7. Ultimatum

2183 Kata
Malam ini, Ibu tiba-tiba meneleponku dan memberi kabar kalau Mbak Via akhirnya hamil. Mbak Via adalah kakak perempuanku, dan usia kami terpaut kisaran tiga tahun. Dia sudah menikah dua tahun lalu dengan cinta pertamanya, yakni Mas Athar. Mbak Via sempat hamil, tetapi keguguran. Sebenarnya, telepon dari Ibu adalah hal yang bagus karena niat beliau memberi kabar menggembirakan. Akan tetapi, telepon kali ini justru seolah menjadi sinyal buruk untukku. Pasalnya, beliau mendadak mengutarakan keinginan tentang aku yang harus segera menyusul Mbak Via. “Tahun depan kan umurmu udah dua puluh lima to, Rin? Kurang opo? Umur segitu udah siap nikah, itu! Segera, ya?” begitulah kira-kira kalimat Ibu ketika menyuruhku untuk segera menikah. Ibu itu aneh. Memangnya beliau kira menikah itu semudah membalikkan telapak tangan? Sudah aneh, tidak pengertian pula. Padahal, beliau ini tahu kalau aku belum lama ditinggal menikah oleh mantan pacar yang ketahuan selingkuh. “Arghhh!” aku meraup wajahku kasar, lalu menjatuhkan badan di ranjang. Tiba-tiba saja, tidak ada angin tidak ada hujan, bayangan wajah Pak Dipta muncul di otakku. Aku buru-buru menggeleng untuk menyingkirkannya. Aku tidak ingin seperti dulu lagi, terbayang-bayang wajahnya tanpa alasan yang jelas! Ngomong-ngomong, ini sudah satu bulan lebih sejak Pak Dipta mengajakku makan bersama sore itu. Setelah dia mengatakan satu kalimat yang membuatku berdebar sangat kencang, keesokan harinya dia seolah menghilang. Satu bulan ini aku sama sekali tidak melihat batang hidungnya— eh ... ralat, maksudku, aku hanya sempat melihatnya sekali ketika dia masuk lobi bersama beberapa orang kepercayaan Pak Dilan. Aku dengar dari Mega, Pak Dipta sedang mengerjakan sebuah proyek besar yang cukup beresiko. Bisa jadi, proyek ini menjadi salah satu ujian untuk Pak Dipta sebelum Pak Dilan benar-benar melepaskannya. Agaknya, menjadi anak konglomerat tak semudah kelihatannya. Drrrt! Tiba-tiba saja, ponselku kembali berdering. Ah, dari ibu. Mau apa lagi, beliau ini? “Hallo, Bu,” sapaku begitu panggilan terhubung. Aku memutuskan untuk bangun lagi karena rasanya tidak nyaman teleponan dengan orang tua sambil tiduran. “Hallo, Rin.” “Ada apa, Bu, kok telepon lagi?” “Enggak papa. Tadi ibu ada yang lupa.” “Tentang?” “Astri tetangga kita itu juga mau nikah, lho, RIn. Astri teman SD kamu itu.” Oh, ya ampun! Ibu ini sepertinya belum puas merecokiku tentang menikah. “Terus kenapa kalau Astri mau nikah, Bu? Ibu ikut bantu-bantu, pasti?” Ibu tertawa pelan di seberang sana. “Kamu jangan pura-pura enggak paham gitu, Rin. Maksud Ibu, Astri aja udah mau nikah, lho. Masa kamu—” “Bu, menikah itu bukan tentang siapa yang paling cepat. Buat apa cepat nikah tapi cepat cerai?” “Hush! Kamu ini kalau ngomong mbok ya dijaga!” “Lagian Ibu, sih! Menikah itu bukan buat cepet-cepetan, tapi maunya dapat jodoh yang tepat. Memang ada, yang nikah muda dan bahagia. Tapi nyatanya? Yang setelah itu cerai juga banyak, Bu. Barusan aku bukannya doain jelek ke Astri, tapi bicara realita secara umum.” “Iya, Rin. Ibu tahu.” “Nah, itu. Ibu kenapa, sih? Tumben banget begini. Padahal Ibu biasanya santai. Sama Mbak Via juga Ibu santai aja.” Bukannya menjawab, Ibu malah terdiam cukup lama. Mungkin kisaran setengah menit beliau benar-benar diam tak bersuara sama sekali. “Hallo, Ibu?” “Enggak, Rin, enggak papa. Ibu minta maaf, ya.” Nah, loh! “Aku juga minta maaf, Bu, barusan agak ngegas. Intinya aku minta doanya aja sama Ibu sama Ayah. Semoga dilancarkan semuanya di sini. Masalah jodoh, aku pasrah.” “Ya! Ya sudah, Ibu tutup lagi telfonnya.” “Iya, Bu.” Setelah panggilan terputus, aku kembali pada posisi telentang. Aku mendadak kepikiran dengan reaksi Ibu yang tiba-tiba diam cukup lama. Sebenarnya Ibu kenapa? *** “A-apa? Kembaran Pak Dipta mau nikah?” Kiki dan Mega seketika heboh setelah mendengar kabar itu dari Syarif, dan Syarif sendiri mendapat kabar dari Mas Emran. Kalau sumbernya sudah Mas Emran, bisa dipastikan kebenarannya nyaris seratus persen. “Wah, beruntung banget calon istrinya. Dapat suami anak konglomerat, cuy!” Kiki berujar pelan, terlihat iri. “Ya pasti calon istirnya bukan orang sembarangan, lah, woi!” Mega menyahut cepat. “Orang biasa, kok, Ga. Kata Mas Emran, dia memang anak orang berpengaruh, tapi sempat kepisah gitu sama orang tuanya. Waktu Pak Dilan kasih restu, beliau tahunya calon mantunya itu orang biasa.” “Heh?” kali ini justru aku yang kaget. “Yang bener, Rif?” Syarif mengangguk. “Bener. Jadi, kembaran Pak Dipta— maksud gue Pak Davka, dapat istri mahasiswanya sendiri. Dia kan dosen, tuh! Beberapa bulan lalu, gue udah dengar kabar kalau anak Pak Dilan ada yang mau nikah sama anak orang biasa. Tapi ini masih simpang siur, makanya gue diem. Eh, barusan kata Mas Emran, calon besannya Pak Dilan bukan orang sembarangan. Gue singgung lah kabar yang sempat simpang siur tadi, terus Mas Emran bahas tentang cewek itu yang sempat kepisah sama orang tua.” “Masih gagal paham, aku!” Mega tampak menyipitkan mata. “Gue enggak tahu kepastiannya, tapi intinya kurang lebih gitu. Karena ini kurang jelas valid atau enggaknya, kalian better jangan nyebar gosip. Toh yang nikah ini bukan Pak Dipta, pasti orang kantor yang diundang enggak banyak. Kemungkinan besar cuma jajaran atasan doang. Beda mah, sama kita. Menuh-menuhin venue doang.” “Anjir, lah! Dikira apaan!” Kiki melempar permen ke arah Syarif, sementara Syarif malah terkekeh. Ngomong-ngomong ‘kepisah’, aku mendadak ingat adik kelas SMA-ku dulu. Namanya Ara, dia pernah curhat kalau orang tuanya yang sekarang bukanlah orang tua kandung. Dia dibuang orang tua kandungnya saat masih bayi. Dia anaknya sangat baik, tetapi sayang sekali nasibnya tak begitu bagus. Eh, sebentar ... jangan bilang calon istri kembaran Pak Dipta itu si Ara? Apa dia sudah bertemu orang tua kandungnya? Ah, enggak mungkin! Kebetulan macam apa, itu? Lagipula, Ara tidak terlihat seperti orang yang akan rela menikah muda. Dia pasti mengejar mimpinya lebih dulu. Aku selalu ingat ucapannya yang mengatakan ingin membahagiakan orang tua angkatnya lebih dulu sebelum dia menikah. Ah, Ara. Bagaimana kabarnya sekarang? Apakah masih skripsian? Atau sudah lulus dan sedang mengejar beasiswa untuk lanjut S2? Dulu, aku pernah menganggapnya seperti adik sendiri. Sayangnya, sejak aku lulus SMA dan pergi merantau, kami tidak lagi komunikasi intens. Aku bahkan kehilangan nomor kontaknya. Aku berharap, dia selalu sehat dan bahagia. “Rin, kok bengong?” aku agak terkejut ketika Mega tiba-tiba menyenggol lenganku. “Enggak papa, kepikiran seseorang aja.” “Pak Dipta, ya? Apa kamu kangen karena dia kelihatan super sibuk akhir-kahir ini?” Aku melirik Mega tajam. “Bukan! Aku enggak lagi mikirin Pak Dipta, tapi adik kelasku. Pak Dipta mah aku enggak peduli!” “Heleh! Gitu-gitu, dia itu Mas Riga-mu, lho, Rin—“ “Diem, enggak?” Mega mencibir, lalu dia segera kembali ke mejanya. “Dasar betina galak!” “Biarin!” *** Aku tak menghitung sudah berapa lama Pak Dipta tidak kelihatan di kantor. Harusnya dua bulan sudah lebih, atau mungkin malah sebentar lagi tiga bulan. Kalau sudah begini, itu artinya dia mulai mengikuti jejak Pak Dilan. Harusnya aku senang dia tidak lagi menampakkan diri depanku karena memang itulah yang aku mau. Namun ternyata, kenyataan berbicara lain. Sekuat apa pun aku denial, dalam hati aku selalu berharap melihatnya dari jauh. Iya, dari jauh saja sudah lebih dari cukup. Entah kenapa, akhir-akhir ini aku benar-benar merasa aneh dengan diriku sendiri. Seringkali aku merasa otak dan hatiku tidak sinkron. “Rupanya kamu cukup kuat mental malam minggu berada di tempat seperti ini sendirian.” Suara itu membuatku menoleh, dan aku nyaris memuncratkan minumanku begitu melihat siapa yang saat ini sudah duduk tepat di sebelahku. “P-pak Dipta? Kenapa bisa di s-sini?” karena saking kagetnya, bicaraku jadi agak tergagap. Bagaimana aku tidak kaget? Tiba-tiba saja, sudah ada orang duduk di sebelahku tanpa permisi! “Beli kopi. Kopi di sini enak. Pie coklatnya apalagi.” “A-ah ...” Sejujurnya, aku setuju dengan pendapat Pak Dipta. Kopi dan pie di sini memang enak. Itulah alasan kenapa aku rela datang sendirian di saat yang lain memiliki gandengan. Sudah enak, harganya cukup miring pula. “Kamu di sini sendirian, itu artinya kamu masih available, kan?” Aku menoleh dengan mata sedikit memicing. “Available? Bapak kira saya apa?” Belum sempat Pak Dipta menjawab, pertanyaanku sudah terinterupsi dengan pelayan yang datang membawakan pesanan. Detik itu juga, Pak Dipta langsung menyeruput kopi dan menggigit pie coklatnya. Dari caranya makan, sepertinya Pak Dipta sedang kelaparan. Dia bahkan memesan lima pie coklat sekaligus. Ya ampun! “Kamu kenapa lihatin saya terus? Ada coklat yang menempel di bibir saya? Mau bantu bersihin?” Aku melongo. “Tidak! Tidak ada!” Aku bergeser menjauh sambil berdecak kesal. Apa-apaan! Selama beberapa saat, suasana di antara kami sangat hening. Pak Dipta terus sibuk dengan makanannya, sementara selera makanku langsung menguap begitu tadi dia datang. Di lihat dari penampilannya saat ini, sepertinya dia baru saja keluar dan tidak sengaja mampir. Dia mengenakan kemeja panjang yang sudah digulung sampai siku. Rasanya benar-benar aneh. Berbulan-bulan aku tidak melihat Pak Dipta, tetapi begitu melihatnya kembali, dia kini duduk begitu dekat denganku. Saat ini aku memang memilih meja memanjang yang menghadap ke luar jendela. Kursi yang saat ini kami duduki bisa diisi dua sampai tiga orang. “Kamu pasti bertanya-tanya ke mana saja saya selama ini?” Mendengar pertanyaan itu, aku menoleh. “Tidak sama sekali.” Itu jelas bohong, karena kenyatannya aku memang penasaran kenapa Pak Dipta tidak pernah kelihatan. Aku tahu, dia pasti sibuk. Namun, bukankah di tengah kesibukannya, dia beberapa kali menyempatkan diri untuk menghampiriku? Terlebih, setelah sore itu dia terang-terangan mengatakan kalimat yang seolah menunjukkan kalau dia tertarik padaku. “Malaikat pencatat amal buruk baru saja membuka buku catatannya.” “Hah?” “Kamu baru saja berbohong.” Entah kenapa, aku justru tersenyum. Aku buru-buru membuang muka agar Pak Dipta tidak melihat reaksiku yang seolah tak sinkron. Sudah aku bilang, akhir-akhir ini aku beberapa kali merasa aneh dengan diriku sendiri. “Ada proyek besar yang harus saya kerjakan. Selain itu, saya juga sempat Ke Jogja karena saudara saya menikah dengan orang sana. Setelah itu, saya masih harus bolak-balik Jakarta-Singapura.” “Saya tidak bertanya—“ “Karena kamu malu untuk bertanya. Saya sudah cukup baik menjelaskan kemana saja saya selama ini. Itu supaya kamu tenang.” Kali ini aku benar-benar menganga. Aku menoleh, dan Pak Dipta pun menoleh. Sial! Dia sedang mengulum senyum. “Apa, Rin?” “Bapak suka sama saya, ya?” Kening Pak Dipta mengkerut samar. “Wah ... kamu cukup percaya diri bertanya itu.” “E-eee ... maksud saya i-itu ...” aku seketika tergagap karena sadar pertanyaanku barusan terlalu percaya diri. Kini aku mulai memukuli bibir berkali-kali. Bisa-bisanya aku bertanya seperti itu pada Pak Dipta? Tak peduli kami pernah menjadi teman satu malam ketika di Seoul, saat ini dia tetap bos besarku! “Ya habisnya Pak Dipta kaya gitu ...” aku berujar lirih. “Gitu gimana?” “A-ah, entah. Saya pergi dulu, Pak!” aku buru-buru berdiri dan membereskan barang bawaanku. Namun, tiba-tiba Pak Dipta memegangi tasku seolah menahanku untuk jangan pergi. “Tunggu saya selesai makan—“ “Tidak bisa.” Dengan terpaksa, aku menepis tangan Pak Dipta lalu buru-buru keluar dari cafe. Sepertinya, sebentar lagi aku akan masuk dalam list karyawan paling kurang ajar dalam sejarah. Aku setengah berlari menuju motorku yang terparkir di dekat jalan raya. Setelah ini aku akan langsung pulang meski sebenarnya niatku ingin mampir ke minimarket lebih dulu. “Karin!” Cepat-cepat aku naik motor ketika mendengar suara Pak Dipta. Dia terlihat keluar cafe, sementara aku buru-buru memakai helm. “Kamu tidak bisa pergi!” Pak Dipta benar, karena saat ini kontak motorku sudah dia ambil. “Pak, saya mau pulang.” “Karin Shayena Rinjani, Si Tukang Kabur-kaburan tiap kali ada kesempatan.” Pak Dipta menatap mataku lurus-lurus. “Kenapa kamu terus seperti itu ke saya?” “Ya karena Pak Dipta juga terus seperti itu ke saya.” Ini ambigu, tetapi kata ‘seperti itu’ di sini harusnya dalam konteks yang sama. “Apa ucapan saya di restoran sore itu kurang jelas maksudnya?” “Jelas, Pak. Sangat jelas. Tapi maaf, saya tidak bisa.” Aku reflek menelan ludah karena kini Pak Dipta menatapku tajam. “Kamu baru saja menolak saya, bahkan sebelum saya mengutarakannya dengan lebih pantas.” “Saya minta maaf, Pak. Dan kalau misalnya Pak Dipta tiba-tiba mau memecat saya karena alasan ini, itu artinya Bapak tidak professional.” “Siapa yang mau memecatmu?” “Ya siapa tahu?” Detik berikutnya, aku segera meraih kontak motor dari tangan Pak Dipta. Dia tidak melawan, tetapi masih terus menatapku. “Saya duluan, Pak—” Ah, kenapa lagi ini! Kini Pak Dipta dengan santainya menurunkan standar motorku sehingga mesin otomatis mati. “Ada apa lagi, Pak?” “Karin Shayena, ingat ini baik-baik. Suatu saat nanti, akan tiba masa di mana kamu tidak bisa lepas dari saya, bahkan satu detik pun. Tunggu saja!” Setelah mengatakan itu, Pak Dipta balik badan lalu berjalan ke arah Ducati merah yang terparkir di sudut halaman dekat pintu masuk. Setelah itu, dia pergi tanpa menoleh ke arahku lagi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN