Axelia dengan kecepatan tertinggi yang bisa dicapai oleh Anastasius. Axelia nampak bersiap untuk menyerang Anastasius yang bergerak cepat ke arahnya. Namun, beberapa saat sebelum Anastasius tepat dihadapan Axelia, ia berlari ke samping Axelia. Hendak memutari tubuh Axelia untuk mengambil pedang yang berada dibelakang tubuh siluman itu. Belum sempat Anastasius memegang Pedang Eklesia, Axelia secara cepat memutar tubuhnya dan membuat tembok es di sekeliling Pedang Eklesia. Anastasius hampir saja menabrak tembok es tersebut bila ia tidak menghentikkan larinya, membuat kaki Anastasius tergelincir diatas es kemudian menghantam permukaan es yang keras berulang kali. Nafas Anastasius memburu, tangannya bertumpu ke atas permukaan es. Berusaha untuk bangkit kembali. ketika ia hendak bangkit, Manik peraknya mampu mendapati senyuman di wajah Axelia. Permukaan es yang sebelumnya rata, memunculkan es runcing yang mencuat dari balik permukaan tanah. Anastasius menggulingkan tubuhnya untuk menghindari es runcing tersebut. Tatkala ada es runcing yang ingin muncul dibawah tubuh Anastasius, pemuda itu menghentakkan kedua tangannya ke atas permukaan es. Mengalirkan energi sihir ke kedua tangan agar tubuhnya bisa meloncat ke atas udara. “Reflek yang bagus! Tapi bagaiman dengan ini?!” Teriak Axelia seraya tertawa nyaring. Kali ini puluhan es runcing tercipta di udara, melesat cepat ke arah Anastasius. Bahkan sebelum bisa mengedipkan mata, Anastasius sudah harus bergerak cepat untuk menghindari es berbentuk runcing yang ingin menusuknya itu. Namun, meskipun telah berusaha menghindar. Banyak dari es itu yang berhasil menggoreskan luka kecil di sekujur tubuh Anastasius. Permukaan putih yang awalnya tertutupi oleh salju, kini telah ternodai oleh tetesan darah yang mengalir dari luka Anastasius. Axelia perlahan melangkah ke arah Anastasius yang tengah memegangi luka di lengannya yang memiliki luka paling dalam diantara goresan lain. Tidak ada tempat sembunyi bagi Anastasius untuk bernafas sejenak ataupun kabur dari Axelia. Arena pertarungan mereka bagaikan sebuah kurungan luas yang tak memiliki sekat. Kabur tak bisa, masuk pun juga tidak bisa. Siluman akan terus menyerang penantang mereka hingga penantang itu menyerah atau sudah sekarat. Menyerah tidak pernah terlintas di pikiran Anastasius. Ia harus mendapatkan senjata suci, dan tidak mengecewakan Cenora yang kini tengah menunggunya di luar. “Mau menyerah?” Anastasius mencengkram lengannya kuat, “Tidak.” Tanpa prakata tambahan, Axelia melesat kehadapn Anastasius, bahkan sebelum pemuda itu bisa mengedipkan mata. Pupil milik Anastasius melebar tatkala Axelia memukul telak perutnya. Kemudian melemparkan Anastasius hingga punggungnya menabrak perisai es yang melingkupi Danau Perak. Anastasius merosot jatuh ke atas permukaan es, terbatuk keras hingga memuntahkan darah segar dari mulutnya. Rasa nyeri begitu ketara di perut serta punggungnya. Pukulan dari Axelia lebih kuat tiga kali lipat dari pukulan yang biasa dilontarkan oleh Cenora kepadanya. Membuat Anastasius bahkan merasa tidak sanggup untuk berdiri kembali. Namun, pancaran keinginan untuk terus maju semakin terpancar di kedua manik perak itu. Axelia menunduk dihadapan Anastasius menatap nanar ke arah sosok yang seakan sedang sekarat itu. Namun, Axelia malah tertawa melihat pemuda itu tergolek tak berdaya. “Apa kamu masih ingin bertahan?” Anastasius menggertakan giginya, “Aku tidak bisa menyerah.” Axelia memiringkan kepalanya, “Kenapa?” Anastasius menatap lekat ke manik siluman Axelia, senyuman miring terpatri di wajahnya, “Bukankah kamu akan membunuhku, bila aku kalah?” Suara tawa kecil terdengar dari Axelia, “Mungkin.” Anastasius memaksa dirinya untuk berdiri kembali, memacu seluruh sisa energi sihir yang ada didalam tubuhnya. Kemudian menghilang dari hadapan Axelia, ia berlari memutari tubuh siluman itu. Tepat ketika Axelia berbalik untuk memberikan serangan kepada Anastasius, pemuda itu meloncat ke udara dengan tinggi. Seperkian detik berikutnya, ia berada di belakang punggung Axelia. Menghantamkan pukulan telak ke arah tubuh Axelia. Percikan listrik berpendar di kepalan tangan Anastasius, meledak menjadi besar tatkala kepalan tanganitu berhasil mengenai tubuh Axelia. Membuat siluman rubah itu hampir terjatuh bila saja ia tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya. Pupil mata Axelia mengecil, merasa terkejut dengan gerakan Anastasius yang tidak bisa ia prediksi. Kali ini matanya memicing tajam ke arah Anastasius, air muka Axelia menunjukkan kemurkaan kepada sosok pemuda yang masih berlumuran darah dihadapannya. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang membuat Axelia merasa direndahkan akibat bisa terpukul mundur. Hal itu sangat mencoreng harga diri dari seorang siluman rubah berekor sembilan, siluman yang sangat diagungkan di kalangan para siluman. “Bocah b******n!” Teriak Axelia. Angin di sekitar mereka berhembus kencang, turut menghantarkan rasa dingin yang seakan ingin membekukan makhluk hidup yang terkena angin tersebut. Salju mengikuti pergerakan angin yang kian lama berputar semakin kuat. Anastasius seperti merasa tubuhnya menggigil dan bisa membeku suatu saat. Ia berusaha mengalirkan rasa hangat dari percikan listrik yang melingkupi tubuhnya, namun itu pun masih belum cukup untuk membuat tubuhnya menghangat. Anastasius berjalan dengan terhuyung mengikuti hembusan angin, tangan kanannya menghalangi salju dan angin untuk menghalangi pandangannya. Dari balik badai salju, dapat ia lihat sosok Axelia yang tengah berdiri seraya memegang Pedang Eklesia. Siluman Rubah itu mencabut Pedang Eklesia dari permukaan batu. Kemudian mengayunkan pedang tersebut di samping tubuh Axelia. Tubuh Anastasius tak kuasa untuk menahan beban salju yang terus menghantam tubuhnya tanpa henti. Ia berlutut di atas hamparan salju dengan tangan yang mengepal, merasa kesal dengan dirinya yang masih tak bisa melakukan hal berguna untuk Cenora. “Sebelumnya aku ingin bermain lebih lama denganmu. Tapi, karena kamu membuatku kesal, kita akhiri saja disini.” Axelia menyeret Pedang Eklesia, menimbulkan jejak pedang di atas salju. Detak jantung Anastasius berdetak cepat tatkala melihat Axelia yang semakin mendekat ke arahnya disertai dengan aura yang kental untuk membunuh. Anastasius sudah tidak kuasa berdiri, namun ia tidak ingin berakhir di tangan Axelia dengan begitu mudahnya. Tatkala bongkahan es mencuat dari bawah pijakan, pemuda itu masih menghindar seraya menahan seluruh rasa sakit yang mendera tubuhnya, berusaha keras agar tidak tenggelam ke dalam keputus asaan yang perlahan mulai menggerogoti hatinya. Kedua manik perak Anastasius membulat tatkala melihat Axelia menancapkan Pedang Eklesia ke atas permukaan danau yang membeku. Retakan kecil tercipta di sekitar pedang, kemudian menjalar ke seluruh permukaan es menjadi retakan besar. Anastasius berlari menghindari retakan es ke daerah yang masih kokoh, namun satu tusukan Pedang Eklesia sudah mampu membuat seluruh permukaan es terpecah menjadi kepingan kecil. Ketika Anastasius menginjak sebuah bongkahan es, es tersebut retak. Menyebabkan kakinya tergelincir kemudian terjatuh ke dalam air danau. Rasa dingin langsung melingkupi tubuhnya, begitu dingin hingga Anastasius bahkan tak mampu untuk menggerakan persendian di seluruh tubuh. Tangan kanan berusaha menggapai ke permukaan luar, namun tubuhnya semakin tenggelam ke dalam Danau Perak. Beban air menekan tubuh Anastasius untuk semakin turun ke bawah. Kegelapan mengitarinya, tak ada cahaya ataupun kehidupan di bawah Danau Perak. Namun, ia seakan bisa merasakan ratusan pasang mata tengah memandangi Anastasius yang sekarat. Aku ingin hidup.” Pikirnya terus menggema didalam kepala. Anastasius harus hidup, dengan begitu ia bisa menghapuskan raut kekhawatiran yang selalu Cenora perlihatkan tatkala melihat Anastasius yang berada didalam masalah. Ia ingin terus tersadar dan berusaha untuk menggapai permukaan air. Namun, tubuhnya terasa berat dan kaku, di detik terakhir Anastasius hendak menutup kelopak matanya, dengan samar Anastasius bisa melihat seseorang tengah menyelam untuk menggapai tubuh Anastasius. Kegelapan kemudian menyambut pandangan Anastasius, namun telinganya mampu menangkap suara – suara yang pernah ia dengar, terus menggaung ke dalam kepala seakan menjadi pengiringnya untuk tidur ke dalam tidur panjang. “Kalau ternyata mereka bisa membunuhku?” “Maka aku akan membunuh mereka.” **** To Be Continued
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN