SEBUAH PENGAKUAN ( KATA HATI ADAM PART 1 )

1280 Kata
Yaaa ayyuhan-naasu innaa kholaqnaakum min zakariw wa unsaa wa ja'alnaakum syu'uubaw wa qobaaa`ila lita'aarofuu, inna akromakum 'indallohi atqookum, innalloha 'aliimun khobiir "Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti." (QS. Al-Hujurat 49: Ayat 13) Apa aku benar-benar mengenal dia? Apa aku benar-benar pantas untuk dia? Bagaimana dengannya? Apa dia juga punya perasaan yang sama? Aisha.. Dia secantik namanya. Aisha.. Dia secantik hatinya. Wajahku memanas. Tenggelam oleh rasa malu. Berani-beraninya membayangkan seorang gadis yang bukan muhrimku. Aku langsung buru-buru menyalip Andi yang baru akan masuk ke kamar mandi. Kubasuh wajahku dengan berwudhu. Beristighfar banyak kali dan mencoba mengenyahkan bayangan Aisha disebalik niqobnya. "Astaghfirullah..Astaghfirullah." "Kamu kenapa, Dam? Liat hantu?" tanya Andi ikut melengos masuk ke kamar mandi. Pemuda yang lahir di Padang delapan belas tahun itu menatapku bingung lalu ikut gelisah karena tingkahku yang terus membasuh wajah. Setelah cukup segar dan fokus, aku mengambil alih pikiranku dengan melafalkan beberapa ayat yang baru aku hafal tadi. Andi benar-benar terpelongok karena kuabaikan. "Hei..kamu kenapa?" "Nggak kenapa-kenapa, Ndi." Andi masih tidak yakin. Dia terus mengikutiku yang memilih memakai sorban dan sepatu. "Aku kemarin dengar dari Sofwan, kalau lorong kamar asrama kita ini —" Andi berucap pelan, "— berhantuuuu." Langsung saja kusapu wajahnya dengan tangan yang sudah kubacakan surah Al-Ikhlas dan An-nas. "Sana mandi. Ambil wudhu terus hapalan." Mendengar penuturanku, Andi menggerutu kesal. Masuk ke kamar dan mungkin melanjutkan kegiatannya yang sempat terganggu olehku. Namun baru saja aku melangkah keluar, Andi tergopoh-gopoh lagi memanggilku. "Oh iya. Sampean dicariin." "Sama siapa?" Bukannya menjawab, Andi malah mengedip-kedipkan mata genit. Aku tak mengerti apa arti kodenya itu. "Hallaaah..takkan ambo tak tahu. Ukhti bercadar hitam —" Mataku mendelik. Langsung saja kututup mulutnya yang asal bunyi tersebut. Jika terdengar santriwan lain, bisa salah sangka nantinya. "Kamu nih. Kan udah aku bilang ini rahasia?" Andi malah cengengesan merasa tak melakukan salah apapun. Aku tarik dia masuk ke dalam kamar lagi lalu menutup pintu dengan rapat. Aku gugup bukan karena takut didengar orang lain tapi juga gugup dengan ucapan Andi tadi. Dia sedang mempermainkanku atau memang benar adanya ucapannya itu. Dan aku berharap itu benar. Tapi — "Kamu yakin itu dia?" Andi nyengir, "Siapa lagi yang meletakkan balasan surat itu di balik pohon kurma? Kan itu kodenya." Aku mengangguk setuju. Karena memang benar bahwa itu adalah kode yang kuselipkan di surat. Memang ini terlihat aneh. Kalau saja bukan karena kalah permainan Truth or Dare, aku tidak akan melakukan hal konyol ini. Mengirim pesan cinta pada ukhti yang kutaksir? Yah..cuma Andi yang tahu. Tapi..jujur saja, ini sangat menggangguku. Aku takut dengan banyak hal hingga Andi meyakinkanku terus - menerus. (kilas balik) "Cinta itu dikejar. Cinta itu mulia. Kita bisa mencintai Allah tanpa tahu wujudNya. Kenapa pula kita tak bisa mencintai seorang gadis yang tertutup wajahnya? Apa yang kamu cintai darinya?" tanya Andi waktu itu. Aku masih ingat dengan apa yang kujawab kepadanya, "Matanya. Pertama kali aku melihat matanya, aku langsung jatuh hati. Entah apa namanya yang jelas, aku langsung terduduk lemas saat itu juga." Andi tersenyum miring. Ia segera merangkulku yang tengah melamun. "Katakan padanya. Jangan sampai terlambat." Aku mendelik. Bagaimana mungkin aku nyatakan cinta kepadanya langsung. Mata ke mata, mulut ke mulut? "Dengar sendiri kata Kyai kan kalau dia sempat ragu untuk lanjut ke program pelatihan pengajar terpilih? Kamu nggak takut kehilangan dia kalau tiba-tiba dia pergi tanpa sempat kamu nyatakan perasaanmu itu?" Tumben Andi bicara panjang lebar. Aku sampai menganga karena setiap kalimat yang ia katakan terdengar begitu puitis dan bijaksana. Biasanya anak ini hanya tahu membuat lelucon dan jarang sekali bisa serius. Aku sampai stress karena harus sekamar dengannya. Tapi setelah beberapa tahun, akhirnya aku bisa terbiasa menerima keberadaannya. Hingga sampai lah kami saling curhat satu sama lain termasuk urusan hati. "Jadi aku harus apa?" tanyaku bingung, yang membuat Andi tergelak melihatku gugup. Satu detik.. Dua detik.. Hingga detik kelima, Andi memberiku usul. "Buat surat cinta padanya!" (kilas balik selesai) Dan itu lah awal mula mengapa aku benar-benar mengutarakan perasaanku lewat surat. Aku tidak sendirian. Tetap ada Andi yang membantuku dalam proses ta'aruf muda-mudi ini. Aku tahu ini sangat dilarang oleh peraturan pondok. Tapi karena Andi memaksa setiap hari dan sialnya aku kalah permainan dengannya, akhirnya sampailah aku ke tahap ini. Waktu itu Andi dan aku yang bersembunyi menyelinap ke tembok belakang pondok yang menjadi akses rahasia antara ponpes santriwati dengan santriwan. Aku tak percaya bahwa Andi telah lebih dulu memiliki pacar dan dia memanfaatkan pacarnya itu untuk menyerahkan surat. Mereka terlihat begitu serius sekali hingga aku tak sengaja memergoki pacar Andi itu yang ternyata sejak tadi tengah melirikku. "Itu ustad Adam!" "Jangan keras-keras. Nanti dia malu!" tukas Andi marah-marah gemas. Aku berdeham melihat sikap tak senonoh itu dan berhasil membuat keduanya kembali berbincang serius. "Jadi..aku letakkin ini di pohon kurma terus ngasih petunjuk di kamar mereka. Gitu kan?" "Iya bener! Tapi inget jangan sampai salah orang!" Ukhti yang menjalin hubungan spesial dengan Andi itu langsung mengangguk paham dan mengatakan dia tak mungkin salah orang. Karena setahunya Aisha selalu di dalam kamar dan belajar. Dan hari itu pun tiba. Surat itu sudah tak ada dan hari ini balasannya. Andi yang semringah itu pun langsung menyemangatiku untuk cepat-cepat ke taman belakang. Dengan santai ia menepuk pundakku dan berkata, "Good luck my brother!" Hmmm. Apa aku mampu? . . Aku menyisiri taman belakang yang memang bebas di akses olehku yang punya wewenang sebagai ustad di santri perempuan. Meski begitu, aku tetap tak bisa begitu saja sembarangan menggunakan wewenang tersebut. Lihat saja bagaimana aku mendengar bahwa ada gosip mengatakan bahwa aku ini kaku dan sombong. Itu semua semata-mata karena aku tak ingin melanggar aturan. Hingga aku bertemu dengannya. Si pemilik mata syahdu. Dan dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan pemurah, kuberanikan diri datang ke sini sesuai dengan petunjuk yang ia berikan bahwa dia akan datang dengan niqob berwarna maroon. Puas aku berkeliling di taman labirin, akhirnya aku menemukan seseorang yang tengah duduk sendiri di taman. Gadis itu tampak tekun menulis hingga aku bisa menyakinkan diri bahwa yang tengah duduk di sana itu adalah Aisha. Aisha Sulaiman binti Abdul Aziz. Tapi..dia tak mengenakan niqob maroon yang dia tuliskan itu. Untuk memastikannya, aku mendekat dan lantas menyapanya dengan salam. Dan ketika dia mengangkat wajahnya, aku bisa yakin bahwa dia benar-benar si iris sappier yang meneduhkan hati. "Assalamualaikum, Aisha." Dia tampak terkejut. Namun tetap sadar untuk membalas salamku. "Waalaikum salam warahma. Ustad panggil saya?" ( note : baca kilasan pertemuan mereka ini di bab 5 — Bimbang ) Sungguh. Hatiku masih berdegup kencang sekali. Aku tak sanggup berlama-lama di sana hingga banyak waktuku terbuang karena sanking gugupnya. Syukurlah ia segera bergegas pergi sehingga aku tidak perlu repot untuk merangkai kata membuat obrolan. Tapi entah kenapa, ada sembilu saat ia pergi meninggalkanku begitu saja. Apa dia tak suka padaku? "U..ustad Adam." Seorang ukhti datang menghampiriku yang masih melihat jauh Aisha yang mulai menghilang seperti polkadot kecil. Aku ikut terkejut seperti dirinya apalagi arah pandanganku jatuh ke sebuah amplop yang ia genggam serta niqob maroon seperti yang tertulis dibalasan surat. "Siapa kamu?" tanyaku tanpa berpikir panjang. Aku mulai berpikir yang bukan-bukan, apalagi saat dia menjawab pertanyaanku dengan menunjukkan suratku. Aku terperenyak tak mau ini terjadi. Tapi apa iya kalau aku salah orang? Siapa yang kuajak bicara tadi? Atau sebenarnya gadis ini bukan lah Aisha? "Darimana kamu dapat surat itu?" tanyaku semakin penasaran. Dia terlihat gelagapan saat kulanjutkan dengan bertanya.. "Kamu bukan Aisha. Iya kan? Siapa kamu?" . . bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN