TPS, 06

2555 Kata
Sesuai kesepakatan, esok harinya … Candra benar-benar datang ke tempat dia janji bertemu dengan Nasafi. Namun, pria itu tampaknya belum datang, batang hidungnya belum terlihat. Karena menurut Nasafi lebih baik mereka memulai perburuan saat siang hari mengingat perburuan memiliki batas waktu yaitu 24 jam sejak event dimulai, terlebih mereka juga harus mencari NPC yang menjadi target dalam perburuan nanti. Demi memenuhi janjinya pada Nasafi, Candra sampai rela bolos kuliah hari ini. Tak masalah menurutnya karena belajar cara berburu NPC dari Nasafi jauh lebih penting menurutnya.  Tempat yang semalam cukup sepi kini ramai oleh orang yang sedang berlalu-lalang, sama persis seperti orang-orang di dunia nyata yang sibuk melakukan aktivitas masing-masing di siang hari, di dunia TPS pun hal serupa terjadi. Semua NPC melakukan aktivitas masing-masing sesuai dengan profesi mereka.  Lelah menunggu Nasafi yang tak kunjung datang, Candra mendudukan diri di kursi yang sama saat semalam dia duduk berdua dengan Nasafi.  “Ke mana dia? Padahal dia yang bilang bertemu hari ini dan di siang hari. Jangan-jangan dia lupa sudah membuat janji bertemu denganku,” gumam Candra, mulai kesal karena dia sudah cukup lama menunggu di sana, nyaris satu jam dan Nasafi tak kunjung datang.  Candra pun menopang dagu dengan kedua tangannya yang bertumpu pada lutut, memperhatikan keadaan sekitar yang ramai, sulit rasanya membedakan antara NPC dan player karena para NPC tak ada bedanya dengan player dalam hal penampilannya. Walaupun mereka itu hanya makhluk buatan di dalam game yang hanya berisi data-data, tetap saja dilihat dari sudut mana pun mereka seperti manusia pada umumnya. Candra menghela napas panjang, masih tak yakin dirinya sanggup membunuh NPC yang akan menjadi targetnya nanti.  Di tengah-tengah suasana hati Candra yang tidak karuan karena dia masih menunggu kedatangan Nasafi dan mulai kesal pria itu tak kunjung datang, serta keraguan yang dia rasakan karena harus membunuh NPC, dia tak tega. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh seseorang yang tanpa permisi duduk di sampingnya.  Candra menoleh, dia menaikkan satu alis saat melihat seorang gadis tengah duduk dengan wajah murung. Gadis itu masih begitu muda, Candra prediksi mungkin baru berusia 17 tahun.  Penasaran karena sungguh wajah gadis itu terlihat sedih, Candra pun memberanikan diri untuk bertanya, “Kamu kenapa? Kelihatannya sedang sedih? Ada masalah?” tanyanya dengan bertubi-tubi.  Gadis yang sejak tadi menunduk itu pun menoleh ke arah Candra. Candra terenyak karena melihat dari depan ternyata gadis itu sangat cantik membuat tanpa sadar dia meneguk ludah karena entah kenapa tiba-tiba Candra merasa gugup.  Gadis itu mengangguk, “Iya, Kak. Aku sedang ada masalah.” “M-Masalah apa? Mungkin aku bisa bantu?” Sekali lagi entah mendapatkan keberanian dari mana Candra menawarkan diri seperti itu karena biasanya dia sangat kaku saat berinteraksi dengan orang lain, terlebih dengan orang yang baru dia temui.  Si gadis kembali menundukkan kepala, “Ibuku sedang sakit keras, sekarang sedang membutuhkan obat. Tapi aku tidak punya uang untuk membeli obat.” “Ayahmu memangnya ke mana? Kamu bisa meminta uang pada ayahmu?” tanya Candra.  Namun, pertanyaan Candra itu membuat wajah si gadis semakin murung. “Ayahku sudah tiada. Tewas karena dibunuh seseorang.”  Candra terenyak, dia tahu persis gadis itu seorang NPC, kali ini dia tak akan tertipu. Kenapa bisa seyakin itu? Jawabannya karena Candra tidak melihat toolbar di bagian atas kepala untuk melihat level para player. Ya, di puncak kepala gadis itu sama sekali tak ada toolbar level, Candra sudah memastikannya barusan. Kini Candra berpikir ayah gadis itu mungkin telah dibunuh oleh salah satu player karena dia menjadi target buruannya.  “Hm, aku turut berduka,” sahut Candra karena tak tahu lagi harus bereaksi seperti apa. “Aku hanya tinggal berdua dengan ibu. Sekarang ibu harus minum obat karena obat yang biasa dia minum sudah habis. Tapi bagaimana ini? Aku tidak bisa membelikannya obat, aku tidak punya uang sepeser pun.”  Candra panik luar biasa begitu melihat gadis itu tiba-tiba menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.  “Hei, Nona, jangan menangis.” “Mitha.”  Candra melongo begitu mendengar gadis itu menyahut di tengah-tengah isak tangisnya. Dia lalu menjauhkan telapak tangan dari wajahnya yang kini banjir dengan air mata. “Namaku Mitha, jangan panggil nona, Kak,” katanya.  “Oh, iya. Maksudku Mitha. Jangan menangis.” “Tapi bagaimana lagi, Kak? Aku sangat sedih. Kondisi ibuku akan semakin parah jika tidak cepat-cepat minum obat. Aku tidak punya uang jadi bagaimana caranya aku membeli obatnya?”  Mitha pun semakin menangis histeris, tentu saja membuat Candra semakin kebingungan di tempat. Dia tahu harus melakukan sesuatu karena selain dia kasihan pada gadis itu, dia juga tak ingin orang lain salah paham melihat mereka kini menjadi pusat perhatian karena suara tangisan Mitha yang cukup kencang. Candra tak ingin dikira dirinya yang menyebabkan Mitha menangis.  “Di mana biasanya kamu membeli obat?” “Di sana. Di apotek itu,” sahut Mitha sembari menunjuk ke arah salah satu apotek.  Sebenarnya Candra tak bisa membeli obat karena dia juga tak memiliki uang sepeser pun seperti halnya Mitha. Jika saja ada Nasafi di sini maka semuanya akan berbeda. Pria itu tentunya memiliki uang, dia pasti bisa membantu Mitha untuk membeli obat. Kenyataannya Nasafi belum juga datang, Candra tahu dia tak bisa mengandalkan pria itu yang mungkin memang sudah melupakan perjanjian mereka semalam. Candra semakin tak tega begitu mendengar tangisan Mitha yang seiring berjalannya waktu semakin terdengar pilu dan menyayat hati.  “Baiklah, aku akan membantumu mendapatkan obat itu. Ayo, kita pergi ke apotek itu.”  Bisa dikatakan Candra cukup nekat mengatakan ini, hanya saja dia harus melakukan sesuatu untuk membantu gadis itu.  “Kakak akan meminjamkan aku uang untuk membeli obat?” tanya Mitha. “Hm, entahlah. Kita lihat saja nanti. Yang pasti aku akan berusaha membantumu untuk mendapatkan obat itu. Ayo pergi, jangan membuang-buang waktu lagi.”  Wajah murung Mitha seketika menjadi sumringah, dia tersenyum ceria karena merasa lega Candra begitu baik mau membantunya mendapatkan obat.  Setibanya di apotek, rupanya pemilik apotek merupakan seorang pria berbadan gemuk dengan perut bergelambir. Terlihat sangar dari kumis tebal dan jambangnya yang lebat. Candra mencoba peruntungan melakukan negosiasi dengan pria itu.  “Hah? Kalau tidak punya uang jangan berniat membeli obat!” bentak pria itu ketika Candra dengan sopan membujuk agar dia mau memberikan obat pada Mitha tapi untuk uangnya dia akan membayar sampai Nasafi datang. Dengan kata lain, Candra nekat meminta berhutang pada sang pemilik apotek.  “Hanya menunggu sampai teman saya datang, Pak. Setelah itu saya pasti bayar biaya obatnya.”  Pria gemuk itu mendecih, “Kenapa tidak ke sini lagi jika temanmu itu sudah datang saja?” “Tidak bisa begitu, Pak. Kasihan ibu gadis ini, dia harus segera meminum obat.” Candra membalas seraya menunjuk Mitha yang berdiri di sampingnya.  “Tetap saja kami tidak menerima hutang. Ada uang ada barang,” sahut pemilik apotek itu, tegas dan final.  Candra menghela napas panjang, tak tahu lagi harus bagaimana sekarang.  “Sudahlah, Kak. Tidak apa-apa. Terima kasih, ya, sudah membantuku.”  Candra menoleh ke samping, pada Mitha yang mengucapkan terima kasih padanya disertai senyuman manis walau kedua matanya berkaca-kaca karena nyaris menangis. Tentu saja melihat itu membuat Candra semakin iba. Dia tak ingin menyerah untuk membantunya.  “Begini saja, Pak. Jika tidak bisa berhutang, apa bisa obatnya ditukar dengan benda lain? Misalnya dengan senjata?”  Si pemilik apotek mengerjapkan mata berulang kali, terlihat terkejut mendengar penawaran Candra kali ini.  “Memangnya kamu mau menukar dengan senjata apa untuk barter obat itu?” Candra ingat jika dia menekan tombol berwarna hijau pada TPS Watches artinya dia bisa memilih berbagai senjata yang tersedia sebagai persenjataan untuk avatar-nya. Candra lantas benar-benar menekan tombol hijau sehingga beberapa pilihan senjata pun terpampang di layar TPS Watches miliknya.  Dia memilah-milah sampai akhirnya memilih sebuah belati dengan ukiran yang cukup unik. Dia memilih belati itu sehingga tiba-tiba muncul secara ajaib. Candra tak merasa terkejut karena memang seperti itu cara kerja di dunia game virtual, apa pun bisa muncul secara otomatis mengikuti sistem game itu sendiri.  “Jika ditukar dengan belati ini, bagaimana?” Candra bertanya, dia mengulurkan belati di tangannya pada si pria gemuk.  Pria itu tanpa ragu menerimanya. “Hm, ukirannya cukup unik.” “Jadi, anda setuju?”  Lama si pemilik apotek terdiam seolah dia sedang menimbang-nimbang keputusan yang harus diambilnya. Namun, beberapa detik kemudian, dia menganggukan kepala. “Baiklah, aku setuju.”  Dia bergegas mengambil obat yang dibutuhkan Mitha, menyerahkannya pada Candra. Lalu obat itu berpindah tangan pada Mitha begitu Candra mengulurkannya. “ Ini, kan, obatnya?” “Benar, Kak. Terima kasih banyak.”  Candra ikut tersenyum melihat senyuman lebar yang diberikan Mitha padanya, entah kenapa dia merasa lega setelah membantu gadis itu.  “Kakak mau ikut denganku ke rumah?” “Hah? Untuk apa aku ikut? Kamu takut pulang sendirian?” Mitha menggelengkan kepala, “Bukan takut, tapi aku ingin Kakak bertemu dengan ibu. Aku yakin ibu juga ingin berterima kasih pada Kakak. Hm, boleh tahu nama Kakak?”  Candra terenyak, dia lupa belum mengenalkan diri pada gadis itu. “Candra. Namaku Candra.” “Kak Candra mau, kan, ikut ke rumah untuk menemui ibuku?”  Awalnya, Candra ingun menolak. Namun, melirik sekilas ke arah kursi yang tadi dia duduki dan masih belum melihat sosok Nasafi datang, dia pikir tak ada salahnya untuk ikut dengan Mitha. Tidak akan lama karena setelah bertemu dengan ibu gadis itu dia akan bergegas kembali ke tempat ini.  “Baiklah. Aku akan menemui ibumu.”  Sungguh, untuk pertama kalinya Candra merasa begitu senang dan lega karena membuat seorang gadis yang awalnya begitu murung dan sedih, kini menjadi tersenyum dan sangat ceria berkat dirinya.  Mereka berdua pun melenggang pergi menuju rumah Mitha.   ***   Senyuman tak luntur sedikit pun dari wajah Candra, dia begitu senang setelah bertemu dengan ibu Mitha. Wanita paruh baya yang terlihat pucat itu begitu baik dan ramah. Memperlakukan Candra layaknya anak sendiri, sangat jauh berbeda dengan ibu kandung Candra di dunia nyata. Melihat perlakuan ibu Mitha padanya membuat Candra teringat pada sikap sang ibu sebelum berubah menjadi seperti sekarang. Ibunya sebelum sang ayah terpikat wanita lain sama baik dan ramahnya dengan ibu Mitha.  Candra sedang berjalan kaki menuju tempat dia berjanji bertemu dengan Nasafi. Dengan kepala tertunduk disertai senyuman yang terus terulas di bibir.  “Hei, kamu kenapa baru datang, Candra?!”  Hingga Candra tersentak kaget karena tiba-tiba mendengar teriakan seseorang dari arah belakang. Begitu berbalik badan, ternyata itu Nasafi.  Candra mendengus, “Huh, justru seharusnya aku yang bilang begitu. Kenapa kamu baru datang? Kamu tidak tahu apa aku sudah menunggumu sejak tadi?”  “Mana ada? Begitu datang ke sini aku lihat kamu tidak ada. Ini kamu baru datang, kan? Mengaku saja, tidak usah berbohong.”  Candra memutar bola mata malas, “Siapa bilang aku baru datang? Aku sudah datang dari tadi, hanya saja kamu lama sekali makanya aku pergi ke suatu tempat dulu barusan.” “Memangnya kamu pergi ke mana barusan?”  Candra merasa tak ada gunanya dia menjelaskan pada Nasafi, toh, dijelaskan pun pria itu sama sekali tidak mengenal Mitha dan ibunya. Karena waktu terus bergulir dan Candra tak ingin membuang-buang waktunya lagi, dia pun mengalihkan pembicaraan.  “Daripada membahas masalah tidak penting ini, lebih baik kamu ajari aku sekarang cara berburu NPC.” “Huh, dasar tidak sabaran.” “Kamu yang lama. Aku menunggu kamu berjam-jam di sini tadi.”  Seolah tak merasa bersalah, Nasafi hanya menyengir lebar. “Baiklah, aku minta maaf. Tadi terlambat karena ada urusan mendadak di dunia nyata. Jadi, kamu sudah siap berburu?” “Siap tidak siap, aku harus tetap melakukannya jika ingin mendapatkan uang, bukan?” Nasafi menjentikkan kedua jari, “Tepat sekali. Ya sudah, coba sekarang tekan tombol merah di TPS Watches milikmu. Kita harus tahu dulu siapa NPC yang menjadi tergetmu.”  Candra menuruti tanpa berkomentar, dia juga ingat fungsi tombol merah pada TPS Watches memang untuk mengetahui target NPC yang harus diburu. Tanpa ragu dia pun menekannya dan tak lama kemudian, biodata NPC yang harus diburu oleh Candra pun muncul di layar.  “Oh, targetmu sepertinya mudah. Dia hanya seorang gadis, kelihatannya lemah.”  Nasafi mengernyitkan dahi karena tak mendengar Candra meresponsnya. Dia lalu menoleh, menatap wajah Candra. Saat itulah dia terheran-heran karena melihat wajah Candra yang seperti sedang syok. “Kamu kenapa? Jangan panik begitu, NPC targetmu sangat lemah. Pasti mudah memburunya.” Namun, respons Candra hanya menggelengkan kepala, “NPC yang harus aku buru ini. Aku mengenalnya.”  “Hah? Bagaimana bisa kamu mengenalnya?” tanya Nasafi bingung. “Karena dia yang menjadi alasanku baru datang ke sini.”  Wajar Candra mengatakan ini karena NPC yang menjadi tergetnya tidak lain merupakan gadis yang baru saja dia tolong, Mitha.  “Bisakah perburuan ini dibatalkan?” tanya Candra, sungguh dia tak akan sanggup jika harus memburu dan membunuh Mitha. Gadis itu terlalu manis dan baik. Apalagi Candra tahu dia hanya tinggal berdua dengan ibunya. “Tidak bisa. Setelah kamu menekan tombol merah tadi, artinya event ini sudah dimulai.”  Candra tahu Nasafi mengatakan yang sebenarnya karena raut wajahnya begitu serius.  “Kalau aku tidak menjalankan misinya, bagaimana? Bisa, kan?”  Yang Candra dapatkan adalah Nasafi yang menggelengkan kepala. “Kamu tidak bisa berhenti menjalankan misinya.” “Kenapa tidak bisa?” tanya Candra, terlihat kesal. “Seharusnya ikut atau tidak misi perburuan ini tergantung dari player-nya.” “Permainan di TPS tidak sesederhana itu, Candra. Apalagi untuk player yang sudah memutuskan untuk mengikuti event perburuan ini. Bagi player yang tiba-tiba membatalkan misi ini maka konsekuensinya tidak akan pernah bisa log in lagi ke dalam TPS.”  Candra terbelalak, terkejut luar biasa karena dia baru mengetahui konsekuensinya sebesar itu. “K-Kenapa?” “Agar tidak ada player yang menganggap enteng permainan ini. Dengar, Candra, ketika kamu memutuskan untuk mengikuti event ini maka tidak ada kesempatan bagimu untuk mundur, apalagi jika kamu sudah menekan tombol merah yang mana berarti misi perburuan ini dimulai.”  “Lalu bagaimana jika perburun gagal karena kehabisan waktu, apakah player itu juga tidak diizinkan untuk log in lagi ke dalam TPS?”  “Untuk masalah itu ceritanya berbeda. Selama player yang gagal itu sudah berusaha menyelesaikan misinya tapi dia gagal karena kehabisan waktu maka konsekuensinya dia hanya akan mengalami penurunan level.”  Candra mengulas senyum karena merasa telah menemukan jalan keluar untuk masalahnya ini. “Kalau begitu, aku hanya perlu menunggu sampai batas waktunya habis. Aku tidak perlu benar-benar berburu NPC itu.”  Nasafi berdecak karena sepertinya apa yang dipikirkan Candra sama sekali tidak benar. “Tidak, Candra. Bukan begitu cara bermainnya. Sudah kukatakan jangan menganggap enteng dan remeh permainan di TPS ini. Semua player akan selalu dipantau oleh sistem jadi jika kamu tidak benar-benar berusaha memburu NPC itu tentu saja sistem akan tahu, terutama Administrator yang selalu mengawasi kita.” Candra terdiam karena baru menyadari kebenaran perkataan Nasafi, tentu saja semua player akan dipantau oleh sistem apalagi mengingat bonus yang besar sebagai hadiah event perburuan itu.  “Selain itu, player lain yang gagal melakukan misi perburuan ini mungkin hanya akan menerima konsekuensi penurunan level. Sedangkan kamu … kamu belum memiliki level apa pun, jadi tidak ada level yang bisa diturunkan. Menurutmu konsekuensi apa yang akan kamu dapatkan jika gagal dalam misi perburuan pertamamu ini?”  Candra menelan ludah, mulai memahami sistem permainan di dalam TPS yang begitu tegas dan beresiko tinggi. “Seperti konsekuensi yang kamu katakan tadi, mungkin aku tidak akan diizinkan log in lagi ke TPS.” “Benar. Akhirnya kamu paham juga peraturannya.”  Candra hanya bisa tertegun dalam diam, merasa dia memang tak memiliki pilihan selain meneruskan misi perburuan tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN