KEPUTUSAN

1028 Kata
"Aisha akan lanjutkan pekerjaan ayah —" Aku tidak tahu, bahwa keputusan yang kuambil itu akan menjadi berita besar di keluarga. Terutama bunda yang mengingatkan aku tentang pengajar terpilih yang akan di mulai pertengahan bulan ini. "Kamu jangan memaksakan diri, Aisha. Bagaimana dengan --" "Aisha sudah pikirkan ini matang-matang, Bun. Lagi pula, ini juga keinginan ayah." Bunda tampak terharu. Namun juga menyisipkan kesedihan di matanya. Berulang kali mengusap tanganku sambil menangis lirih ke arah ayah yang masih tenang tidur di peraduannya. Ini hari kelima ayah koma. Dokter tidak menangkap perubahan yang siginifikan dengan keadaan ayah tersebut. Mendengar itu, tentulah membuat bunda nyaris hilang semangat. Hilang bagaimana rasanya kehidupan kala belahan jiwa tertidur tanpa ada yang tahu kapan akan terbangun. Begitu pula dengan kami. Kedua anaknya. Masalah juga terus datang silih berganti. Menghampiri kehidupan yang kami anggap selama ini selalu tenang dan baik-baik saja. Kasus kecelakaan tabrak lari ayah tengah di tangani polisi setempat. Kurangnya bukti rekaman maupun saksi, membuat polisi kesulitan untuk menangkap pelaku. Ayah juga diperiksa tidak dalam pengaruh alkohol ataupun obat-obatan. Kecepatan mobil juga tak mengindikasi bahwa ayah melaju dalam kecepatan tinggi. Polisi menduga ini kecelakaan tunggal namun tidak menampik bahwa bagian mobil yang ringsek di bagian belakang merupakan bekas tabrakan dari mobil yang ada di belakangnya. Aku membaca dengan detail segala rincian kasusnya dan yang bisa kutarik kesimpulan dari semua ini adalah proses penyelidikan yang mungkin akan memakan waktu yang bertele-tele dan lambat. Karena itu aku tak bisa diam saja. Apalagi ikut program pengajar terpilih yang memang menjadi impianku sejak di pondok. Sekarang fokusku telah berubah. Dan semoga apa yang kulakukan ini memang yang terbaik untukku. Aku ingin menjaga ayah hingga proses penyelidikan selesai. Aku juga ingin semuanya terkendali hingga tak mungkin menyerahkan kasus ini kepada bunda ataupun saudara ayah di sini. Belum lagi masalah perusahaan yang ternyata juga berada dalam keadaan yang memprihatinkan. Makcik sempat berkomentar sebelum beliau pulang — bahwa aku masih anak ingusan yang pastinya tidak akan mengerti tentang perusahaan apalagi kasus yang dialami oleh ayah ini. Hingga ia menyarankan agar pakcik Ridwan yang sementara menjabat di perusahaan sampai aku siap dengan pembekalan ilmu manajemen. "Takkan Aisha keberatan sebab dia juga tak punya skill apapun pasal kilang." (Aisha mungkin tidak keberatan, sebab dia pun belum mengerti tentang perusahaan.) "Tapi kak..apa bedanya dengan Ridwan yang juga tak paham apapun —" "Makcik benar. Paling tidak, Aisha mesti tahu sedikit tentang perusahaan sebelum Aisha terjun langsung menangani ini semua." Bunda sempat menyinggung tentang pondok. Mendengar penuturanku ini lah yang membuat bunda mulai merasa gamang dan tak berdaya. "Aisha pulang ke Indonesia dulu untuk urus semuanya. Mirza juga harus kembali ke sekolah. Alhamdulillah tante May nggak keberatan menjaga Mirza sementara waktu. Bunda harus kuat dan sehat untuk merawat ayah di sini —" Bunda menangis. Hampir ingin meraung mendengar penjelasanku tentang rencana ke depannya jika ayah belum juga bangun dari koma. Hal yang juga sangat menyiksa batinku. Terlebih..aku tak pernah melihat bunda sesedih itu. "Ya Allah..bimbinglah hambamu ini. Semoga tidak akan tersesat dan senantiasa selalu berada dalam lindunganMu. Amiin." . . Keputusanku ini juga berlanjut pada kekecewaan yang ustadzah Fatimah dan kyai Umar tunjukkan padaku. Mereka tampak beberapa kali menasehatiku namun keputusanku telah mantap. Mereka akhirnya pun menyerahkan keputusan ini kepadaku. Hal ini jelas diluar kendali mereka. Dan singkatnya, mereka berharap agar semua masalah ini segera terselesaikan. "Ustdzah Fatimah akan secepatnya mengurus SKHU kamu. Belajar dengan giat Aisha. Kyai yakin kamu pasti menjadi penyemangat bagi keluargamu," ucap kyai Umar yang begitu bijaksana menanggapi permasalahanku. Aku berterima kasih kepada semua orang lalu segera bergegas mengemasi barang-barangku. Dan dalam proses itu, aku mulai kembali mengenang bagaimana kehidupanku di pondok. Dari sulitnya beradaptasi. Dari sulitnya menghapal Al-quran dan hadist. Pertemananku dengan Hafsah. Lalu pertemuanku dengan Adam. "Aisha —" Hafsah mulai lagi. Perempuan itu masih berusaha mengkonfrontasi pilihanku untuk keluar dari pondok lebih cepat. Dengan menangis tersedu-sedu, Hafsah berhambur memelukku erat seperti tak ingin melepaskan diri. Membuatku mau tak mau ikut terbawa suasana yang ia buat untukku. "— jangan pergi." "Hafsah —" ucapku sambil menepuk punggungnya lembut. Hafsah malah semakin mengeratkan pelukannya, "Bagaimana bisa kita berpisah seperti ini?" Aku menghela napas panjang. Mengusap khimarnya layaknya pengganti helaian rambut lalu bersandar pada pundaknya yang rapuh. Serapuh diriku... "Aku tidak meninggalkanmu sahabat fillahku. Aku hanya akan pergi belajar di tempat yang berbeda." "Tapi kenapa harus di luar negeri? Kenapa harus meninggalkan impianmu di pengajar terpilih?" "Sulit bagiku juga untuk mengatakan selamat tinggal seperti ini. Tapi..ketetapan Allah berbeda dengan apa yang menjadi ketetapanku. Aku hanya punya satu pilihan, dan aku berdoa ini adalah pilihan yang terbaik." Hafsah melepaskan pelukannya. Bergilir mengusap airmataku yang ternyata telah jatuh sampai ke pipiku. Senyumnya adalah sebagian dari penawarku. Aku beruntung sekali telah memiliki sahabat seperti dirinya. Apalagi..dalam keadaan apapun, Hafsah adalah orang yang memiliki simpati besar akan semua masalahku. Meski sempat terjadi kesalahpahaman. Akhirnya aku bisa menerima dengan ikhlas apa yang sebenarnya telah terjadi antara aku, Hafsah dan Adam. "Bagaimana dengan Adam? Bukankah dia juga akan terluka dengan kepergianmu ini?" . . "Saya pernah bilang kalau akan memantapkan diri dulu, kan?" Aku teringat dengan khitbahnya yang tak langsung itu kepadaku. Hatiku tergelitik dengan hal-hal indah bersamanya yang ternyata berjalan begitu singkatnya. Proses ketika aku mulai menyukainya. Proses di saat aku mulai mendekatkan diri dengannya, hingga proses saat ia memiliki perasaan yang sama sepertiku ternyata pada akhirnya memiliki ujung yang suram. Antara aku dan Adam terhalang tembok yang begitu tinggi. "— mungkin memang inilah jalannya," tandasnya. Adam mengucapkannya tanpa keraguan sedikitpun. Sedetik kemudian, aku malah tidak dapat menangkap rasa apapun di wajahnya. Yang aku lihat dia terus tersenyum tipis sambil mendengarkanku bicara panjang lebar. Menunduk menatap rerumputan yang sepertinya amat tahu isi hatinya yang sebenarnya. Entahlah. Untuk pertemuan kali ini, rasa berdebar itu malah tak muncul saat berhadapan dengan Adam. Pertanda apa ini? Setelah mengatakan itu, suasana menjadi hening kembali. Aku ingin mengatakan sesuatu padanya agar jangan menungguku. Namun sama halnya dengan pendirianku, Adam juga memiliki sifat seperti itu di dalam dirinya. Sifat dimana ia menyakini keputusannya, dengan Lillahi Ta'ala. "Aku akan tetap melanjutkan niatku, Aisha, Aku akan tetap menghampirimu suatu hari kelak." . . Noted : Penulis ngerjain ini dalam keadaan ngantuk banget. Kalau ada yang nggak beres atau kurang sana sini bisa koreksi aku yah..? Jangan lupa vote dan komennya yaah..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN