"Bangun!" Keanu menepuk-nepuk pipi Devon. Bukan cara yang benar untuk membangunkan orang pingsan, Keanu tahu. Rasa takut, khawatir dan sebal campur aduk menjadi satu.
“Bukannya kamu baru aja muntah-muntah sebegitu banyak, berani-beraninya kamu lari ngejar aku? Dasar bego!” Keanu tak sungkan mengata-ngatai Devon yang masih tak sadarkan diri. Keanu hanya terlalu takut sebenarnya. Bagaimana kalau sesuatu terjadi pada Devon?
“Astaga … gimana, nih?" Keanu makin panik. “Hei, bangunlah, please." Keanu sedikit mengguncangkan tubuh Devon.
"Tolong!" Tak ada pilihan lain, Keanu akhirnya meminta tolong. Suaranya terdengar keras memenuhi sepanjang lorong. Tapi ….
Ini rumah sakit, kan? Kenapa sepi sekali? Kenapa tidak ada satu pun dokter atau perawat yang lalu lalang? Atau minimal orang-orang yang menunggui pasien?
Beberapa kepala menyembul dari celah jendela kamar-kamar yang berderet. Mereka hanya bisa melihat, tanpa bisa membantu apa-apa. Mengingat mereka juga sama-sama pasien. Bahkan untuk bangun saja sulit, apalagi turun dari brankar dan menolong Keanu menyadarkan Devon!
"To- …." Ucapan Keanu terhenti oleh sebuah genggaman di tangannya.
"Hehe." Devon membuka matanya lalu tersenyum."Gue nggak nyangka cara ini bakal berhasil,” ucapnya.
Sorot mata Keanu menajam, pertanda bahwa ia sedang sangat marah. Ia melepaskan genggaman tangan Devon dengan kasar. “Jadi kamu cuman pura-pura?”
"Hei, jangan marah, lah!” Devon perlahan bangun dari acaranya berbaring di lantai. “Aku cuma pengin tahu, kenapa kamu mau kabur?"
"Terserah aku mau kabur apa nggak." Keanu berusaha menahan amarahnya. Ia tak mau kehilangan kendali dengan tiba-tiba menonjok tampang sok polos Devon yang menjijikan.
"Tuh kan, kamu ketahuan bohong. Tadi katanya bukan pasien. Terus kalau bukan pasien, kenapa mau kabur? Dasar!” Devon cengengesan karena berhasil memergoki Keanu.
Keanu jengkel setengah mati. Terlebih karena tawa Devon yang terkesan mengejek.
"Nggak usah ikut campur masalahku!”
"Aku nggak ikut campur, tuh. Aku cuman berusaha peduli.” Devon masih belum mau berhenti bicara. “Ngomong-ngomong ke mana orang tua kamu? Kenapa selalu sendirian sejak hari pertama dirawat?"
Keanu tak menyangka akan bisa semarah ini pada seseorang. Terlebih seseorang yang sama sekali tak dikenalnya. "Kamu nyindir aku?" Keanu menarik kerah piyama Devon.
Kedua mata Devon membulat kaget. Keanu sudah semarah ini rupanya. “Nggak nyindir. Aku cuman penasaran, apa sebabnya kamu selalu sendiri. Padahal dalam kondisi seperti sekarang, kamu harusnya ada yang menemani.”
Keanu melepaskan cengkeramannya. "Udah aku bilang, nggak usah ikut campur urusanku!”
"Kalau alesan kamu selalu sendiri adalah karena nggak punya orangtua ….” Tatapan Devon berubah sendu. “Nggak apa-apa. Berarti kita senasib.”
Keanu menatap Devon lagi. Keanu belum bisa percaya. Jadi Devon tidak punya orangtua? Seketika rasa kasihan menghujam hati Keanu. Sebaliknya kini Devon jutru tersenyum simpul. Ia tidak punya orangtua dan masih bisa tersenyum seperti itu?
Keanu menggeleng pelan. Berusaha menyadarkan dirinya. Aish … ia tidak boleh terbawa suasana. Ia juga tidak boleh terkecoh.
Apa pun yang terjadi, tak ada yang boleh menghambat apalagi menggagalkan rencana kaburnya. Keanu bergegas berdiri. Ia tak mau menatap Devon, atau rasa kasihan dalam hatinya akan kembali muncul.
“Kamu mau tetap kabur?” Devon tak bisa percaya.
Keanu tak menanggapi. Ia terus berjalan seakan tak mendengar pertanyaan Devon.
"Terus gimana kalau mereka tanya di mana kamu? Aku harus jawab apa?”
Keanu mengernyit. Sakit rasanya telinganya mendengar teriakan Devon. Si bodoh itu … bagaimana ia bisa berteriak-teriak di rumah sakit?
"Bilang aja nggak tahu," jawab Keanu singkat tanpa menatap Devon sama sekali.
***
Keanu turun dari taksi dengan gaya khasnya, cool dan terkesan misterius. Ia turun tepat di depan pagar besar rumahnya. Kediaman keluarga Kent yang terhormat. Pintu gerbang besar itu terbuka. Seseorang segera menyambut kedatangannya.
"Pagi, Mr. Andrew!" sapa Keanu pada security bule yang sudah mengabdi di rumah ini selama belasan tahun.
"Tuan Muda, ke mana aja? Kemarin tuan dan nyonya pulang, mereka khawatir karena Tuan Muda nggak ada di rumah,” lapor Mr. Andrew.
Perasaan aneh melanda hati Keanu. "Apa mereka masih di dalam?"
Mr. Andrew menggeleng. “Tadi pagi mereka take off ke Belanda.”
Rasanya seperti barusaja djunjung setinggi langit, lalu dihempaskan ke dasar Bumi. “Berarti mereka bohong, Mr. Andrew. Mereka nggak benar-benar khawatir sama aku. Cuman basa-basi, daripada nggak ada bahan obrolan.”
Mr. Andrew hanya bisa tersenyum kecut mendengar jawaban itu. Prihatin dengan nasib tak beruntung tuan mudanya.
"Mister, aku pinjam uang, boleh?" tanya Keanu. “Aku nggak ada uang sama sekali.”
Tanpa menjawab Mr. Andrew memberi Keanu tiga lembar uang warna biru.
"Kenapa tiga? Aku cuman butuh satu.” Keanu benar-benar hanya mengambil satu lembar. “Nanti kalo udah sampek kamar langsung aku transfer balik. Aku cuman kasihan sama Mas Ojol, nunggu kelamaan ntar.”
Kali ini Mr. Andrew menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Tadi ia pikir Keanu sudah kehabisan uang saku atau apa, makanya ia memberikan semua uang yang dibawanya hari ini. Ternyata hanya untuk bayar ojek online.
Selepas membayar ojek online, Keanu segera masuk kembali. “Mister, aku mau istirahat. Bilang sama yang lain, jangan ada yang ganggu aku sampai nanti sore,” pesan Keanu.
Mr. Andrew mengangguk paham. Ia segera mengaktifkan walky talky-nya. Sesuai permintaan Keanu, ia menghubungi semua security dan pelayan di rumah supaya tidak mengganggu Keanu sampai nanti sore. Karena Tuan Muda mereka itu memang paling tidak suka jika diganggu saat istirahat.
***
TBC