TPS, 05

3042 Kata
Candra masih berusaha menolong wanita itu, meskipun suara teriakan pria yang mengejar masih terdengar kencang dan dia juga masih gencar mengejar mereka, Candra masih menggenggam erat tangan si wanita dan membawanya berlari secepat yang dia bisa.  “Cepat larinya, jangan berhenti,” pinta Candra karena biasanya wanita mudah mengeluh dan lelah berdasarkan pengalaman yang pernah Candra alami ketika mendapat rekan player seorang wanita di game virtual lain.  “Iya, Tuan. Terima kasih sudah menolongku.”  Candra tak menanggapi karena yang sedang dipikirkannya sekarang adalah berlari ke arah mana agar orang yang mengejar mereka tak berhasil menyusul. Menyadari berlari seperti ini hanya akan membuat mereka lambat laun tertangkap juga, Candra berpikir untuk bersembunyi di suatu tempat.  “Belok ke kiri!”  Hingga saat melihat ada persimpangan jalan, Candra memilih untuk berbelok ke kiri alih-alih tetap berlari lurus. Walaupun mungkin pria yang mengejar mereka masih melihat saat mereka berbelok, setidaknya Candra bisa mencari tempat persembunyian selagi orang itu belum mencapai persimpangan.  Candra berhenti ketika menemukan sebuah rumah kecil sepertinya tak berpenghuni, tak jauh dari tempat mereka berada. Menurutnya rumah itu bisa dijadikan tempat persembunyian.  “Nona, kau bersembunyi saja di dalam rumah itu.”  Wanita itu mengangguk patuh, dia berjalan menuju rumah tersebut tapi langkahnya terhenti karena tak melihat Candra mengikutinya. “Tuan, kenapa diam? Ayo, ikut masuk bersamaku. Kita sembunyi di dalam sama-sama.”  Candra menggelengkan kepala. “Tidak. Nona saja yang masuk. Aku akan mengalihkan orang itu. Jika situasinya sudah aman, aku akan memberitahumu kalau sudah boleh keluar dari rumah itu.” “Baiklah, Tuan. Sekali lagi terima kasih sudah membantuku.” Wanita itu mengulas senyum pada Candra, membuat Candra merasa lega untuk pertama kalinya karena akhirnya dia bisa berguna untuk seseorang yang membutuhkan pertolongan.  Begitu melihat wanita itu masuk ke dalam rumah, Candra bergegas pergi dari sana. Dia berlari menuju jalan yang mereka ambil tadi karena yakin tak lama lagi pria yang mengejar mereka tadi melewati jalan itu. Candra berpikir tidak boleh berdiri di dekat rumah yang dijadikan tempat persembunyian agar si pria yang mengejar tak merasa curiga.  Tebakan Candra benar ketika tak lama kemudian, dia berpapasan dengan pria yang mengejar mereka. Dia seorang pria muda yang sepertinya seumuran dengan Candra, setelah dilihat dari dekat.  “Hei, kamu yang membantu wanita itu melarikan diri, kan, tadi? Katakan padaku di mana dia berada?!” tanya orang itu, terlihat marah.  Candra mengangkat kedua bahu, “Aku tidak tahu di mana dia. Sekalipun tahu, aku tidak akan memberitahumu.”  Pria itu berdecak seraya menghampiri Candra. “Kenapa kamu melindunginya, hah? Apa kamu berniat merebut targetku? Seharusnya setiap player mendapat target NPC yang berbeda, kan? Lantas kenapa kamu malah merebut NPC buruanku?”  Candra melongo, dia benar-benar tak paham apa pun. Namun, tunggu, jika wanita itu adalah target buruan pria di hadapannya, Candra mulai memahami kondisinya sekarang. Jadi, wanita yang dia tolong tadi itu seorang NPC. Sungguh dia tak menyadarinya sedikitpun karena penampilannya sama persis seperti player.  “J-Jadi, wanita tadi itu NPC?” Walau jawabannya sudah jelas, tapi Candra ingin memastikannya sekali lagi.  “Tentu saja. Menurutmu kenapa aku memburunya? Tentu saja karena dia itu target yang harus aku tangkap. Sekarang di mana dia? Cepat, beritahu aku!”  Candra meneguk ludah, dilema antara harus memberitahu pria itu atau tidak. Sungguh dia iba pada wanita itu walaupun sekarang dia tahu dia hanya seorang NPC. Pantas saja wanita itu tidak mengeluh meskipun diajak berlari, ternyata dia seorang NPC.  “Hei, kenapa diam? Cepat beritahu sebelum waktuku habis.” “Waktunya habis? Memangnya ada batas waktu dalam pemburuan itu?”  Si pria berdecak, tampak jengkel karena alih-alih memberitahunya tempat persembunyian NPC buruannya, pria asing di hadapannya itu justru terus saja melontarkan pertanyaan. “Akan kujelaskan nanti agar kamu mengerti. Sekarang beritahu aku di mana NPC itu.”  Candra tak memiliki pilihan lain, dia tak ingin menjadi penghambat untuk player lain yang sedang mengejar target demi bisa mendapatkan bonus uang. Dengan ragu tangan kirinya terangkat lalu menunjuk ke arah rumah yang dijadikan wanita tadi bersembunyi.  “Jadi dia bersembunyi di rumah itu?”  Candra menanggapi dengan anggukan. Sedetik kemudian yang dia lihat adalah pria itu yang berlari cepat menuju rumah tersebut.  Candra hanya bisa berdiri mematung di tempat ketika melihat wanita itu tertangkap dan diseret keluar oleh pria tadi. Benar-benar diseret karena dengan kejam pria itu menjambak rambutnya dan menyeretnya keluar dengan paksa.  “Tuan, kenapa memberitahukan tempat persembunyianku padanya? Kenapa mengkhianatiku, Tuan?”  Candra melebarkan mata begitu mendengar rintihan si wanita NPC yang tengah mengutarakan kekecewaan karena Candra mengkhianatinya sambil mengulurkan satu tangan seolah meminta bantuan Candra lagi.  Sedangkan si pria player tengah memegang sebuah pisau tajam yang baru saja keluar dari TPS Watches yang melingkar di tangan kirinya, tentu saja player itu sudah memilih senjata yang akan dia gunakan untuk membunuh NPC buruannya.  Begitu melihat pria itu berniat menusuk wanita NPC dengan pisau di tangannya, tanpa sadar Candra berteriak, “Tunggu! Jangan bunuh dia!”  “Hah? Apa maksudmu melarangku?” tanya pria itu sambil mendelik tajam pada Candra yang kini berlari menghampirinya.  “Jangan bunuh dia. Kamu tidak kasihan padanya?” Pria itu berdecak, “Ck, sudah kukatakan dia ini NPC buruanku.” “Tapi tetap saja. Walau NPC, dia hidup di dunia game ini bersama kita. Kasihan dia.”  Candra melihat pria itu memicingkan mata sembari menatap lurus ke arah kepalanya, entah apa yang sedang ditatap player yang tidak dikenalnya itu, yang pasti dia berharap pria itu mau mengurungkan niat membunuh sang NPC.  “Pantas saja kamu bicara begitu. Ternyata kamu player baru. Level saja masih 0. Kamu pasti baru log in ke TPS, kan?”  Candra menganggukan kepala, walau dia heran karena pria itu bisa mengetahui dirinya player baru yang baru saja log in.  “Akan kuajari kamu cara bermain di TPS. Perhatikan baik-baik.” Pria itu menyeringai, membuat Candra seketika meringis karena merasakan firasat buruk.  Firasat buruknya terbukti benar ketika dengan kejam dan sadis pria itu menggorok leher si wanita NPC yang sama sekali tak melakukan perlawanan. Darah menyembur keluar dari leher si wanita yang menganga, sungguh terlihat seperti pembunuhan nyata di mata Candra.  “T … uan,” gumam wanita NPC itu tertuju pada Candra yang hanya diam mematung tanpa menolongnya sebelum dia meregang nyawa dengan satu tangan yang masih terulur pada Candra. Begitu nyawanya habis, wanita NPC itu pun terkulai sebelum tubuhnya berubah menjadi serpihan menyerupai Kristal yang beterbangan di udara lalu menghilang dalam sekejap.  “Yes, aku berhasil.”  Rasa iba yang sempat menggelayuti benak Candra begitu melihat kematian wanita itu kini mulai reda begitu menyadari yang dikatakan si pria asing yang kini berdiri di dekatnya sambil berteriak girang mengutarakan rasa puas karena berhasil menyelesaikan misi pemburuan itu, memang benar. Wanita itu tidak lebih hanya seorang NPC yang memang diciptakan untuk diburu para player.  “Jadi, wanita itu memang NPC, ya.”  Gumaman pelan Candra tampaknya tertangkap jelas indera pendengaran pria player itu karena kini dia berhenti berteriak girang dan beralih berbalik badan untuk menatap Candra.  “Sudah kukatakan dia itu memang NPC buruanku. Aku tidak berbohong. Sekarang kamu mengerti, kan, memang seperti ini cara main di TPS? Kita harus berburu para NPC yang sudah ditentukan sistem menjadi buruan kita. Setelah kita berhasil membunuhnya maka bonus akan masuk ke akun kita,” ucap pria itu seraya menunjukan TPS Watcehs di tangannya pada Candra. Pada layar TPS Watches itu menampilkan nominal sejumlah uang yang didapatkannya karena berhasil menyelesaikan misi perburuan itu.  Candra melebarkan mata begitu melihat nominal uang yang cukup besar didapatkan pria itu hanya dengan membunuh NPC tadi.  “I-Itu sungguh bonus uang yang kamu dapatkan setelah membunuh NPC tadi?” “Tentu saja.” “Sebanyak itu? Serius?”  Pria itu terkekeh melihat reaksi terkejut yang berlebihan di wajah Candra. “Serius pastinya. Kamu pikir dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini kalau bukan karena ini bonus berhasil membunuh targetku tadi. Sebenarnya jumlah nominal yang kudapatkan ini kecil karena bonus yang didapatkan tergantung level NPC yang kita bunuh. Jika NPC itu cukup kuat seperti contohnya NPC seorang anggota militer maka bonus yang kita dapatkan akan jauh lebih besar. Sedangkan aku, seperti yang kamu lihat, wanita NPC itu sangat lemah jadi wajar aku hanya mendapatkan bonusnya kecil.”  Untuk kesekian kalinya Candra tercengang karena menurutnya nominal yang tertera di layar TPS Watches itu cukup besar, apa-apaan maksud jumlahnya kecil? Candra tak habis pikir.  “Sebelumnya, kenalkan namaku Nasafi. Namamu?” Pria player yang ternyata bernama Nasafi itu mengulurkan tangan kanan pada Candra.  Candra menerimanya tanpa ragu, “Candra,” sahutnya. “Kamu baru saja log in atau bagaimana?” Candra mengangguk karena kenyatannya begitu, baru beberapa menit yang lalu dia log in dan begitu terkejut karena disuguhkan pemandangan mengerikan tadi. Pembunuhan cukup sadis yang langsung dia lihat di depan matanya.  “Pantas saja belum mengerti cara main di TPS. Kamu sudah dijelaskan tentang event berburu NPC, kan?” Nasafi menipiskan bibir begitu melihat TPS Watches yang melingkar di pergelangan tangan kiri Candra. “Kalau melihat dari TPS Watches itu seharusnya kamu juga mengikuti event ini dan sudah memahami cara kerja sistemnya.”  “Aku memang sudah mendengar penjelasannya tadi. Tapi aku belum paham sepenuhnya.” “Santai saja, nanti juga kamu paham. Atau kalau kamu ada yang ingin ditanyakan padaku, aku siap membantu menjelaskan.” Nasafi menyengir lebar, jika melihat dari karakternya ini, Candra menebak Nasafi tipe pria yang periang dan senang membantu orang lain. Dia jadi merasa bersalah karena tadi menghambat perburuan Nasafi dengan membantu NPC buruannya melarikan diri dan bersembunyi.  “Kamu tidak ada misi perburuan lagi?” Nasafi menggelengkan kepala berulang kali, “Tidak ada. Dalam satu hari setiap player hanya berburu satu NPC.” “Kalau begitu sepertinya aku akan menanyakan beberapa hal padamu, boleh?”  Nasafi menepuk bahu Candra tanpa permisi, tapi si pemilik bahu sepertinya tak keberatan karena Candra hanya diam saja tanpa mengatakan protes apa pun. “Tentu. Tapi jangan bicara di sini. Ayo, pergi ke tempat lain. Di TPS ini walau hanya dunia game tapi semuanya direalisasikan seperti di dunia nyata. Bahkan rasa sakit saat terluka atau kelelahan karena terlalu banyak beraktivitas juga bisa kita rasakan. Tidak ada bedanya dengan di dunia nyata. Bahkan kita juga bisa merasa lapar dan haus di sini. Bukankah Adamas sangat keren? Bisa menciptakan dunia game seperti real di dunia nyata?”  Candra tak tahu harus menjawab apa karena sungguh informasi itu baru dia dapatkan. Dia memang mendengar saat Adamas menjelaskan penampilan avatar semua player disesuaikan dengan penampilan fisik asli si player di dunia nyata. Namun, dia tak tahu menahu bahwa semua indera yang dimiliki manusia seperti indera perasa, indera penglihatan, indera pendengaran, indera peraba, bahkan indera penciuman berfungsi layaknya di dunia nyata. Dia setuju dengan pendapat Nasafi, sang administrator pencipta game ini begitu keren dan jenius. Bahkan sampai player bisa merasakan lapar dan haus juga. Sungguh luar biasa bagi Candra.  “Ayo, pergi dari sini. Aku traktir kamu makan. Aku lapar sekali,” kata Nasafi sembari mengusap-usap perutnya. “Memangnya malam-malam begini ada yang menjual makanan di dunia ini?” “Ck, tentu saja ada. Kamu pasti terkejut kalau melihat keseluruhan di dunia TPS ini. Tidak ada bedanya dengan dunia nyata, sungguh. Tidak percaya? Buktikan saja sendiri.”  Ya, Candra pikir dia harus membuktikan ucapan Nasafi dengan mata kepalanya sendiri karena itu dia akan mengikuti ke mana pun Nasafi mengajaknya pergi.   ***   Sudah hampir satu jam mereka berdua berjalan-jalan, Candra hanya bisa tercengang karena seperti yang dikatakan Nasafi, di dunia TPS ini tidak ada bedanya dengan dunia nyata. Bahkan terasa lebih menyenangkan karena situasinya yang seperti masih hidup di abad 18. Semuanya masih kuno, kini dia tak heran begitu mengingat wanita NPC yang dibunuh Nasafi tadi mengenakan gaun khas wanita-wanita zaman dulu. Karena di zaman sekarang kebanyakan wanita mengenakan pakaian seksi seperti kekurangan bahan.  Karena kelelahan setelah berjalan-jalan, mereka kini tengah duduk di salah satu kursi di bawah sebuah pohon rindang berdaun lebat, keduanya tengah menyantap roti gandum yang dibeli Nasafi di salah satu toko roti. Bahkan toko makanan pun banyak terdapat di dunia TPS, tentu saja yang berjualan adalah para NPC. Ngomong-ngomong tentang roti, Nasafi juga tak main-main dengan ucapannya, dia benar-benar mentraktir Candra sehingga mereka kini sedang melahap roti masing-masing tanpa mengeluarkan suara.  Begitu potongan roti terakhir berhasil Candra telan, dia menoleh ke arah samping, pada Nasafi yang juga sudah menyelesaikan makannya. Dia pikir ini waku yang tepat untuk menanyakan beberapa hal pada pria itu.  “Hm, aku ingin minta maaf untuk kejadian tadi karena sudah menghalangimu saat berburu NPC.” Karena bingung harus memulai pembicaraan dari mana mengingat Candra tak terlalu luwes saat bergaul dengan orang asing, dia pun pertama-tama berkata demikian.  Nasafi menanggapi dengan senyuman lebar, “Tidak masalah. Aku maklumi karena kamu belum tahu apa-apa. Tapi kalau lain kali kamu begitu lagi, lihat saja. Tidak ada kata maaf untuk kesalahan yang kedua kali.”  Candra terkekeh kecil, “Aku tidak akan melakukannya lagi, tenang saja.” Yang hanya ditanggapi Nasafi dengan satu ibu jarinya yang terangkat. “Terima kasih juga untuk rotinya.” “Siapa bilang roti itu gratis?” Candra mengedipkan mata, bukankah tadi Nasafi mengatakan akan mentraktirnya? Bukankah itu artinya dia membelikan roti itu secara gratis untuk Candra?  “Maksudnya kalau nanti kamu sudah dapat bonus untuk pertama kali, jangan lupa traktir aku juga.”  Seketika Candra mengembuskan napas lega karena jika dia diminta untuk membayar roti itu sekarang sungguh dia kebingungan karena tak memiliki uang sepeser pun. Untuk sistem pembayaran di dunia TPS juga sama persis seperti di dunia nyata. Menggunakan uang dengan mata uang rupiah karena setting tempat dunia TPS rupanya memang di Indonesia, semakin membuat Candra takjub karena tak menyangka ada orang Indonesia sejenius ini sehingga mampu menciptakan game yang tak kalah canggih dan modern seperti game virtual buatan negara lain.  “Jadi, kamu mau tanya apa? Aku tahu kamu ada banyak yang ingin ditanyakan padaku, kan? Tidak perlu berbasa-basi atau malu, langsung saja tanyakan.”  Candra cukup terkejut karena Nasafi menebak tepat isi kepalanya, dia memang ingin menanyakan banyak hal tadi dia juga sedikit ragu untuk mengutarakannya. Karena Nasafi sudah berkata demikian, kini dia pun tak ragu lagi untuk bertanya.  “Tentang kamu yang tahu levelku masih 0, itu dari mana, ya?” Candra memulai pertanyaannya.  Nasafi menunjuk puncak kepalanya sendiri dengan jari telunjuk. “Coba kamu lihat di bagian atas kepalaku. Lihat dengan konsentrasi, kamu pasti akan melihat sejenis toolbar di sana yang menunjukan levelku.”  Candra mengikuti perintah Nasafi, dia memicingkan mata untuk melihat tepat ke bagian puncak kepala Nasafi. Benar saja tak lama kemudian dia melihat sejenis toolbar muncul di puncak kepala Nasafi dan ada angka 30 tertera di sana, apa itu level Nasafi?  “Apa levelmu sudah 30?”  Melihat Nasafi hanya menyengir lebar, sepertinya memang itu level yang dimilikinya.  “Bagaimana caranya jika ingin menaikkan level di TPS?” Candra kembali bertanya. “Kalau kamu berhasil menyelesaikan misi perburuan NPC, maka satu level akan naik.” “Oh, begitu.” Candra mengangguk-anggukan kepala, dia sudah memahaminya. Sebelum tiba-tiba dia tercekat karena baru menyadari sesuatu. “T-Tunggu, kalau membunuh satu NPC maka level kita akan naik, berarti kamu …” Candra melebarkan kedua mata. “… kamu sudah membunuh 30 NPC?”  “Begitulah,” sahut Nasafi santai seolah baginya melakukan tindakan kejam dan sadis seperti yang dilakukannya pada wanita NPC tadi merupakan sesuatu yang biasa dia lakukan. “Makanya itu aku tahu nominal bonus yang kudapatkan berbeda-beda berdasarkan taraf kesulitan saat menghadapi NPC yang aku buru. Karena tidak semua NPC sangat mudah diburu seperti wanita tadi. Seperti yang kukatakan tadi, ada juga NPC yang sulit diburu karena mereka sangat tangguh dan kuat. Misalnya NPC yang berprofesi sebagai anggota militer, jelas mereka sulit untuk dibunuh, bukan?”  “Kamu pernah memburu NPC seorang anggota militer?” tanya Candra penasaran. “Belum. Tapi aku pernah memburu NPC seorang atlit tinju. Bisa kamu bayangkan bagaimana susahnya aku memburunya? Aku sempat babak belur saat beradu otot dengannya.” Nasafi tertawa lantang. “Dia memukuliku sampai babak belur. Untungnya aku hanya babak belur di TPS saja, tubuhku di dunia nyata tidak ikut babak belur juga. Tapi tetap saja rasa sakitnya bisa aku rasakan.”  Candra tak berkomentar, untuk urusan dipukuli orang sampai babak belur sudah sering dia rasakan di dunia nyata, jadi sudah bisa dia bayangkan rasa sakit yang dirasakan Nasafi kala itu.  “Begitu, ya? Kamu bilang nominal tadi itu sedikit, ya, padahal kamu mendapatkan lima juta hanya dengan membunuh wanita NPC tadi?” “Itu memang kecil,” jawab Nasafi sambil menerawang menatap ke depan. “Saat berhasil membunuh NPC atlit tinju itu aku mendapatkan dua puluh lima juta.”  Candra tercengang, jika dia bisa mendapatkan bonus uang sebanyak itu setelah menyelesaikan misi perburuan NPC tentu saja dia akan melakukannya dengan senang hati, walau mungkin dia tidak akan tega seperti saat dia melihat Nasafi membunuh wanita NPC tadi.  “Intinya kamu harus membuang rasa iba dan belas kasihan di hati kamu saat berburu para NPC. Lagi pula, mereka itu bukan makhluk hidup nyata, mereka hanya kumpulan data-data, makhluk buatan di dalam game. Jadi, kenapa harus ragu membunuh mereka?”  Candra tertegun, tengah mencerna baik-baik ucapan Nasafi tersebut.  “Di TPS kita hanya bersikap kejam pada NPC yang tidak lain hanya makhluk buatan di dalam game. Sedangkan di dunia nyata …” Candra menangkap raut marah di wajah Nasafi saat pria itu menjeda ucapannya seolah di dunia nyata pria itu pun pernah mengalami kejadian buruk seperti halnya Candra. “… orang-orang saling menyakiti satu sama lain. Menurutku orang-orang di dunia nyata lebih kejam. Di TPS ini kita akan bersenang-senang saat menjadi seorang pemeran antagonis yang akan berburu NPC untuk kita bunuh. Sungguh sangat menyenangkan jika kamu sudah mencobanya nanti.”  Sekali lagi, Candra hanya meringis. Entahlah, dia tak yakin bisa merasa senang saat harus menyiksa apalagi membunuh orang lain, ya walau itu hanya NPC sekalipun. “Kapan kamu akan mulai melakukan misi perburuan?” tanya Nasafi tiba-tiba yang membuyarkan lamunan Candra. “Hm, entahlah. Aku belum yakin bisa melakukan perburuan. Aku masih sangat baru bergabung dengan game ini.” “Menurutku lebih cepat lebih bagus. Kalau kamu mau, besok kita bertemu lagi di sini. Aku akan mengajarkanmu cara berburu NPC, bagaimana? Mau?”  Itu sebuah tawaran yang menggiurkan, sepertinya Candra tertarik menerimanya karena dengan penuh semangat dia mengangguk-anggukan kepala.  “OK. Besok kita mulai perburuan NPC,” ujar Nasafi tak kalah semangatnya.  Sudah diputuskan mereka berdua akan mulai berburu NPC, esok hari.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN