NANA 1 : Meet and Greet Chef Yasa

1702 Kata
Ah, mereka pikir jadi penulis itu nggak capek? Seenaknya mereka kasih komentar kayak begitu.” Aku tak berhenti menggerutu barang sedetik pun sepagian ini. Beberapa komentar yang masuk di bab terakhir ceritaku berhasil menarik perhatian. Kami para kuli tinta platform sering memanggil mereka “ghost reader”, pembaca yang tak pernah memberikan komentar, namun sekalinya berkomentar membuat darah seketika menjadi panas membara. Terhitung sudah lima tahun ini aku mengabdikan diri menjadi kuli tinta di beberapa platform baca berbayar. Lulus kuliah aku sama sekali tak mempunyai niatan untuk melamar pekerjaan sebagai pegawai kantoran. Padahal, sebelumnya aku begitu menggebu ingin menjadi seorang pegawai kantor saat tak sengaja bertemu dengan seorang wanita cantik yang mengenakan setelan blazer, rok mini dan sepatu berhak tujuh sentimeter. Angan-angan menjadi seorang pegawai korporat kandas setelah salah seorang teman online mengajakku bergabung untuk menjadi salah seorang penulis lepas di sebuah platform. Bayaran yang sangat menggiurkan, meskipun jari-jari terancam copot dari porosnya. Kulepas impian menjadi pegawai korporat dan lebih memilih menjadi seorang penulis. Lumayan, aku bisa tetap tinggal di rumah selama bekerja sehari-harinya. Aku bisa membantu Ibu mengerjakan pekerjaan rumah dan menjaga warung saat dibutuhkan. Aku meringis melihat komentar-komentar yang masuk. Cerita yang sedang kugarap kali ini berhasil menarik begitu banyak pembaca. Aku masih ingat betul bagaimana awal mula cerita ini kurilis kala itu. Sepi pembaca. Aku pun tak pernah bosan untuk selalu melakukan promosi ke sana-sini. “Nana, ayo dong update. Aku nggak sabar banget mau baca lanjutannya. Mas Damar bener-bener bikin aku klepek-klepek.” “Nana, kamu kok seneng banget gantungin perasaan para pembacamu? Selalu dibuat penasaran di akhir bab. Ayo double updatenya ditunggu. Kalo kamu mau triple update juga nggak apa-apa. Kami ihklas.” Eh, kok mintanya susah dikabulin Mas Damar—sosok laki-laki pemeram utama dalam cerita “My Sweetest Cold Man” sukses mengambil hati para pembacanya. Penggambaran akan sosok seorang Damar yang begitu dingin, namun tsundere ternyata memenuhi keinginan pasar yang sedang berkembang saat ini. Mirip dengan sosok Mas Al yang sedang begitu digandrungi ibu-ibu, katanya. Padahal, bukan Mas Al yang kujadikan visualisasi Damar. Ada satu sosok yang sangat kukagumi. Diam-diam aku selalu menggunakan sosoknya untuk kujadikan visualisasi tokoh-tokoh di semua ceritaku. Yasa Maitreya memang lengkap luar dalam. Sosoknya tekesan sangat dingin, padahal kata kebanyakan orang yang sudah pernah bertemu dengannya Yasa Maitreya begitu jauh dari kesan dingin. Yasa sangat bersahabat. Karena Yasa lah aku selalu bersemangat tiap kali menggarap cerita-ceritaku. “Mbak Nana, disuruh Ibuk makan dulu,” teriak Siti—pegawai warung makan keluarga kami. Aku memang begitu larut dengan pekerjaan sampai lupa kalau perutku belum kemasukan sebutir nasi pun. “Mbak Nana!” “Berisik banget sih kamu, Sit!” Aku segera membuka pintu kamar dan melihat Siti dengan satu tangannya yang sudah siap untuk mengetuk pintu. “Ibu masak apa?” “Mbak Nana kok lucu banget,” sahutnya. “Mbak, ambil nasi di bawah. Mbak Nana bisa pilih lauk apapun yang Mbak Nana mau.” “Hari ini ada tongkol balado nggak, Sit?” tanyaku. Tongkol balado adalah salah satu makanan favoritku. “Ada, Mbak. Irisannya lagi gede-gede banget lho, Mbak. Mumpung warung lagi sepi. Orang kantor belum pada istirahat.” Kemahsyuran nama warung nasi keluarga kami memang sudah terdengar di telinga banyak orang. Kebetulan yang berujung sangat mujur. Letaknya pun dekat dengan beberapa perkantoran. Jadi, warung akan dipenuhi para pegawai kantor saat jam makan siang. Langkahku terasa begitu malas saat kudengar suara Bu Nia—tetangga satu RT yang rutin membeli lauk-pauk di warung setiap harinya. Jika itu tentang Bu Nia, maka aku harus bersiap diri untuk mendengarkan segala macam ocehan yang mungkin akan keluar dari mukutnya. Bersiaplah, Nana. “Eh, Nana. Perawan kok jam segini baru bangun. Jauh jodoh, lho.” Nah, kan. Ngeselin banget ya ampun. “Mau makan, Na?” tanya Ibu sambil mengedipkan kedua matanya—tanda untukku agar tidak begitu meladeni ucapan Bu Nia. “Ada tongkol balado. Kesukaanmu.” “Bangun tidur laper ya, Na?” sambar Bu Nia. “Iya, Bu. Laper banget sampe rasanya mau makan orang. Ngerjain kerjaan sampe belum sempat tidur sampe hari gini. Apa jodoh juga nggak mau ngedeketin orang yang suka begadang ya, Bu Nia?” Gegas aku membawa sepiring nasi yang sudah disiapkan Ibu dan memilih-milih lauk yang berjejer di etalase. “Bu Nia beli apa?” “Biasa. Saya kan nggak pinter masak. Cari yang praktis aja,” jawab Bu Nia. “Suaminya Bu Nia nggak apa-apa tuh kalo Bu Nia beli makanan jadi terus?” sahutku. Kuciduk dua potong tongkol balado dan meletakkannya ke atas nasi panas. Bu Nia terlihat mengangguk. “Kayaknya suaminya Bu Nia salah milih jodoh.” “Maksud kamu apa, Na?” ucap Bu Nia ketus. “Seharusnya dulu jangan cuma bangun pagi aja, Bu. Belajar masak juga penting.” “Nana,” ucap Ibu lirih. Ibu kembali mengirim tanda untukku agar tak memperkeruh suasana. “Udah.” “Bu Nia, saya mohon banget sama Ibu. Tolong jangan pernah rusak mood saya. Itu bahaya banget, Bu. Saya kerja butuh mood yang bagus.” “Halah. Kamu kan pengangguran, Na. Kerja apa emangnya? Kamu aja di rumah terus. Kerjaanmu kan jaga warung, tho?” “Ibu lihat yang ada di garasi itu?” Kutunjuk mobil yang kubeli dengan uang hasi jerih payahku selama menjadi kuli tinta. “Itu hasil kerja saya, Bu. Ibu tahu berapa biaya per semesternya Gina? Saya yang bayar, Bu. Jadi, jangan seenaknya bilang kalo saya pengangguran. Yang nganggur tuh Bu Nia, bukan saya. Saya nggak harus kelihatan pake blazer sama sepatu hak tinggi biar dibilang kerja, Bu. Kamar saya itu ya kantor saya.” Bu Nia terlihat memberengutkan kedua bibirnya. Ibu yang sejak tadi menyaksikanku berceloteh pun hanya bisa mengebuskan napas. Aku sudah merasa begitu sumpek dengan tudingan Bu Nia selama ini. “Maafin Nana ya, Bu. Nana lagi banyak kerjaan,” ucap Ibu. “Bu, aku balik ke kamar. Tagihan listrik dan wi-fi bulan ini udah aku bayar. Bilang aja apa yang harus aku bayar, nanti tinggal aku transfer. Mari, Bu Nia. Beli lauknya yang banyak, ya. Supaya keluarga saya makin kaya.” “Nana!” pekik Ibu. Aku kembali naik ke lantai atas tanpa mempedulikan Ibu. Selama ini, aku diam karena Ibu selalu mewanti-wanti agar aku tak begitu memusingkan ucapan Bu Nia. Rupanya Bu Nia tak pernah jera dengan diamku. Sekali-sekali Bu Nia memang harus diberi pelajaran. Makanya, punya mulut itu dijaga. Kena mental kan lo gue gituin. Nggak berkutik sama sekali. OoO Setelah kejadian kejadian hari itu, sudah beberapa hari ini aku tak melihat Bu Nia datang ke warung. Aku tak peduli jika memang benar ia merasa sakit hati dengan semua ucapanku kala itu. Masa bodoh dengan Bu Nia. Seluruh pegawai warung Ibu sedang berkumpul di ruang TV. Hari ini, Ibu sengaja menutup warung supaya mereka semua bisa beristirahat. Ada pesanan dalam jumlah besar yang baru saja mereka selesaikan subuh ini. “Nonton apa, sih?” tanyaku. Kuputuskan untuk duduk bergabung dengan ketiganya. Iklan sabun mandi masih menghias di layar kaca. “Ada berita apa?” “Berita Chef Yasa, Mbak,” jawab Endah. “Katanya kena sekandal.” “Ha? Kena apaan, Ndah? Sekandal? Maksud kamu kasus?” Ketiganya kompak mengangguk. Baiklah. Jika itu tetang Yasa Maitreya, maka aku bisa mengesampingkan dulu semua pekerjaanku. “Skandal apaan?” “Chef Yasa ngamuk lagi di lokasi syuting.” “Ngamuk kenapa?” “Nggak tau. Tadi baru cuplikannya,” sahut Siti. Ah, Yasa Maitreya memang sudah tak asing lagi dengan yang namanya skandal. Aku yakin kalau skandal adalah bagian dari hidupnya sebagai seorang yang terkenal. Hidupnya diwarnai dengan banyak kasus, dari yang marah-marah sampai yang katanya tidur dengan banyak wanita. Entah kenapa semua itu tak pernah membuatku bosan menjadi penggemarnya. Aku seakan tak pernah peduli dengan skandal-skandal yang dibuat Yasa. Bagiku dan mungkin juga bagi semua penggemar setianya Yasa terlihat sangat sempurbna, meskipun dengan skandal-skandal tersebut. “Nih beritanya udah mulai,” celetuk Tuti. “Diem dulu. Biar kedengaran. Sit, kamu diam, ya." “Lagi-lagi Chef Yasa Maitreya kedapatan tengah mengamuk di lokasi syuting di bilangan Jakarta Selatan. Disinyalir Chef Yasa merasa dirinya terganggu karena ada begitu banyak penggemar yang memenuhi area pengambilan gambar. Proses syuting yang memakan waktu seharian penuh jelas membuat kondisi Chef Yasa lelah. Penggemar yang hadir memenuhi lokasi syuting mendesak agar Chef Yasa bersedia untuk mengambil gambar dan memberikan tandatangannya. Chef Yasa yang saat itu memang terlihat sangat lelah segera membanting gelas minumannya ke lantai. Berikut kami sampaikan hasil wawancara tim kami dengan Chef Yasa yag berhasil direkam tak lama setelah isu ini beredar.” Layar televisi menampilkan Yasa yang baru saja selesai syuting di sebuah stasiun TV. Yasa memang memimpin sebuah acara di sana. Ia memang tak pernah gagal dalam berbusana. Etah siapa yang mengurus soal cara berpakaiannya. Yasa terlihat sangat sempurna dengan kemeja hitam yang lengannya digulung. “Saya minta maaf atas apa yang terjadi waktu itu. Semuanya bener-bener di luar kendali saya. Cuacanya panas banget. Saya baru banget istirahat setelah seharian syuting. Tiba-tiba ada beberapa orang penggemar yang menyelinap masuk ke tenda tempat saya istirahat. Bukannya saya nggak mau foto atau kasih tandatangan. Momennya kurang pas. Saya yakin mungkin bukan cuma saya yang bakalan kesal kalo pas lagi capek tiba-tiba didatengin kayak begitu. Sekali lagi ... saya minta maaf untuk semuanya. Kayaknya ini bukan kali pertama saya dicap ‘ambekan’, ya.” Yasa terkekeh di akhir kalimatnya. “Asal timingnya pas, silakan. Atau kalo perlu kita dain meet and greet aja gimana? Biar manager saya yang atur. Semua yang mau boleh ikut. Saya jamin kalo saya nggak akan marah-marah di acara meet and greet nantinya.” “Mbak, mit en grit itu apa?” tanya Endah. “Meet and greet itu kayak jumpa penggemar. Kenapa? Kalian mau ketemu sama Chef Yasa?” Mereka kompak mengangguk. “Susah.” “Emang ada syaratnya, Mbak?” “Kalian berani izin sama Ibu?” “Bener juga. Ibu nggak mungkin kasih izin. Nanti yang jaga warung siapa?” “Nah,” sahutku. “Kalo gitu serahin ke aku aja, ya. Kalian jangan khawatir.” “Serahin ke Mbak Nana? Maksudnya piye, Mbak?” tanya Tuti bingung. “Kalian kerja yang bener. Biar aku yang dateng ke meet and greetnya Chef Yasa.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN