9. Kencan ?

2253 Kata
Aku cukup ternganga ketika melihat dua pelayan menyajikan pesanan di meja. Tanpa sadar, aku sampai menelan ludah. Cacing di perutku kini sudah mulai membabi buta ingin segera mendapatkan haknya. Dua mangkuk besar ramen, dua mangkuk kecil udon, serta dua gelas lemon tea. Sepertinya pesanan ini agak berlebihan untuk dimakan dua orang. Namun, aku yakin mampu menghabiskan jatahku. “Restoran ini adalah langganan Papa dan Mama saya karena rasanya paling mirip dengan yang di Jepang,” ucap Pak Dipta ketika dia mulai menuangkan bumbu-bumbu tambahan. “Dari tampilannya saja sudah meyakinkan,” sahutku pelan sembari menarik satu mangkuk dan mulai mengikuti apa yang Pak Dipta lakukan. Setelah selesai meracik, aku mulai menyeruput kuahnya. Dan ... gotcha! Demi apa pun, dari sekian banyak resto ramen yang pernah aku kunjungi, di sini adalah yang paling enak. Aku menyeruput kuahnya lagi dan lagi sampai Pak Dipta tertawa pelan. “Kamu suka?” “Suka. Rasanya sangat cocok dengan lidah saya. Kenapa saya enggak tahu ada resto ini ya, Pak?” “Lokasinya memang kurang strategis karena agak masuk. Tapi lihatlah, pengunjung hampir tidak pernah sepi.” Aku mengedarkan pandangan sejenak, lalu mengangguk. “Padahal ini bukan malam minggu.” “Tapi malam sabtu juga termasuk ramai. Ini kita cukup beruntung karena bisa langsung dapat meja. Biasanya antri.” Aku mengangguk paham, lalu lagi-lagi menyeruput kuah ramen di depanku. Selama beberapa saat, baik aku maupun Pak Dipta sibuk dengan makanan kami. Tampaknya Pak Dipta juga lapar karena dia fokus sekali dengan makanannya. Ngomong-ngomong, malam ini Pak Dipta terlihat lebih santai dari biasanya. Mungkin karena pakaiannya juga non formal. Dia memakai celana hitam, kemeja pendek berwarna dark grey, serta sepatu putih dengan sol rendah. Drrrt! Tiba-tiba saja, ponselku bergetar. Aku buru-buru mengambilnya, dan ternyata Ibu mengajakku video call. Aku buru-buru me-reject panggilan Ibu karena tidak mungkin aku mengangkatnya ketika ada Pak Dipta di sebelahku. “Kenapa ditolak? Itu Ibumu, kan?” “Kenapa Pak Dipta masih tanya? Saya mau jawab apa, kalau Ibu lihat saya sedang makan berdua dengan laki-laki?” “Jawab saja, saya calon kamu.” Aku berdecak pelan. “Seorang teman enggak bicara begitu, Pak.” Pak Dipta tersenyum, lalu dia kembali melanjutkan acara makannya. Sementara itu, aku buru-buru mengirim pesan untuk memberi kabar pada Ibu kalau aku sedang ada di luar dan tidak bisa mengangkat telepon. Aku yakin, Ibu pasti maklum. Baru saja aku kembali memasukkan ponsel ke dalam tas, kini giliran ponsel Pak Dipta yang berdering. Aku cuek saja karena aku tidak peduli dia dapat telepon dari siapa. Itu bukan urusanku. Klutak! Aduh! Sumpitku tiba-tiba jatuh karena tak sengaja tersenggol. Aku segera jongkok untuk mengambil sumpit itu. Namun, ketika aku hendak bangun, kepalaku terjedot sesuatu yang lunak. Ternyata, tangan Pak Dipta terulur melingkupi sudut meja. Seketika itu, entah kenapa darahku berdesir. Pak Dipta sigap melindungi kepalaku dari ujung meja sementara dia masih bicara dengan orang yang meneleponnya. Setelah aku duduk, tangannya kembali ditarik dan dia tidak berkomentar apa pun. “Ya udah, sekali lagi selamat! Jaga ipar dan calon keponakan gue baik-baik!” setelah mengatakan itu, Pak Dipta meletakkan ponselnya di meja. Dia menoleh, dan kebetulan aku juga menoleh. “Dari kembaran Pak Dipta, ya?” “Kamu tahu saya punya kembaran?” “Siapa yang enggak tahu kalau anak Pak Dilan itu kembar?” “Benar juga. Iya, dia baru memberi kabar kalau istrinya hamil.” Aku cukup terkejut mendengar kabar itu. “Hamil?” “Terlalu cepat, ya? Tapi saya yakin, kembaran saya adalah salah satu orang ter-‘lurus’ yang pernah saya kenal.” “Saya enggak sekolot itu sampai mudah menuduh yang enggak-enggak, Pak. Tapi rasanya memang baru kemarin saya dengar kembaran Bapak itu menikah.” “Ini sudah satu bulan lebih sejak mereka menikah. Mungkin empat puluh atau lima puluh harian.” “Selamat, Pak ...” ucapku pelan karena bingung harus menanggapi apa lagi. “Kenapa selamat untuk saya?” “Ya kan mau dapat keponakan baru.” Pak Dipta tampak manggut-manggut. “Ya ...” Setelah makanan kami habis, aku melihat tagihan yang tadi sudah dibayar oleh Pak Dipta. Aku mendadak bingung. Kalau aku memberinya uang cash, uangku ini terasa seperti tisu ingus untuknya. Namun, aku sudah bertekad ingin bayar sendiri-sendiri. “Pak, ini total punya saya—“ “Karin, saya tahu kamu punya sisi mandiri yang apa-apa bisa sendiri. Termasuk dalam hal membayar makanan. Tapi, kamu juga harus belajar menghargai orang lain, dalam arti jangan menolak ketika orang lain ingin mentraktirmu.” “Saya paham, tapi ini konteksnya kan saya sama Bapak—“ “Kamu sudah setuju kita berteman. Tidak ada yang aneh dengan teman yang membayarkan tagihan makanan milik temannya. Lain kali saya kasih kamu kesempatan buat traktir saya.” “Beneran, ya?” Pak Dipta mengangguk. “Janji.” “Oke!” “Habis ini kamu mau ke mana?” “Saya mau ke supermarket untuk belanja, jadi sepetinya kita pisah di sini saja, Pak.” “Saya antar—“ “Oh, jangan, jangan!” aku memotong cepat. Gila saja! Aku ingin belanja bulanan, termasuk barang-barang pribadi perempuan seperti pembalut dan lain-lain. Belum lagi, aku juga ingin membeli dalaman baru karena yang lama sudah banyak yang kurang nyaman dipakai. “Tidak apa-apa.” “Yang ini beneran enggak bisa, Pak. Saya lebih baik diantar pulang saja daripada Pak Dipta ikutan.” Mata Pak Dipta menyipit. “Ah ... sepertinya saya tahu apa yang ingin kamu beli. Bagaimana kalau saya menunggu di mobil?” “Pak ...” “Ini masih jam setengah delapan, Rin. Terlalu dini untuk pulang.?” Aku terdiam sesaat. “Ya sudah, Pak Dipta menunggu di mobil.” “Oke.” *** Pak Dipta bohong soal dia yang ingin menunggu di mobil. Dia ikut masuk ke supermarket, meski kami tidak belanja bersama. Dia bilang ada titipan dari adiknya, jadi ya sudah. Ngomong-ngomong, malam ini benar-benar sesuatu. Tak peduli tadi Pak Dipta sudah menyuruhku untuk menganggapnya sebagai ‘Mas Riga’ yang aku temui di Seoul, kenyataannya aku tetap tidak bisa begitu. Aku masih sungkan dengannya, juga serba tak enak hati. Bukan hanya karena dia atasanku, tetapi aura Pak Dilan sedikit melekat pada dirinya. Kalau sudah bicara Pak Dilan, sepertinya aku memilih untuk mundur teratur dan tidak pernah berurusan dengan beliau. “Kamu masih lama?” Aku berjengit kaget ketika tiba-tiba Pak Dipta sudah berdiri di sampingku dan melemparkan beberapa cemilan ke troli belanjaan. “Pak Dipta ini bikin saya kaget!” “Saya bosan, jadi saya cari kamu.” Aku mendengus pelan, lalu kembali berjalan melanjutkan acara belanja. Untung saja, aku sudah membeli dalaman plus sudah kubayar. Benda itu dibungkus koran dan plastik, jadi Pak Dipta tidak akan bisa menebaknya dari luar. Untuk pembalut, sepertinya aku bisa beli kapan-kapan. Pak Dipta sudah keburu datang sebelum aku berhasil membeli benda itu. “Karin ...” “Ada apa, Pak?” sahutku tanpa menoleh. “Kamu tahu ini ambilnya di mana? Sebenarnya, adik saya pesan ini.” Aku berhenti, lalu menoleh. Pak Dipta mengulurkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto. Seketika itu, aku langsung tertawa. Fyi saja, adik Pak Dipta pesan dibelikan pembalut, benda yang sebenarnya juga ingin aku beli. Karena aku tidak memiliki saudara laki-laki, jadi aku tidak bisa membayangkan apakah canggung atau tidak titip benda pribadi seperti itu. Kalau aku dengan Mbak Via, itu sudah hal yang sangat biasa. “Pak Dipta mau dititipin kaya begitu? Adik Bapak cewek, ya?” “Kamu tahu saya punya kembaran, harusnya kamu juga tahu kalau adik saya cewek.” “Ini sedang memastikan.” “Iya, dia masih kuliah.” Aku melihat foto itu sekali lagi sekaligus membaca pesannya. “Ini biar saya saja yang beli, Pak. Pak Dipta nunggu di mobil saja.” “Mana bisa begitu?” “Sebenarnya saya juga mau beli benda itu, tapi saya enggak nyaman kalau ditemani laki-laki, sekalipun itu TEMAN.” Aku sengaja menekankan kata teman agar Pak Dipta ingat kalau dia tidak boleh melewati batas. “Ya sudah, saya tunggu di dekat kasir.” Aku mengangguk sambil tersenyum. “Siap!” Kurang lebih setengah jam aku berkeliling, akhirnya acara belanja malam ini selesai. Pak Dipta langsung datang menghampiri begitu antrianku tiba. “Pak, tunggu di sana saja—“ “Tidak mau!” Aku langsung pasrah karena kali ini aku sedang tidak ingin ribut. Ada beberapa orang yang antri di belakangku, jadi aku tidak ingin membuat mereka tak nyaman. “Totalnya empat ratus enam puluh ribu rupiah ya, Kak.” “Iya, Mbak, ini— Pak!“ aku segera menarik tangan Pak Dipta ketika dia hendak mengulurkan kartu ATM-nya. Aku menggenggam tangannya erat-erat agar tak berontak. “Rin ...” “Ini, Mbak, uangnya.” Aku segera menyerahkan lima lembar uang seratus ribuan yang sudah kusiapkan di tas. Setelah menerima kembalian, baru kulepaskan tangan Pak Dipta dan segera pergi keluar membawa belanjaan. Tak kubiarkan Pak Dipta membawa belanjaanku barang sedikit pun. Aku sudah mati-matian menahan malu ketika dia melihat dengan jelas apa saja barang pribadi yang kubeli. “Punya adik saya habis berapa?” tanyanya begitu membukakan pintu mobil bagian belakang Aku menggeleng. “Enggak perlu, Pak.” “Rin, tidak bisa begitu.” “Ya udah, satu juta.” “Oke. Mana nomor rekeningmu?” Aku menggeram gemas ketika Pak Dipta langsung mengambil ponselnya dari saku celana. “Saya cuma bercanda, Pak. Ya masa satu juta, orang total tadi saja enggak ada lima ratus ribu?” “Anggap saja sisanya untuk jasa kamu yang sudah mau berkeliling membelikan.” Bukan main Pak Dipta ini! “Saya enggak mau. Sudah, Pak, orang enggak ada seratus ribu juga.” “Ya sudah. Setelah ini mau ke mana lagi?” Aku menggeleng. “Enggak ada. Niat saya keluar cuma untuk makan dan belanja.” “Nonton film, mau?” “Apa enggak kemalaman?” “Kosmu tutup jam berapa?” “Enggak ada tutupnya, soalnya ada yang kerja sift malam. Satpam juga 24 jam.” “Ya bagus, kalau gitu. Besok kan libur.” “Memangnya Pak Dipta enggak banyak kerjaan?” Pak Dipta menggeleng pelan. “Satu minggu ini saya sedang longgar. Kebetulan saya habis deal dengan investor baru.” “Wow!” “Nonton mau, ya? Anggap saja reward untuk kamu yang sudah bekerja keras.” Entah kenapa, kali ini aku langsung mengangguk tanpa protes. “Oke!” Ngomong-ngomong, sepertinya Pak Dipta belum tahu tentang aku yang akan dipromosikan. Dia sama sekali tidak menyinggung hal ini. Padahal, tadi aku sempat menyinggung tentang kenaikan jabatan ketika dia membahas ada beberapa manager perusahaan cabang yang ketahuan korupsi. Hal ini jelas membuatku lebih senang dan tenang. Itu artinya, dipromosikannya aku tidak ada unsur pilih kasih dari Pak Dipta. Itu murni penilaian dari Mas Emran atas kinerjaku selama ini. *** Aku dan Pak Dipta akhirnya memutuskan untuk menonton film horor yang sedang menjadi perbincangan di media sosial. Awalnya Pak Dipta memberi opsi film genre romance, tetapi sepertinya itu akan membuat canggung. Sejujurnya, aku menyesal karena langsung menyetujui ajakannya. Aku tidak suka genre horor, tetapi aku benar-benar tidak punya pilihan lain. Lebih baik aku menahan diri dari rasa ketakutan daripada merasa canggung selama film berlangsung. “Kamu niat nonton atau tidak, Rin?” tanya Pak Dipta pelan ketika melihatku terus menutupi mata dengan sebelah tangan. “Saya sebenarnya agak penakut, tapi kata teman-teman kuliah, film ini bagus.” “Ini bahkan belum separuh film— aduh!“ Pak Dipta meringis ketika aku reflek mencengkram tangannya. Aku mendelik, lalu buru-buru melepas tanganku lagi. “M-maaf, Pak. Saya barusan kaget.” Aku segera bergeser menjauh, tetapi Pak Dipta menahanku. Dia melepaskan jaket yang tadi sempat dia pakai setelah kami selesai berbelanja. “Pakai ini.” “Untuk?” tanyaku tak paham. “Anggap saja itu selimut. Biasanya, menonton horor sembari selimutan cenderung lebih tenang.” Awalnya aku ragu, tetapi ketika melihat sekeliling, ternyata orang-orang di sekitarku tidak jarang yang menggunakan jaket untuk menutupi mata. Aku sendiri tidak bawa jaket karena tadi buru-buru. “T-terimakasih, Pak.” Aku meraih jaket itu dan mulai menggunakannya untuk menutupi setengah wajah. Sial! Kenapa jaket ini wangi sekali? Berbicara jaket, aku jadi ingat jas Pak Dipta yang masih di lemariku. Aku takut untuk mengungkit jas itu karena kancingnya masih belum bisa kubetulkan. Pak Dipta juga diam saja, barangkali dia lupa. “Aaaak!” aku menjerit tertahan bersamaan dengan pengunjung lain. Meski agak berisik, tetapi tidak ada yang protes karena rata-rata pengunjung sama saja. Tahu sendiri kan, film horor pasti banyak sound effect mengagetkan. Aku menoleh ke arah Pak Dipta yang tampak santai saja duduk menatap layar. Sesekali dia mengunyah popcorn, sesekali pula dia minum. Dia benar-benar tidak takut sama sekali. “Pak, sebenarnya Pak Dipta itu nonton enggak, ya? Apa cuma ngelamun?” “Jangan berisik, Rin.” “Yang lain aja berisik—“ kalimatku terhenti ketika Pak Dipta tiba-tiba meraih kepalaku dan mengarahkannya agar tetap menatap depan. “Nikmati filmnya. Kalau takut, tidur saja. Masih panjang durasinya.” Aku mencebik pelan, lalu kembali menatap depan. Aku yang dari awal tidak begitu antusias, pada akhirnya mulai terserang rasa kantuk. Terlebih lagi, ketika adegan di layar mulai sadis, aku lebih memilih untuk segera menutup mata dan tidak melihatnya lagi. Perlahan tapi pasti, rasa kantuk ini semakin tak terbantahkan. Suara berisik pengunjung lain sudah tak kuhiraukan lagi. Mataku sudah terlalu berat ketika merasakan seseorang meraih tanganku dan menggenggamnya hangat. Itu harusnya Pak Dipta. Aku ingin protes, tetapi kantuk yang kurasakan saat ini seolah melarangnya. “Nanti saya bangunkan kalau film-nya sudah selesai, Arin.” Suara berat itu berbisik, terdengar seperti pengantar tidur. Aku yakin, aku pasti akan sangat menyesal ketika bangun nanti! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN