YASA 2 : Move On, dong!

1659 Kata
Raditya dan beberapa staf agensi untuk mempersiapkan jumpa penggemar lusa. Di acara nanti, aku akan membagikan buku resep masakan dengan tandatangan asliku. Aku juga menambahkan sebuah apron seperti yang biasanya kukenakan di masing-masing tas bingkisan. Aku harap semua ini benar-benar bisa menebus kesalahan yang pernah kuperbuat. “Total semua yang bakal dateng berapa?” tanyaku. Selama ini aku hanya iya-iya saja dan terima beres. Aku belum sempat memeriksa daftar manifes para tamu undangan yang akan hadir di acara. “Sampe seratus orang nggak?” “Nggak nyampe. Konsepnya kan makan siang bareng, bukan resepsi pernikahan. Total tamu yang bakal dateng sekitar tiga puluh orang aja. Sebenernya banyak banget yang berminat. Kalo diladenin semua bisa ratusan. Untuk sekarang, segitu aja dulu,” jelas Raditya. “Pesen makanan, deh. Laper banget gue,” ucapku. “Lo mau makan apa emangnya?” “Lagi pengin banget makan gado-gado,” jawabku. Raditya segera mendekatkan mulutnya ke telingaku. “Lo ngapain, sih?” “Sofia nggak bunting, kan?” “Ngomong apaan, sih?” “Kalo bukan Sofia ... Amel? Joana? Bilang deh, Bang. Biar kita bisa antisipasi dari sekarang.” “Mulut lo lama-lama gue gampar juga ya, Dit. Nggak ada yang bunting.” Raditya hanya terlalu khawatir dengan keamanan saat aku bermain dengan wanita-wanita itu. Bahkan, dia akan dengan sukarela meluangkan waktunya untuk menghitung jumlah persediaan pengaman yang sengaja disiapkannya di laci nakas kamarku. “Lo nggak usah hawatir. Gue selalu pake.” “Tapi, make pun sering ada indikasi bocor, Bang. Lo harus hati-hati. Awas aja kalo sampe ada Yasa kecil yang nanti tiba-tiba muncul.” “Ngaco aja, lo.” OoO “Pacarku mau dateng, Chef. Jangan ke sini dulu, ya. Giliran dia ambil jatah selama cuti,” ucap Sofia di akhir permainan panas kami malam ini. “Tenang aja, Sof. Pacarmu tau soal ini?” tanyaku. Sofia langsung menggeleng cepat. “Bisa mati aku kalo sampe dia tau. Yang dia tau ya lobangku cuma dimasukkin sama punya dia. Aku pecah perawan juga sama dia kok, Chef.” “Nyali kamu besar juga ya, Sof.” “Kamu bisa kerja di restoranku kalo kamu bosan kerja di Secret Recipe,” ucapku. Setelah mempunyai banyak uang, kuputuskan untuk membuka sebuah restoran yang letaknya tak jauh dari kantor agensi tempatku bernaung. Para pengunjung yang datang pun kebanyakan dari kalangan rekan-rekan artis yang bernaung di tempat yang sama. “Masih betah, Chef. Mungkin sebentar lagi aku bakal resign.” “Resign?” sahutku. Sofia menanggapinya dengan sebuah anggukkan. “Kamu kan masih terbilang baru kerja di sana. Resign kenapa?” “Pacarku ngelamar aku. Kemungkinan besar aku bakal diboyong sama dia ke Jayapura. Dia kan tugas di sana.” “Nanti aku main sama siapa, Sof?” tanyaku memelas. “Yang lain, lah. Chef kan punya banyak simpanan. Bisa lah mereka gantian muasin Chef di ranjang. Sebelum sering main sama aku juga mainnya sama mereka, kan?” “Mereka lagi pada sibuk sama proyek kerjaan masing-masing, Sof.” “Yaudah. Ditahan, dong. Atau ... cari istri aja, Chef.” “Kenapa sih semua orang seneng banget nyuruh aku nikah?” “Ya karena Chef emang udah pantes nikah.” “Nggak mikir soal nikah, Sof. Enak juga kerja cari uang.” “Buat apa uang banyak kalo nggak bahagia, Chef. Aku sih ogah banget.” OoO Mungkin terlalu berlebihan jika kusebut diriku sebagai seorang selebritas. Tapi, keseharianku memang lebih banyak dihabiskan di depan layar kaca. Aku dipercaya memegang sebuah program masak-memasak di sebuah stasiun televisi, meskipun harus bersaing dengan susah payah untuk mempertahankan rating. Stasiun TV sebelah tak mau kalah. Mereka juga mempekerjakan seorang chef selebriti yang sudah sangat berpengalaman di bidangnya. Selain memegang sebuah program, aku juga dipercaya untuk menjadi brand ambassador dari beberapa produk. Dari brand set pan sampai s**u suplemen peningkat massa otot khusus pria. Mereka mempercayakanku sebagai bintang iklannya. Dan aku sangat bersyukur orang-orang memberikan respons yang sangat baik. Penjualan produk-produk yang menjadikanku sebagai bintang iklannya pun naik pesat tanpa harus menggelar promo potongan harga secara besar-besaran. Aku harus menyelesaikan semua agendaku hari ini karena Raditya akan mengosongkan jadwalku esok hari. Jadwalku sengaja dikosongkan agar aku bisa mempersiapkan diri untuk tampil di acara jumpa penggemar dengan sangat prima. Ada beberapa pekerjaan yang harus kulakukan. Dan semuanya harus dimulai dari pagi-pagi buta sekali. “Mas Yasa, sebentar lagi kita take. Udah sarapan belum?” tanya seorang asisten sutradara. Aku akan segera mengambil gambar untuk iklan terbaru set pan yang menjadikanku bintang iklannya. “Set pannya udah disiapin di depan. Mas Yasa udah baca materi syutingnya, kan? “Udah, Mbak Tika. Apa ada yang mau direvisi?” ucapku. Mbak Tika—asisten sutradara pun mengangguk. “Masih ada waktu kalo mau revisi. Bisa saya hafalin.” “Nggak ada, Mas. Pihak company udah percaya banget sama Mas Yasa. Penjualan untuk tipe lama di season sebelumnya meningkat pesat. Semoga untuk tipe yang ini juga berhasil nyusul atau malah justru ngalahin kakaknya ya, Mas.” “Semoga ya, Mbak Tika. Kalo penjualan bagus kan bonus saya juga makin besar,” candaku. Tapi, pada kenyataannya memang benar. Pihak perusahaan pemilik brand set pan yang kuiklankan memberikan bonus besar saat penjualan mereka jauh melampaui target yang sudah ditentukan di awal. “Saya cuma bercanda, Mbak. Mereka masih percaya untuk pake saya aja masih syukur banget. Mbak Tika pasti paham kan gimana bermasalahnya saya.” “Selama ini Mas Yasa nggak pernah kasih dampak buruk ke perusahaan. Kemungkinan besarnya para pembeli nggak memandang dari kasus-kasus yang Mas Yasa hadapi. Itu dari pandangan saya ya, Mas. yaudah kalo begitu masih ada waktu sepuluh menit lagi. Mas Yasa bisa siap-siap sembari mastiin apa yang masih kurang, ya. Saya mau ke depan dulu. Pak Martin udah nunggu.” “Makasih banyak ya, Mbak Tika.” Aku memainkan detail adegan sesuai apa yang ditulis di script. Aku perlu memastikan kalau tipe terbaru dari set pan yang ada di hadapanku ini tak akan pernah mengecewakan bagi siapapun yang membeli nantinya. Aku harus memberikan penekanan yang meyakinkan di kalimat penutupnya. “Emerald series for your kitchen. Will help you serve best cookings on your table.” “Cut! Good job, Mas Yasa.” Seruan Pak Martin dan ditutupnya clapperboard mengakhiri syuting hari ini. “Terima kasih banyak, Mas Yasa. Semoga apa yang kita kerjakan hari ini memberikan hasil yang bagus nantinya.” “Amin, Pak Martin. Amin. Terima kasih banyak juga untuk hari ini ya, Pak.” “Mas Yasa mau stay untuk makan siang siang bareng kru atau langsung pulang?” tanya Pak Martin. “Saya mau banget stay untuk makan siang bareng yang lain. Tapi, saya masih ada kerjaan di daerah Cipulir, Pak. Jadwal hari ini dibuat padat karena besok saya libur.” “Oh, meet and greetnya jadi, Mas?” sahut Pak Martin. Aku mengangguk. “Semoga mereka bisa mengerti kalau pekerjaan orang-orang di dunia hiburan itu sama sekali nggak ada bedanya sama orang-orang yang kerja di bidang lain. pekerja hiburan juga butuh istirahat, kan.” “Mereka mana mau tau, Pak. Kita ada masalah apa juga tetep harus kelihatan baik di depan kamera, kan.” “Mas Yasa bener, sih.” Yaudah, Pak. Saya pamit duluan. Salam untuk yang lainnya ya, Pak.” OoO Aku sungguh merasa sangat lelah. Akhirnya, semua pekerjaan selesai. Pekerjaan terakhir yang baru saja kuselesaikan adalah datang memenuhi panggilan sebuah pabrik makanan kemasan, khususnya mi instan. Mereka berminat memakai jasaku untuk meracik salah satu varian rasa mi instan terbarunya. Siapa yang tidak suka mi instan? Tidak ada. Semua suka mi, termasuk aku. Persetan dengan workout dan pembentukan otot. Mi instan tak pernah gagal untuk selalu memikat. Saat ini memang sedang merambah trend makanan berat yang dikemas. Orang-orang mulai berinovasi. Semuanya dibuat menjadi praktis. Untuk proyek ini, mereka memintaku untuk meracacik resep mi instan dengan saus carbonara yang sesuai dengan lidah orang Indonesia. Ini merupakan sebuah tantangan besar bagiku. Aku harus membuktikan kalau aku mampu menaklukkan tantangan ini, sehingga mereka tak hanya melihatku sebagai seorang Yasa dengan segudang masalah. “Terima kasih banyak, Chef. Kami sangat menantikan perkembangan baik ke depannya.” “Baik, Pak. Semoga proyek ini bisa diterima di masyarakat kita nantinya.” “Chef Yasa siap-siap untuk rasa-rasa baru selanjutnya, ya. Kita harus bisa jadi saingan berat untuk brand sebelah.” “Saya akan mengerahkan yang terbaik yang saya bisa, Pak.” Saat pulang, Raditya mengemudikan mobil kami melewati jalan di mana gedung apartemen lamaku berada. Apartemen yang memberikanku begitu banyak kenangan. Kenangan manis sekaligus pahit. Saat-saat di mana aku merasa terbang begitu tinggi karena merasa begitu bahagia lamaranku diterima oleh perempuan yang sangat kucintai selama bertahun-tahun lamanya. “Kenapa lewat sini sih, Dit?” tanyaku pad Raditya yang fokus di balik kemudinya. “Lah, emang lewat sini rutenya. Lo mau kita lewat mana, Bang? Mau mampir ke India dulu?” “Lo kan ngerti ceritanya,” sahutku malas. Aku masih menatap gedung apartemen lewat jendela mobil. Lalu lintas yang macet membuat mobil berhenti tepat di depannya. “Sejak saat itu, gue belom pernah ke apartemen ini lagi. Urusan jual beli unit aja gue serahin ke pihak agensi.” “Move on dong, Bang. Nggak perlu lo inget-inget kalo rasanya pahit, mah. Lagi juga mantan lo itu udah nggak tau ada di mana, kan? Dia nggak pernah hubungin lo, kan?” “Sama sekali nggak. Gue juga udah nggak ngarepin dia untuk hubungin gue. Alasan dia mutusin gue juga nggak masuk akal. Jejaknya bener-bener hilang. Gue nggak tau dia ada di mana.” “Yaudah. Berarti emang kalian nggak ditakdirin bersama. Simpel, kan.” Aku masih ingat saat ia memutuskan hubungan kami kala itu. Dilepasnya cincin yang kupasang di jari manisnya saat melamarnya dan ditaruhnya di meja makan unit apartemenku kala itu. Ia pergi dengan membawa seluruh barang-barangnya tanpa meninggalkan kepingan hatinya untukku, tapi membiarkan hatiku retak menjadi kepingan kecil. “Sorry, Yas. I must go. I can’t marry you. Sorry. Don’t try to find me. Aku nggak akan ganggu kamu. Semoga kamu bahagia, ya. Terima kasih.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN