NANA 3 : Mohon untuk Tidak Menyebutkan Nama, ya

2138 Kata
“Perfect!” Aku menatap puas pada terusan putih dengan aksen hitam di bagian pinggang yang tergantung di lemari baju. Apakah baju yang kubeli ini akan terlihat sangat berlebihan hanya untuk menghadiri sebuah acara makan siang? Haruskah kuubah rencanaku? Mengobrak-abrik lemari dan mengeluarkan kembali kemeja putih serta celana bahan hitam, mungkin? Meskipun aku akan terlihat tak ada bedanya dengan pelayan restoran nantinya. Hanya tinggal beberapa jam lagi, maka hari ini akan resmi jadi hari paling membahagiakan untukku setelah hari di mana aku terlahir ke dunia. Aku bisa melihat Yasa Maitreya secara langsung, tanpa ada penghalang sama sekali. Aku yakin Yasa pasti akan terlihat jauh lebih tampan daripada yang selama ini kusaksikan di televisi. Sebelum pergi, aku masih harus menyelesaikan pekerjaanku. Respons pembaca di chapter terakhir sungguh amat baik. Hal itu membawa dampak baik juga untukku, terlebih membaca setiap komentar yang masuk. “Nana, chapter ini kok uwu banget. Aku takut diabetes karena saking manisnya.” “Nana kayaknya beberapa hari ini baik banget. Dikasih double update terus, deh. Kan jadi enak banget.” “Mbak Nana, kamu pake visualisai siapa sih untuk menggambarkan sosok Mas Damar? Kenapa uwu banget. Mas Damar jago diem-diem jago masak. Mas Damar juga kadang galak, kadang baiiiikkk banget. Terinspirasi sama sosoknya siapa sih, Na? Perfect banget, sih. Ada nggak ya sosok kayak Mas Damar di dunia nyata ini?” Ada, lah. Pasti ada. Yasa. Setelah selesai mengunggah chapter terbaru, aku pun segera mempersiapkan diri. Kupatut diri di depan cermin. Manis juga. Baju ini sangat cocok untukku. Seisi rumah memandang heran saat melihatku tiba di ruang televisi. Ibu pun sampai memindaiku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Ketiga karyawan warung makan pun sama. “Kamu mau ke mana, Na?” tanya Ibu. “Mbak Nana mau ke mit en gritnya Chef Yasa, Buk,” ucap Tuti. “Ibu kira kamu mau pergi kondangan.” “Kondangan. Ibu ada-ada aja,” sahutku. “Aku pergi dulu ya, Bu.” “Salam untuk Chef Yasa ya, Mbak.” Tuti menyerahkan satu sebuah paperbag cokelar ke arahku. “Ini nitip buat Chef Yasa. Dari Tuti, Endah sama Siti.” “Ini apa?” tanyaku bingung. “Jangan aneh-aneh deh, Tut.” “Nggak aneh, Mbak. Ini cuma beberapa lauk,” jawab Tuti. “Buk, uang lauknya udah Tuti masukkin ke kotak, ya.” “Wah, dagangan Ibu laris manis tanjung kimpul, dong,” sahut Ibu bercanda. “Kamu ada-ada aja, Tut.” “Nggak apa-apa, Buk. Biar warung makanan cepet habis. Kita bisa istirahat cepet,” sambar Endah. “Kalian serius nitip ini untuk Chef Yasa?” tanyaku memastikan. Aku semakin dibuat resah karena mereka bertiga menjawabnya dengan anggukkan mantap. "Ya ampun.” “Jangan begitu, Mbak. Siapa tau Chef Yasa seneng sama masakan warung kita. Mana tau nanti tau-tau Chef Yasa dateng ke sini. Iya nggak, Sit?” ucap Endah sambil menyikut lengan Siti. Yang disikut pun mengangguk mantap. “Bilang kalo itu dari Tuti, Siti sama Endah ya, Mbak Nana. Biar Chef Yasa inget sama kita bertiga.” “Iya. Aku bakal kasih langsung ke dia. Tapi, jangan terlalu berharap kalo dai bakal ke warung kita nantinya, ya. Jelas bukan seleranya dia. Dia aja punya restoran sendiri, bahkan bagus banget. Warung kita mah nggak ada apa-apanya, kan.” “Kun faya kun, Mbak Nana.” OoO Aku mampir ke sebuah toko kue dan roti yang letaknya lumayan dekat dengan restoran tempat di mana meet and greet akan diselenggarakan. Kebetulan yang sangat kebetulan. Toko kue ini terkenal karena pemiliknya adalah istri dari seorang pengusaha salah satu retail terkenal di negara ini. “Siang, Mbak. Ada yang bisa dibantu?” seorang wanita cantik menyambut kedatanganku di pintu masuk toko. Jelas dia adalah pemiliknya. Aku pernah beberapa kali melihat foto-fotonya di televisi dan internet. “Mau cari kue atau roti, Mbak?” “Saya bingung, Mbak. Bisa bantu saya?” “Mau kue atau roti yang kayak gimana ya, Mbak?” ucapnya. “Jangan yang terlalu manis, Mbak. Kebetulan orang yang mau saya kasih nggak terlalu suka makanan manis. Dia lebih suka makanan yang savory,” jawabku. Ketertarikanku pada seorang Yasa Maitreya membuatku mempelajari hampir semua hal tentangnya, termasuk selera makanannya. Yasa kurang menyukai makanan yang manis. Ia lebih suka makanan dengan rasa asin dan gurih. “Yang ini nggak terlalu manis karena isiannya gurih, Mbak.” Wanita itu menunjuk ke arah beberapa roti yang berjejer di rak. “Isiannya memang sengaja nggak kami buat manis juga karena adonan rotinya sudah manis. Biar nggak terlalu eneg juga.” “Boleh deh, Mbak. Saya minta lima ya untuk rasa ini. Tolong kasih saya beberapa rasa yang lain. Jumlahnya disamain aja ya, Mbak.” “Baik, Mbak.” Sambil menunggu pesananku disiapkan, aku pun melihat-lihat seisi toko sembari menikmati secangkir cokelat hangat yang direkomenngdasikan si pemilik toko. Selain roti-roti dengan beberapa macam rasa, aku pun memintanya untuk menambahkan seloyang pai daging. “Untung aja painya masih ada ya, Mbak. Ini belanjaannya. Semoga yang dikasih suka ya, Mbak.” “Semoga ya, Mbak. Saya deg-degan banget ini. Takut dia nggak suka.” “Lho, emangnya buat siapa, Mbak? Buat pacarnya?” tanyanya. Aku pun seketika terkekeh. “Bukan, Mbak. Bukan untuk pacar saya. Ini untuk Chef Yasa.” “Eh, Mbak ikutan meet and greetnya?” tanyanya antusias. Aku mengangguk. “Ih, enak banget. Suami saya nggak kasih izin ikutan karena saya lagi hamil besar. Anak pertama soalnya.” “Duh, sayang banget. Saya aja sama sekali nggak nyangka kalo menang, Mbak.” “Semoga acaranya lancar ya. Mbak. Nanti saya nonton di TV, deh. Nanti juga pasti ada liputannya di infotainment.” Wanita ini terlihat sangat cantik, meskipun dengan perut yang sudah membuncit. Mungkin benar kata kebanyakan orang kalau ibu hamil punya aura tersendiri. Aku langsung melajukan mobil ke restoran. Aku merasa sangat beruntung karena lalu lintas sangat terkendali. Sesampainya di restoran, aku segera mengarahkan mobil ke tempat parkir pengunjung. Kusiapkan ponsel sebelum masuk ke dalam. Pihak agensi yang menaungi Yasa mengatakan dalam email yang dikirimkan padaku kalau aku harus menunjukkan kode yang dikirimkan. Itu adalah free passku. “Silakan masuk, Mbak.” Aku digiring masuk ke sebuah ruangan khusus yang ukurannya lumayan luas. Di dalam sudah diisi lumayan banyak orang. “Silakan bergabung dengan tamu-tamu lainnya. Mohon untuk tetap tidak menyebutkan nama di sepanjang acara ya, Mbak.” “Baik. Terima kasih banyak ya, Mbak.” Dengan langkah sedikit ragu aku pun bergabung dengan para tamu yang sudah hadir. Ada dua buah meja panjang yang dijejer di tengah ruangan. Sangat besar sampai bisa diisi lebih dari dua puluh orang tamu undangan. “Deg-degan nggak sih mau ketemu sama Chef Yasa langsung?” “Iya, lah. Kemaren kan dia ngamuk-ngamuk di lokasi.” “Ngerasa bersalah banget gue sama dia.” “Iya, sih. Tapi, untung banget kan. Kalo nggak gitu nggak akan ada meet and greet ini.” Di hadapanku ada dua orang wanita yang tengah berbincang. Dari perbincangan keduanya bisa kutangkap kalau mereka masuk ke dalam komplotan penggemar reseh yang membuat Yasa ngamuk-ngamuk di lokasi syuting kala itu. Tapi, karena ulah mereka aku justru mempunyai kesempatan untuk bisa bertemu langsung dengan Yasa Maitreya. Dari kebanyakan tamu yang hadir, hampir semuanya kaum betina yang tergila-gila pada sosok seorang Yasa. Pejantannya bisa dihitung dengan jari. Sudah hampir masuk jam makan siang, namun acara belum juga dimulai. Yasa pun belum menampakkan batang hidungnya.’ “Ini kita nggak lagi di-prank kan, ya?” “Iya, nih. Udah mau makan siang dia belum muncul.” “Sama sekali nggak ada penjelasan, nih?” Tiba-tiba, seseorang yang mengaku sebagai utusan pihak agensi masuk ke ruangan. Dia berdiri di bagian depan ruangan, sehingga semua orang bisa dengan jelas menatap ke arahnya. “Mohon maaf sebelumnya. Acara belum bisa kita mulai karena Chef Yasa masih di jalan. Mohon tunggu sebentar lagi, ya. Chef Yasa sebentar lagi sampai.” OoO Semua tamu yang hadir mengembuskan napas lega kala sesosok paling sempurna yang menempati satu ruang di hati membuka pintu. Jantung ... please jangan terlalu lebay, ya. Duh, susah. Susah banget. Senyumannya .... Seluruh tamu wanita sontak, termasuk aku, sontak mmenegakkan posisi duduk. Mengintai semua pergerakan Yasa dari pintu sampai akhirnya mendudukkan diri di kursi. Yasa menatap ke arah semua yang hadir. Satu per satu. “Wah, ternyata hadir semuanya. Terima kasih karena sudah berkenan hadir, ya.” Yasa kembali berdiri setelah mengucapkan sederet kalimatnya. “Saya minta maaf karena terlambat datang.” Yasa menengok jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Karena kalian semua sudah pilih menu makan siangnya, kita bisa ngobrol sembari nunggu makanannya diantar. Mau, ya?” “Mau banget lah, Chef,” sahut salah satu wanita yang duduk berjarak empat orang dari posisiku. “Okay. Kita ngobrol, ya. Saya boleh tau nggak kalian datang dari mana aja?” tanya Yasa. Kami semua kompak mengangguk. “Bekasi.” “Cilodong.” “Jatinegara.” “Bandung.” Yasa langsung membulatkan kedua matanya saat mendengar jawaban salah seorang tamu yang hadir. “Bandungnya di mana, Mas?” tanya Yasa. “Ciwidey, Chef.” “Wah, enak banget. Di sana kan dingin banget. Mbaknya dari mana?” Yasa menatap ke arahku. Aku yang ditatap pun merasa sedikit terkejut. “Iya, Mbaknya. Mbak dari mana?” “Ehm ... saya dari Depok, Chef.” “Oh, deket dong, ya.” Setelah semua yang ahdir menyebutkan asal masing-masing, tak lama setelahnya beberapa pegawai restoran masuk dan mulai menghidangkan makanan yang sudah kami pilih sebelumnnya. Di email yang dikirim memberikan respons undangan, pihak agensi mengirimkan daftar menu makanan yang bisa dipilih. Untuk mempersingkat waktu, kata mereka. Makan siang kali ini, aku khusus memesan Chicken Cordon Bleu. “Silakan dinikmati, ya. Kalian boleh pesan wine kalau mau,” tawar Yasa. Hanya beberapa orang saja yang mengangguk mengiyakan. “Silakan bilang aja ke mereka, ya. Tapi, kalian nggak boleh nyetir mobil setelah pulang dari sini nantinya, ya.” Ada satu hal yang membuatku merasa sangat bingung kali ini. Kenapa kami yang hadir dilarang untuk menyebutkan nama. Apa semua ini dilakukan agar tetap terlihat misterius? Bahkan, Yasa pun tak menanyakan nama kami masing-masing. “Ada yang mau ditanyakan ke saya, mungkin? Asal jangan nanya yang aneh-aneh, ya,” ucap Yasa dengan kekehan di akhir kalimatnya. “Chef udah nggak ngambek lagi, kan?” Satu pertanyaan yang membuat Yasa tertawa cukup renyah. “Semenakutkan itu, ya?” ucap Yasa. “Kita takut banget waktu lihat Chef ngamuk kemaren,” sambar wanita di hadapanku yang tadi sempat kudengar perbincangannya. “Saya harap setelah acara ini, kalian jadi semakin mengenal saya. Jujur saya sama sekali nggak keberatan kalo ada fans yang mau ketemu. Tapi ... timingnya juga harus tepat. Saya sangat berterima kasih karena kalian mau datang jauh-jauh ke lokasi syuting. Panas-panasan pula. Tapi, sayanya malah marah-marah. Saya minta maaf banget, ya. Timingnya nggak pas.” “Kami yang harusnya minta maaf, Chef.” “Kita sama-sama minta maaf, ya. Ke depannya, semoga kita bisa lebih sering kumpul kayak begini, ya,” ucap Yasa yang diangguki seluruh tamu undangan yang hadir, termasuk aku. Aku tak akan pernah menolak jika memang harus menghadiri undangan untuk bisa bertemu dengannya. Lagi. Lagi. Dan lagi. “Nanti kita atur waktu lagi, ya.” “Oh iya, Chef. Selama ini kan kita cuma kumpul-kumpul aja sesama penggemarnya Chef. Nah, kita sepakat untuk buat perkumpulan.” “Eh, saya jadi nggak enak banget nih sama kalian semua. Sampe buat perkumpulan,” sahut Yasa. “Kira-kira mau dikasih nama apa, nih?” “Pepaya. Perkumpulan Penggemarnya Yasa Maitreya.” “Wah, boleh! Saya suka banget. Tapi, jangan sampe menyusahkan kalian semua, ya. Kalian boleh hubungi saya kalau ada butuh apa-apa yang berhubungan dengan komunitas ini, ya. Saya pasti akan bantu. Oh, iya. Saya juga bisa share schedule saya ke komunitas, ya” Sebelum acara berakhir, kami menyempatkan diri berfoto bersama dengan Yasa yang berdiri di tengah-tengah. Ah, akhirnya aku bisa ada di dalam satu frame yang sama dengan Yasa. “Uhm, Chef. Maaf, ini ada titipan dari keluarga saya.” Kuserahkan paperbag berisikan titipan Siti, Tuti dan Endah pada Yasa yang sedang memainkan ponselnya setelah acara benar-benar selesai. Ruangan sudah hampir kosong, maka dari itu aku memberanikan diri untuk mendekatinya. “Mohon diterima ya, Chef. Ini saya bawa roti untuk Chef. Semuanya nggak terlalu manis, jadi aman untuk Chef.” Aku merasa sedikit kurang nyaman melihat bagaimana tatapan Yasa yang seolah mengulitiku dari kepala sampe kaki. Seketika aku merasa ragu untuk menyerahkan paperbag dan roti-roti yang sudah kubeli untuknya. Aku berniat untuk mengambil kembali, namun .... “Jangan dibawa lagi, ya. Saya terima. Terima kasih, ya. Nama kamu?” “Heh! Nggak ada. Nggak ada. Nama apaan? Ayok balik. Acara udah selesai. Mbak, terima kasih banyak ya udah mau hadir.” Manager Yasa yang senantiasa mendampingi Yasa setiap harinya pun datang. “Sama-sama, Mas.” “Ayok pulang!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN