Perpisahan ini terasa menyesakkan. Setelah kemarin aku harus meluapkan tangisanku pada Hafsah, Adam dan para staf pengajar di pondok, sekarang akupun harus melakukan hal yang sama kepada Mirza.
Dengan berat hati, Mirza harus kembali ke Jakarta karena terhalang sekolah dan ujian akhir.
Aku tak ingin membuat pendidikan Mirza terbengkalai. Dan jika ayah bangun pun, ayah pasti juga akan melakukan hal yang sama.
Tidak ada yang akan menduga dengan musibah ini. Semua terjadi karena kehendak Allah. Aku melepaskan cita-citaku dan Mirza yang terpisahkan oleh kami, itu semua karena kehendak Allah.
Apa pun yang telah dikehendaki oleh Allah Swt maka pasti akan terwujud, dan Allah tidak mungkin ditanya tentang apa yang Dia lakukan, serta Dia tidak akan meminta pendapat dari siapa pun untuk melakukan kehendak-Nya. Jika Dia menghendaki sesuatu, pasti Dia akan melakukan. Seperti yang disebutkan dalam sebuah hadis berikut ini, “Apa yang dihendaki oleh Allah pasti akan terjadi, dan apa yang tidak dihendaki oleh Allah, maka tidak akan terjadi.”
Segala sesuatunya berada di dalam kekuasaan Allah Swt.
Insya Allah..
Insya Allah.
Syukurlah tante May tak keberatan menampung Mirza sementara. Karena tidak tahu kapan ayah akan bangun, maka aku juga tak menaruh harapan banyak pada Mirza. Aku ingin, dia jadi anak yang baik dan selalu ingat shalat. Agar bisa mendoakan kesembuhan ayah serta belajar dengan rajin seperti yang ayah mau.
"Maafin kakak, dek —"
Kupeluk Mirza terakhir kali sebelum masuk ke dalam taksi. Awalnya Mirza diam saja, namun tak lama ia pun membalas pelukanku dan menangis.
Dia mengutarakan semua ketakutannya ketika dia harus tetap tinggal di Jakarta.
Takut tak bisa melihat ayah. Takut tak bisa menjadi yang seperti ayah harapkan. Dan takut segala sesuatunya akan berubah.
"Berdoa dan bersabarlah. Allah bersama orang-orang yang sabar,dek."
Mirza menatapku nanar masih dengan airmata yang mengucur deras. Mirza bukan anak laki-laki yang cengeng. Melihatnya seperti ini, membuatku yakin bahwa dia kelak akan menjadi laki-laki yang pemberani dan bertanggung jawab.
Aku yakin.
"Kakak juga," ucapnya. Aku mengangguk lemah. Sembari memberi pelukan dan kecupan terakhir di keningnya.
Aku pamit. Membawa beratnya hati ini untuk berpisah dengan Mirza. Tapi insya Allah, Mirza juga bisa lalui ini dengan baik. Dia berjanji akan lakukan yang terbaik selama tinggal sendirian di Jakarta. Terutama untuk tidak merepotkan om Arian dan juga tante May.
"Aisha berangkat, tante."
"Jaga diri kamu baik-baik. Tante akan jaga Mirza seperti anak tante sendiri. Kamu jangan khawatir. Hubungi tante kalau perlu apa-apa."
Aku mengangguk tenang. Pelukan terakhir dengan tante dan Nabila —anaknya menjadi salam perpisahan terakhir sebelum aku masuk ke dalam mobil. Om Arian hanya bisa melambaikan tangan padaku lalu membawa Mirza masuk ke rumah.
Taksi melaju perlahan meninggalkan mereka semua. Siap membawaku pergi ke bandara.
Satu pesan masuk menginterupsiku dari keterpakuan. Pesan itu masuk melalui aplikasi chat dari nomor yang tak kuketahui.
Dan ketika aku tahu nomor itu bukan dari provider di Indonesia, aku langsung membuka pesan tersebut. Mengabaikan puluhan nomor lain yang mengantri untuk k****a.
Pesan itu berasal dari tim penyelidik polisi Malaysia. Namanya cik Nurdin selaku orang yang akan menyelesaikan kasus ini.
Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan beliau. Dan entah karena kehendak Allah ataupun tak disengaja, beliau adalah kawan karib ayah.
Beliau datang ke rumah sakit untuk melihat keadaan ayah. Dan begitu aku menceritakan semua tentang kecelakaan ayah itu, cik Nurdin terkejut dan berjanji akan mencaritahu kasus ini.
"Pakcik akan pastikan kasus ini terselesaikan. Apapun akan pakcik bagi tahu dengan kamu," ujar pakcik Nurdin padaku waktu itu.
Dan sepertinya beliau menepati janjinya satu persatu. Ia mulai menyelidiki kasus ini dan menyampaikan apapun kepadaku.
Pertama ia mengatakan bahwa kasus ini sebenarnya mudah namun ada indikasi sengaja dibuat berlarut-larut.
Kedua, tentang hasil olah TKP yang sampai hari ini belum juga diumumkan. Laporan tentang ayah mengalami kecelakaan tunggal pun masih simpang siur. Padahal bukti-bukti di lapangan mobil ayah mengalami tabrakan hebat dari belakang, tapi anehnya tak ada yang melaporkan diri bahwa ada mobil rusak karena tabrakan yang terjadi di dekat subway 40 tersebut.
Apa mungkin pelaku sengaja tak memperbaikinya agar tak tercatat di bengkel mobil?
Atau ada alasan lain?
Dan hari ini cik Nurdin mengirimkanku sebuah foto yang agak kabur namun saat aku zoom itu cukup membuatku tercengang.
Pesan tersebut menyampaikan :
— Rekaman dari balai raya km16. Mobil ayahmu diikuti oleh mobil apv hitam hingga ke subway 40 —
Itu artinya..ayah memang diikuti oleh pengemudi apv tersebut.
Siapa orang yang ingin mencelakai ayah?
.
.
"Iya..kakak sudah sampai," jawabku pada Mirza lewat panggilan video.
Setelah puas melihat bunda dan ayah, Mirza menutup telponnya. Suasana hening di dalam kamar inap ini berubah menjadi sebuah kesedihan.
Aku terduduk lemah saat membaca sebuah surat pemberitahuan bahwa ayah akan dipindahkan ke ruang inap biasa mulai besok. Aku sempat mengadukan complain tapi ternyata ini keputusan dari perusahaan. Setelah memikirkan semua aspek, aku memutuskan datang ke kantor ayah besok untuk bertemu dengan dewan direksi Malaysia Group itu.
Ada apa sebenarnya antara ayah dengan perusahaan?
Bukankah ini terlalu cepat untuk memutuskan pemindahan ruangan? Lalu mereka menganggap ayah tidak akan terbangun lebih dari tiga bulan?
Ini tidak wajar.
Terasa sekali ada diskriminasi di sini.
"Kamu yakin mau ke MG besok?"
"Iya bun. Ini nggak bisa dibiarin. Ayah baru sepuluh hari di sini, kenapa harus diputuskan untuk turun kelas rawat inap? Apa ayah tidak membayar asuransinya? Apa ayah bukan pekerja di sana?"
"Istighfar Aisha. Kamu sedang marah," ujar bunda menyadarkanku.
Aku mengusap kening sambil terus beristighfar. Aku terbawa emosi hingga tak sadar telah menaikkan seoktaf suaraku.
"Besok om Anwar juga bilang akan membantu kita —"
"Om Anwar? Siapa bun?" tanyaku bingung.
Bunda mengirimkan nomer kontak Anwar Faiz yang ternyata pengacara dan teman baik ayah juga di perusahaan tersebut. Sebelum aku sampai kemari, ternyata beliau menemui bunda di sini dan mengatakan menungguku datang ke kantor besok.
Dengan adanya bantuan seperti ini, entah kenapa aku menjadi lebih percaya diri.
"Aisha hubungi om Anwar dulu ya, bun —
Bunda memotong ucapanku, "Kamu jadi berbeda sekali sayang."
Aku mengeryit tak mengerti. Bunda menyuguhkanku potongan-potongan apel tidak lupa dengan jus yang sejak tadi sudah bunda siapkan.
"Berbeda?"
"Iya. Kamu bisa begitu cepat beradaptasi dengan keadaan barumu. Waktu kamu ke pesantren, kamu jadi berubah amat tertutup dan tawadu' menjalankannya. Sekarang, saat semua berubah seperti ini, kamu mulai menyiapkan diri perlahan menjadi seperti ayahmu. Pembisnis," ujarnya sambil mengelus lembut khimarku layaknya rambut
Aku paham dengan apa yang bunda katakan. Dan aku tidak menangkap, apakah perubahan ini baik atau buruk.
Belum sempat aku menanyakan hal itu, suara ketukan pintu menginterupsi perbincangan kami. Bunda dengan sigap membukakan pintu karena memang beliau tengah berada di sana untuk buang sampah.
Dan saat si pemilik mata cokelat itu menunjukkan batang hidungnya, aku tak bisa untuk tak terhenyak dengan kedatangannya.
"Nak Calvin? Apa kabar?" sapa bunda menyambut kedatangan Calvin dengan sebuket bunga lily serta buah-buahan.
Calvin tersenyum dengan manisnya, "Baik makcik. Bolehkan saya masuk menjenguk?"
Calvin memang berbincang singkat dengan bunda, tapi aku bisa menangkap matanya juga tengah memantauku.
"Tentu. Kenapa nggak boleh? Masuk lah!"
Calvin datang dengan stelan pakaian yang lebih santai daripada kemarin. Rambutnya yang sedikit gondrong ia sampirkan ke belakang hingga menampilkan lebih banyak dahinya yang lebar itu. Calvin juga mengenakan anting di sebelah kiri. Aksesoris seperti cincin perak pun ia kenakan di jari tengahnya.
Calvin benar-benar berubah. Tak sama seperti Calvin yang sederhana empat tahun silam.
"Bagaimana keadaan pakcik?"
"Baik —" jawab kami serempak. Antara aku dan bunda.
Membuatku salah tingkah karena asal jawab padahal Calvin sedang tak bicara denganku.
Aku tertunduk malu sekali —
Suasana canggung pun terjadi. Apalagi, Calvin benar-benar mengabaikanku. Ia sama sekali tak menyapaku.
Kenapa..
Ini begitu menyakitkan?
"Aisha tinggal dulu. Boleh kan bun?"
Bunda mengeryit, "Mau kemana?"
"Beli makanan," jawabku tanpa sedikitpun menaikkan kepalaku untuk bersitatap dengan Calvin.
Aku sudah terlanjur malu karena dianggap tak ada. Jadi aku tak ingin membuat suasana jadi semakin tak nyaman apalagi kalau aku tahu bahwa Calvin sama sekali tak mempedulikanku.
Akupun keluar kamar tanpa sempat mendengar tanggapan bunda. Aku menarik napas lega begitu keluar dari kamar. Rasanya sesak sekali, dan sulit bagiku merasa nyaman.
Baru saja menekan tombol lift turun, aku dikagetkan dengan tangan lain yang juga menekan tombol yang sama.
Aku ingat dengan warna jaket itu. Kalau tak salah itu jaket yang dikenakan oleh —
"Calvin?" ucapku terbelalak.
Calvin menatapku datar sampai ia memaksaku masuk ke dalam lift yang kebetulan kosong.
Deg!
Jantungku berdebar kencang begitu mengetahui suasana tak ramah yang Calvin timbulkan ini.
Aura..yang terasa lebih tak mengenakkan daripada di dalam kamar tadi.
Calvin menatapku sinis. Aku beringsut mundur untuk tak tersentuh olehnya.
Kenapa..kenapa Calvin menekanku seperti ini?
"Lama tak bertemu, Aisha?"
.
.
bersambung