What If ....

359 Kata
    Devon berjalan pelan memasuki kamarnya. Ternyata Laurent sudah duduk di sana menunggunya. Seakan tak mengindahkan keberadaan kakaknya, Devon justru menatap kasur kosong bekas Keanu di sampingnya.     "Ke mana aja kamu? Waktunya makan siang, terus minum obat." Laurent belum menyadari raut Devon yang terlihat super sedih layaknya baru putus cinta.     "Udah tahu aku, Mas. Makanya balik," jawab Devon dengan tidak bersemangat.     "Apa itu?" tanya Laurent seraya memperhatikan sesuatu yang berada di tangan Devon. Ketika ia menatap wajah Devon, barulah ia menyadari muka Devon yang suram.     "Ini ... ini punya Keanu." Devon menunjukkan sesuatu di tangannya.     Laurent menghampiri Devon. Ia penasaran benda apa yang dibawa Devon. Sebuah kacamata dan entah benda apa yang sudah hancur itu.     "Aku tadi yang bikin game console ini ancur,” lapornya.     "Oalah … jadi ini game console." Laurent akhirnya tahu bahwa benda hancur itu adalah sebuah PSP. Mengenaskan sekali keadaannya.     "Mas Laurent tahu nggak cara balikin game console ini seperti semula?” Tatapan mata Devon memelas dan memohon.     Laurent sangat mengenal adiknya itu, ia segera tersenyum, berharap dengan melakukan itu Devon  tidak terlalu merasa bersalah lagi. "Emangnya apa yang terjadi tadi?"     "Entahlah. Ceritanya panjang dan rumit. Yang penting sekarang, tolong beritahu aku gimana caranya nyatuin game console ini lagi?"     Laurent mengambil game console pecah itu dari tangan Devon. "Kalo bentuknya ancur gini, kayaknya udah nggak bisa disatuin lagi, Dev.”     Airmata Devon sudah siap meluncur, terkumpul di pelupuk mata.     “Tapi sepertinya masih bisa diselametin.”     Muncul senyuman tipis di bibir Devon, meski airmatanya tetap tumpah juga. "Oh, ya?"     Laurent mengangguk. "Nanti saat istirahat, Mas bakal bawa ini ke reparasi. Tenang aja, mekanik di sana adalah teman Mas. Setahu Mas dia mekanik yang handal."     "Makasih, ya, Mas.” Devon segera berhambur ke pelukan Laurent.     Laurent mendengar isakkan kecil dari Devon. Dan ia tertawa karenanya. Adiknya itu bukannya cengeng. Hanya saja sedikit terlalu sensitif. Ia sangat mudah menangis untuk hal-hal yang sebenarnya sepele di mata orang awam.     "Tapi nanti kamu harus cerita ke Mas apa masalahnya. Kalau kamu merasa bersalah, berarti kamu harus minta maaf."     "Iya."     "Cup, udah ya nangisnya!" Laurent menepuk-nepuk punggung Devon pelan.     Devon semakin mengeratkan pelukkannya pada Laurent. Ia takut. Sangat takut. Bagaimana kalau Keanu tidak mau memaafkannya?   *** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN