Dalam dunia pesantren khususnya pesantren salaf, kitab kuning menjadi rujukan utama. Yang menarik, kitab kuning yang diajarkan telah memiliki umur yang cukup lama, hingga ratusan tahun tetap terjaga keasliannya.
Hari ini, sebagai langkah akhir agar aku bisa menyelesaikan ilmu nahwu, mau tak mau aku harus melakukan kajian dengan kumpulan santri yang mengikuti program pelatihan pengajar terpilih.
Kajian ilmu kitab yang akan kami dalami hari ini adalah kitab Ta'limul Muta'lim.
Sepandai apapun manusia serta sebanyak apapun ilmu yang dikuasainya, semuanya tidak akan bisa menghasilkan sarinya ilmu tanpa adanya akhlaq. Hal dasar bagi para pencari ilmu agar ilmunya manfaat dan barokah adalah harus mengutamakan akhlaq. Kitab dasar yang menerangkan mengenai akhlaq di dunia pesantren adalah kitab Ta’limul-Muta’alim karangan Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji. Setiap awal proses belajar di pesantren sesuai adatnya pasti mempelajari kitab ini ataupun kitab lain yang seakar dengan Ta’limul Muta’alim, seperti kitab Adabul ‘alim wal Muta’alim karangan ulama’ besar Indonesia, Pahlawan Nasional sekaligus pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama, Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari. Kedua kitab ini pun juga menjadi kurikulum wajib bagi pesantren yang ada di Indonesia bahkan hingga luar negeri.
"Seorang Pencari Ilmu atau Pelajar harus memiliki bekal-bekal yang cukup, sehingga dia sukses dalam pencariannya. Hal pertama yang harus dimiliki dan dilakukan oleh Pencari Ilmu adalah niat, niat yang sungguh-sungguh" ujar kyai Umar yang menjadi moderator pada pertemuan hari ini.
"Syaikh Az-Zarnuji di dalam kitabnya tersebut menuliskan sebuah syair dari Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu., dua bait syair itu berbunyi: Ingatlah! Engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan memenuhi enam syarat. Saya akan beritahukan keseluruhannya secara rinci. Yaitu: Kecerdasan, kemauan, sabar, biaya, bimbingan guru dan waktu yang lama.”
Kyai Umar berhenti sejenak. Beliau berdeham sebentar lalu melanjutkan, "Nak Adam coba terangkan."
Mendengar namanya tanganku berhenti menulis. Pikiranku kembali melalang buana ke titik awal. Titik di mana aku menelaan berita yang mencengangkan itu.
Calon yang akan menjadi pendamping Adam telah ditetapkan. Dia ada di sini dan pasti selalu berada di dekatnya. Siapapun yang mendampinginya pastilah wanita yang beruntung.
Meski yang aku tahu, Adam sangat jarang menyapa ataupun bercengkrama, aku melihatnya sebagai pemuda yang ramah. Hanya saja, tak ingin banyak bicara dengan orang yang tak ia akrabi.
Adam juga pemuda yang santun. Walau tak jarang orang-orang akan berpandangan berbeda dengannya. Tak pernah aku mendengar perihal keburukkannya selama menjadi ustad muda ataupun santri di sini. Entah kabar burung yang mengatakan bahwa Adam tentunya disegani karena anak pengurus pondok — bagiku hal itu gampang sekali terbantahkan dengan prestasinya yang memang sangat mumpuni.
Adam pernah menceritakan riwayat masa kecilnya di suatu kajian ceramah jumat. Ia bilang bahwa dulu dirinya adalah anak nakal Abi dan Uminya. Sering kali ia membolos saat diminta untuk tahfidz. Memilih untuk pergi mancing dan ikannya ia bagi-bagikan kepada saudara-saudaranya.
Adam menyukai kebebasan. Namun lambat laun pikirannya mulai terbuka. Bahwa , mempelajari islam adalah ketenangan yang hakiki. Adam ingin dirinya merasa pantas untuk bisa mencintai Rasulullah, idolanya. Ia ingin menjadi anak yang berbeda namun tetap berakhlakul kharimah.
Adam bercerita lagi bahwa ia terpengaruh oleh Uminya yang selalu sabar meladeni segala sikap nakalnya dulu. Hingga kepergian mendadak ibundanya tersebut, Adam berada di titik nol dan lantas berpasrah. Mulai berjanji bahwa akan menjadi anak yang tak terputus doanya meski orang tuanya telah tiada.
Menjadi amal jariyah bagi kedua orang tuanya yang telah membesarkannya.
Apakah aku juga sama sepertinya?
Yang membedakan ialah aku tersadar dari semua kekhilafan ini sendiri tanpa merasakan kehilangan apapun lebih dulu. Aku berhijrah karena terus dihantui rasa bersalah dengan apa yang telah aku perbuat.
Aku berjilbab namun kelakuan jahiliyah.
Aku sombong telah merasa berilmu namun ilmuku malah tak pernah kuterapkan dalam kehidupanku.
Aku menyentuh maksiat yang bahkan sempat membuatku candu akan hal itu.
Banyak yang salah dari islam yang kupahami dulu. Hingga yang terakhir adalah aku yang menyakiti hati orang lain.
Aku mendzaliminya dengan pemikiranku yang salah.
"Imam Al-Qadhi ditanya: “Sampai kapan seseorang harus menuntut ilmu?” Beliau menjawab: ”Sampai ia meninggal dan ikut tertuang tempat tintanya ke liang kubur.”
Salam penutup dari Adam mengakhiri kajian khusus hari ini. Begitu kami mulai satu persatu meninggalkan aula yang terpisahkan tirai pemisah, tanpa sengaja aku bersitatap dengan Adam yang juga tengah mengarahkan pandangannya kepadaku.
Kalau saja Hafsah tak menarik sikutku, mungkin aku takkan berhenti untuk menatap ikhwan tak halalku itu.
Astaghfirullah. Bukankah sebentar lagi, dia akan menjadi milik orang lain!
"Tungguin aku bentar yah."
"Kamu mau ke mana?"
Hafsah berbisik seolah takut ada yang mendengar. Padahal di aula ini tinggal kami berdua saja.
"Jangan lama-lama," pesanku pada Hafsah yang langsung keluar dengan sangat terburu-buru.
Aku lantas memilih untuk merapikan buku dan segera beranjak menuju bangku taman yang letaknya tepat berada di halaman aula yang biasa dipakai untuk arena olahraga indoor ini.
Sambil menunggu Hafsah selesai dari toiletnya, aku memilih merangkum materi sambil membaca kembali kajian hari ini.
Hingga sebuah salam menginterupsiku dari bukuku.
"Assalamualaikum, Aisha —"
"Waalaikum —" Salamku terpotong karena mendadak bibirku menjadi kelu. Yang memberiku salam tersebut adalah putera pengurus yang telah lama aku kagumi itu, Adam.
"— salam warahmah."
"Kamu nggak balik ke pondok?" tanya Adam yang wajahnya tertutupi oleh sinar matahari yang tepat mengarah kepadanya.
Matahari itu membuatnya menyilaukan. Padahal tanpa hal itupun, Adam memang sangat bersinar meski tanpa skincare ataupun pembersih wajah.
Melihatnya yang hanya terpaku, aku baru sadar dengan pertanyaannya yang belum kujawab.
"Be—belum. Hafsah ke toilet. Aku menunggunya di sini."
Ada helaan napas berat yang Adam embuskan. Lamat-lamat aku bisa mendengar Adam melafazkan bismillah dengan sangat lirih. Kalimat yang keluar dengan lembut dan penuh ketegasan itu, sukses membuat jantungku berdetak lebih cepat. Menyita seluruh kesadaran dalam pikiranku.
"Kamu pasti sudah dengar tentang berita itu."
"Ha?"
Aku linglung. Yang kujawab hanya sebuah tanya singkat yang membuatnya juga ikutan gugup. Tapi sepertinya, karena Adam yang selalu tampil dikalangan banyak, aku yakin Adam bisa secepatnya mengusir rasa gugupnya.
Terlihat bagaimana ia kini lebih santai dan mulai meneruskan ucapannya yang masih menggantung.
"Aku..cuma ingin kamu tahu bahwa memang aku senang dijodohkan dengan gadis yang Abi pilihkan untukku —"
Diam.
Diam menjadi satu-satunya hal yang bisa kulakukan agar hatiku cukup kuat untuk mendengar penuturan itu langsung dari mulutnya.
Sakit.
Benar-benar ada yang menganga di hatiku tapi tak bisa ku obati dengan obat apapun. Aku tertunduk merasa tak betah mendengar semua ucapannya. Hingga..
"— tapi..aku masih ragu apakah aku pantas?"
Aku menelan ludah dengan susah payah, "Maksudnya?" tanyaku bingung.
Adam maju selangkah meski tetap menjaga jarak satu meter dari tempatku duduk. Ia bergumam lirih lagi lalu mulai menjawab pertanyaanku.
"Aku ingin menjadi pantas agar aku siap untuk mengkhitbah ( lamar ) kamu."
Aku meneguk ludah lagi. Telingaku berdenging dibarengi dengan darahku yang berdesir hebat menuju jantung dan perut. Aku benar-benar takut untuk mempercayai ucapannya barusan. Aku takut kalau salah dengar. Tapi aku juga berharap ucapannya benar.
"Seperti kisah khalifah Ali bin Abu Thalib dan Fatimmah Az-zahra. Saat saling jatuh hati mereka saling menjauh dan mendekatkan diri kepada Allah. Untuk mendapat cinta yang lebih berkelas dan pantas."
Masih diam. Aku benar-benar tak karuan. Perasaan ini ingin meluap. Tapi aku tahu, tak sepantasnya kutunjukkan kepada Adam yang masih belum selesai dengan ucapannya.
"Karena jatuh cinta pada Allah adalah rasa cinta yang tak akan pernah menimbulkan luka, seperti kata kamu di kajian fiqih wanita beberapa waktu lalu."
Siapa yang tak jatuh cinta pada pemuda shaleh penghafal Al-qur'an seperti dirinya? Yang dengan romantisnya menyatakan perasaannya secara tak langsung seperti ini?
Aku semakin terhanyut dibuatnya.
"Jaga diri kamu di sini, aku pamit untuk memantaskan diri. Assalamualaikum, Aisha Sulaiman."
.
.
bersambung