Seorang wanita muda tengah terduduk di kursi sambil menekan-nekan tombol keyboard di komputer jinjingnya. Namanya Tatjana Amaryllis Katja. Namanya memang agak sedikit unik mengingat Tatjana sama sekali tak memiliki darah keturunan bule-bule dengan warna iris mata yang beragam. Ia pernah menanyakan alasan kenapa namanya Tatjana Amaryllis Katja kepada sang Ayah. Jawabannya sangat sederhana. Sang Ayah mengiginkan kelak anak gadisnya bisa secantik putri peri, seanggun bunga amaryllis dan senantiasa memiliki sifat yang murni. Tatjana sangat mencintai namanya. Bukan karena arti indah di baliknya, namun karena nama itu pemberian dari ayahnya. Laki-laki yang menjadi cinta pertama di hidup Tatjana.
Tak jarang setiap kali merenung di balik komputernya, Tatjana seringkali teringat akan kenangan-kenangan indah yang pernah dilaluinya bersama sang Ayah. Ya, ayahnya sudah lama tiada. Tatjana sama sekali belum merasa puas menghabiskan waktu bersama mendiang ayahnya. Tatjana bersumpah demi apapun, delapan tahun lalu adalah saat paling menghancurkan yang pernah terjadi di hidupnya. Tatjana kehilangan ayahnya tepat di depan matanya. Dengan kedua tangannya, Tatjana memangku tubuh sang Ayah yang sudah berlumuran dengan darah.
Tatjana sama sekali tak mengerti apapun saat itu. Yang dia ingat, tak lama setelah ayahnya dimakamkan, seseorang yang mengaku sebagai utusan dari keluarga pelaku tabrak lari datang menawarkan sejumlah uang sebagai bentuk perdamaian. Jelas permintaan konyol itu ditolak Tatjana dan ibunya. Tatjana sama sekali tak berniat berdamai dengan orang yang telah menghilangkan nyawa ayahnya. Sama sekali tidak. Mati-matian Tatjana bolak-balik kantor polisi untuk mengusut kasus kematian ayahnya sampai tuntas, setidaknya begitulah harapannya. Tapi, kasus kematian sang Ayah berakhir begitu saja tanpa kejelasan sama sekali. Pelaku tabrak lari melarikan diri entah ke mana.
Tahun demi tahun berlalu sampai akhirnya Tatjana menyerah. Ia tetap berharap suatu hari nanti pelaku tabrak lari yang menewaskan ayahnya bisa ditemukan. Ayahnya mungkin memang sudah tenang di alam sana. Tapi, tidak untuk Tatjana. Dia tidak akan pernah merasa tenang sebelum pelaku tabrak lari itu ditemukan.
Delapan tahun sejak kepergian sang Ayah, Tatjana, adik dan sang Ibu harus berjuang untuk melanjutkan hidup. Mereka memang pernah mereguk nikmatnya kehidupan yang berkecukupan dan berlimpah materi. Tapi, sejak kematian sang Ayah semuanya seakan tinggal bayang-bayang semu. Sang Ibu yang tiba-tiba harus menjadi seorang ibu tunggal diharuskan banting tulang putar otak untuk bisa menghidupi dan membiayai Tatjana dan adiknya, Gina. Merasa seakan dihantam batu besar tiap kali tiba waktunya untuk membayar uang semesteran Tatjana dan uang SPP Gina. Berbekal kemampuan memasak yang sangat mumpuni, Rosma, sang Ibu memberanikan diri untuk membuka sebuah warung makan dengan modal nekad dan uang yang sangat terbatas. Memang benar kata orang kalau usaha tak akan pernah mengkhianati hasil. Usaha warung makan Rosma tumbuh dengan sangat pesat. Awalnya, Rosma mati-matian mengurus usaha warung makannya seorang diri. Tapi, sekarang dia sudah punya beberapa karyawan untuk membantunya mengurus usaha warung makannya.
Tatjana mengembuskan napasnya lumayan panjang. Seharian duduk memandang layar komputer sama sekali tak membuatnya bisa berpikir jernih. Padahal, dia sangat membutuhkan kinerja otak yang sangat maksimal. Dia dituntut untuk selalu bisa menghasilkan ide-ide segar demi kelancaran pekerjaannya. Tatjana harus bisa meningkatkan jumlah pembaca di n****+ yang tengah digarapnya di sebuah platform berbayar. Ya, sudah lima tahun sejak lulus kuliah Tatjana memutuskan untuk menadi seorang penulis di platform berbayar. Apalagi kalau bukan karena uang. Cerita sukses para penulis yang berhasil meraup banyak rupiah berhasil menyihirnya. Awalnya, ia hanyalah seorang gadis yang suka menghabiskan waktu berjam-jam lamanya menggeser layar ponsel untuk membaca cerita n****+ berbasis online. Tapi, bayangan akan rekeningnya yang menggemuk karena rupiah membuatnya menjadi sangat kreatif.
“Na, kamu lagi ngapain?” tanya Rosma pada anak gadis sulungnya. Yang ditanya hanya bisa mengintip dari balik layar komputer sambil memainkan bingkai kacamata yang bertengger di hidung agak mancungnya. Semua orang memang lebih suka memanggilnya dengan nama Nana ketimbang Tatjana. Demi keselamatan lidah, kata mereka.
“Mau ngetik. Tapi, nggak dapet inspirasi sama sekali. Kenapa, Bu?” jawab Tatjana. Rosma berjalan mendekati putrinya. Dengan gamis seragam majlis taklim RT dan khimar lebar yang sudah rapih, Rosma menaruh kalkulator warung makan yang biasa digunakan untuk menghitung jumlah belanjaan para pembeli. “Aku disuruh jaga warung?”
“Iya, Na. Ibu mau ke pengajian dulu. Kamu ngerjain ketikkan di sana aja bisa, kan?” ucap Rosma. Tatjana menjawabnya dengan anggukkan. “Kayak biasa aja. Anak-anak lagi Ibu suruh untuk istirahat. Warung lagi sepi. Sepagian rame banget, Na. Mereka kecapekan kayaknya. Kamu jaga dulu, ya.”
Tatjana mengangkat kedua ibu jarinya ke udara. Memang sudah jadi hal yang sangat lumrah baginya untuk membantu sang Ibu menjaga warung makan milik keluarga mereka. “Bu, jangan lama-lama ngajinya.”
“Kamu ada-ada aja sih, Na. Yang namanya ngaji ya seselesainya. Masak iya Ibu mau pulang duluan.” Rosma menjitak kening Tatjana dengan tangan kanannya yang terkepal. “Ibu berangkat dulu, ya.”
“Hati-hati, Bu. Nanti nasi kotaknya buat aku, ya,” pesan Tatjana seraya menampilkan deretan gigi-giginya yang rapih.
“Ya Allah, Nana. Ibu aja belum berangkat kamu udah pesen nasi kotaknya. Haduh, ngidam apa Ibu waktu hamil kamu dulu.” Rosma berjalan menuju pintu kamar Tatjana untuk segera berangkat ke acara pengajian. Belum ada dua detik, Rosma kembali menyembulkan kepalanya dari balik pintu kamar. “Na, tolong bantu potong-potong tempe yang ada di warung. Besok mau dibuat orek tempe. Tolong, ya.”
Tatjana hanya menjawabnya dengan sebuah anggukkan. Tatjana segera bangkit dari duduknya. Menjinjing komputernya dan tak lupa membawa serta pengisi daya komputer jinjingnya, mematikan pendingin ruangan di kamarnya dan segera berjalan menuju warung. Sesampainya di warung, Tatjana segera mengerjakan tugas yang didelegasikan sang Ibu padanya.
Tatjana mengambil sebua papan talenan kayu yang bagian tengahnya sudah hampir menyekung. Di hadapannya, sudah ada empat papan tempe berbungkus daun pisang yang suda siap untuk dipotong. Tatjana tak harus presisi untuk memotong tempe-tempe itu. Dia hanya perlu memastikan potongan-potongan tempe itu akan matang secara bersamaan saat digoreng nantinya.
“Mbak, mau makan.” Tatjana menghentikan gerakan pisaunya saat mendengar seseorang seseorang memintanya untuk melayani pesanannya.
“Oh, iya. Mau makan pake apa, Pak?” Mengelap setiap piring yang akan digunakan dengan serbet bersih adalah sebuah keharusan. Warung makannya memang tak selevel dengan restoran mahal dengan menu bintang lima, namun kebersihan tetaplah menjadi junjungannya.
Seorang laki-laki paruh baya dengan perawakan lumayan gemuk menaruh topi lusuh yang dikenakannya di atas meja. Tatjana juga sempat melihat laki-laki itu meletakkan dagangannya di pojok warung. Rupanya, laki-laki itu seorang pedagang mainan anak-anak.
“Hari ini saya mau makan enak, Mbak. Hari ini, saya ulang tahun,” ucapnya. Tatjana menyunggingkan senyuman ke arah laki-laki itu. Dia sudah siap dengan piring yang sudah diisinya dengan dua setengah centong nasi putih panas. “Saya mau ayam gorengnya satu. Paha atas ya, Mbak. Sambel goreng kentang, tumis kikil, bakwan jagung sama es tehnya satu gelas.”
“Ini makanannya ya, Pak.” Tatjana menyerahkan piring nasi yang sudah lengkap dengan lauk-pauk pesanan laki-laki itu di atas etalase. “Selamat ulang tahun untuk Bapak. Semoga semua yang Bapak kerjakan hari ini mendapat keberkahan dari Tuhan. Es tehnya nyusul ya, Pak. Saya buat dulu.”
Laki-laki itu berdiri dan berjinjit agar Tatjana bisa melihatnya. Tatjana yang sedang merendam sekantong teh celup di gelas dengan air panas menghentikan kegiatannya.
“Mbak, tehnya dibuat tawar aja. Uang saya takut ndak cukup,” ucapnya. Tatjana menjawabnya dengan anggukkan. Dia melanjutkan tugasnya membuatkan segelas es teh untuk bapak tua pedagang mainan itu. Raut sedikit terkejut tercetak jelas di wajah laki-laki paruh baya itu. “Mbak, kok es tehnya ... .”
“Itu khusus untuk Bapak. Bapak butuh tenaga untuk cari rejeki. Es teh manisnya saya yang traktir. Bapak boleh tambah untuk bekal di jalan nanti, ya.” Seulas senyuman bahagia muncul di kedua bibir laki-laki paruh baya itu. Tatjana merasa ikut bahagia karena setidaknya dia baru saja melakukan satu hal kecil yang membuat orang lain merasa bahagia.
Sembari menunggu pedagang mainan itu selesai makan, Tatjana melanjutkan tugasnya memotong-motong tempe sukuran dadu monopoli. Tatjana sudah sangat lihai dengan urusan dapur. Di awal merintis usaha, Tatjana membantu sang Ibu memasak seluruh makanan yang akan di jual di warung makan mereka. Masalah dapur dan perintilannya bukanlah perkara besar lagi bagi seorang Tatjana. Bahkan, dia pernah memegang kendali warung makan saat Rosma diharuskan pulang ke kampung halaman mereka karena ada salah satu kerabat yang menggelar hajatan.
“Mbak, semuanya berapa?” tanya laki-laki paruh baya. Dia sudah siap memakai kembali topi lusuh di kepalanya yang berambut tipis dan beruban. Tagannya merogoh saku depan kaos yang dikenakannya. Mengeluarkan gulungan uang yang didominasi warna abu-abu.
“Semuanya jadi 17.000, Pak,” jawab Tatjana. Laki-laki itu menyerahkan sembilan lembar uang pecahan dua ribuan. Tatjana mengambil sebungkus es teh manis yang sudah disiapkannya. “Ini kembaliannya. Pak, ini untuk minum kalo Bapak haus di jalan.”
“Terima kasih banyak ya, Mbak. Rasa-rasanya saya sering ke sini, Mbak. Tapi, saya kok nggak pernah ketemu sama Mbak, ya?”
“Bisa jadi setip Bapak ke sini, saya lagi nggak dikasih tugas untuk jaga warung,” kekeh Tatjana. Laki-laki itu berohria. “Hari ini, emang udah jadi jodoh kita, Pak. Kita ketemu.”
“Iya, Mbak. Kalo begitu, saya pamit mau lanjut jualan lagi ya, Mbak ... .” Laki-laki itu menjeda ucapannya. Rupanya, dia belum tau siapa nama Tatjana.
“Tatjana, Pak,” sahut Tatjana. Tatjana terkekeh saat melihat laki-laki itu kesusahan ketika mencoba untuk melafalkan namanya. “Biar nggak susah, Bapak boleh panggil saya Nana.”
“Alhamdulillah. Saya bingung mau ngomongnya gimana tadi. Saya pamit, Mbak Nana. Terima kasih banyak untuk es teh manisnya.”
Selama menjalankan usaha warung makan ini dengan sang Ibu, Tatjana bertemu dengan banyak orang baru. Orang-orang yang datang untuk mengisi perut di warung makannya berasal dari segala macam lapisan masyarakat. Mulai dari pemulung, pedagang asongan, pengamen, buruh pabrik, bahkan sudah beberapa tahun terakhir ini warungnya ramai dikunjungi orang-orang bermobil mewah. Dari mereka, Tatjana banyak belajar tentang arti kehidupan. Dan dari mereka juga, Tatjana seringkali mendapat suntikan segar ide-ide yang cemerlang untuk ditumpahkannya di cerita-cerita garapannya.
“Mbak Nana ....”
Sebuah suara membuatnya menoleh. Orang yang abru saja memanggil namanya masih berdiri sambil menguap beberapa kali.
“Kenapa, Sit?” sahut Tatjana. Siti hanya menggeleng. Setelah puas menguap beberapa kali, Siti mengambil duduk di bangku plastik di sebelah Tatjana. Menyandarkan kepalanya di pundak Tatjana yang sedang memotong-motong tempe. “Sit, kamu nggak liat aku lagi motongin tempe? Mendingan kamu tidur lagi. Warung sepi, kok.”
“Mbak, kalo kata orang kampunge nyong, jangan ngomong sembarangan,” ucap Siti. Tatjana mengernyitkan keningnya.
“Sembarangan gimana, Sit? Kan emang bener kalo warung sepi.”
“Bisa jadi kebalikannya, Mbak. Saya lapar. Makan dulu, Mbak. Siap-siap kalo nanti warung rame. Biar ada tenaga.” Siti berdiri. Mengambil sebuah piring dari tumpukkan dan mengisinya dengan secentong nasi. Ditelusurinya semua lauk-pauk yang berjejer di etalase. Wajahnya nampak sedikit bingung. Tangannya bergerak mengambil beberapa sendok tumis oncom dan sambal terasi. “Makan, Mbak. Biar kuat menghadapi kenyataan.”
“Tuti sama Endah masih tidur?” tanya Tatjana. Siti yang sedang mencampur nasi dan tumis oncom dengan telapak tangannya menjawab dengan gelengan. “Lho, aku pikir mereka berdua lagi tidur.”
“Tuti sama Endah lagi asik nonton video Chef Yasa di Youtube,” jawab Siti. “Gara-gara Mbak Nana, sih. Nyong harus kebrisikan tiap malem dengerin mereka teriak-teriak nonton video Chef Yasa.”
“Berarti kamu yang nggak normal, Sit. Yasa Maitreya gantengnya masha Allah kayak begitu kok nggak bisa bikin kamu bergetar. Dasar aneh. Buat Siti seorang, yang ganteng itu cuma Mas Sam. Samsudin,” kekeh Tatjana. memang benar apa yang dikatakan Siti. Karena ulahnya, dua karyawan ibunya juga ikut tergila-gila dengan sosok Yasa Maitreya, seorang celebirty chef terkenal pujaan para kaum hawa di seluruh Indonesia.
“Kalo Mas Sam itu bisa diraih, Mbak. Nyong nggak perlu ngimpi untuk bisa memiliki. Tapi, kalo Chef Yasa ... nyong kudu bersaing sama jutaan perempuan di Indonesia. Lagi juga, nyong takut kalo sama Chef Yasa.”
“Takut kenapa?” sahut Tatjana.
“Lambung saya kan lambung orang desa. Ngeri muntah kalo dijejeli makanan barat."
“Siti ... siti. Kamu bisa aja, sih.”
“Mbak Nana aja deh yang sama Chef Yasa.”
“Iya. Aku mimpi dulu ya, Sit.”
OoO
Di tempat lain, seorang Yasa Maitreya sedang asyik membentuk tubuhnya di sebuah pusat kebugaran ternama di Jakarta. Mendaftar sebagai anggota VVIP club di pusat kebugaran itu memberinya sebuah privilege. Yasa berhak menggunakan private room di setiap kali kunjungannya. Private room hanya diperuntukkan untuk anggota-anggota yang menginginkan kenyamanan berolahraga tanpa adanya gangguan. Sudah bisa dipastikan alat-alat olahraga yang disediakan di provate room pun memiliki kualitas yang jauh berbeda dari alat-alat yang disediakan di ruangan biasa. Ada sebuah kolam renang besar dan ruangan sauna yang bisa dimanfaatkan untuk menyegarkan kembali kebugaran tubuh sehabis berolahraga. Di private room juga disediakan sebuah bar khusus yang menyajikan berbagai macam minuman kesehatan yang bisa membantu meningkatkan massa otot, misalnya.
Tubuh Yasa sudah sangat sempurna. Ada enam kotak berjejer di perutnya. Siapapun berani menjamin bahwa tubuh seorang Yasa Maitreya mampu membuat kaum hawa kesulitan menelan ludah karena saking menggodanya. Rupanya, menjadi anggota VVIP di pusat kebugaran itu tak menjadi jaminan Yasa bisa berolahraga dengan nyaman. Ada saja gangguan yang harus dialaminya. Sejak tahu Yasa berolahraga di pusat kebugaran ini, berbondong-bondong kaum hawa pun ikut mendaftar. Bahkan, beberapa dari mereka rela merogoh kocek sangat dalam untuk bisa berada di satu ruangan yang sama dengan Yasa Maitreya.
“Permisi.” Suara seorang wanita dengan tanktop warna navy memaksa Yasa memperlambat laju langkahnya. Dengan sangat terpaksa Yasa menghentikan langkah kaki di atas threadmill. “Chef Yasa, ya?”
Yasa mengangguk. Dilepasnya sepasang earphone yang sedang memutar lagu favoritnya dari kedua telinganya. “Iya. Saya Yasa. Ada apa, ya?”
“Chef, boleh minta foto bareng?” ucap wanita bertanktop navy itu. Tangannya sudah siap dengan ponsel di genggaman. Wajahnya menaruh harapan besar bahwa Yasa akan menerima permintaan untuk berfoto bersama dengannya. Yasa mengangguk. “Wah, terma kasih banyak ya, Chef.”
Yasa sadar betul gerak-geriknya sangat diawasi semenjak menjadi terkenal. Yasa tak boleh bertindak semaunya. Tak jarang dia harus menahan diri untuk tetap terlihat baik di depan banyak orang, terutama para penggemarnya. Tapi, Yasa juga butuh sebuah hal yang bernama privacy.
Beberapa jepret foto berhasil ditangkap. Yasa menghela napas lega karena dia bisa kembali melanjutkan kegiatan membentuk tubuhnya. Dari kejauhan, sang manajer yang juga ikut didaftarkan menjadi anggota VVIP tak melepaskan pandangannya untuk tetap memantau apa yang dilakukan Yasa. Raditya hanya perlu waspada. Yasa pernah satu kali berbuat onar. Kala itu, Yasa yang baru saja selesai syuting sebuah merk produk perlengkapan dapur ternama diharuskan melayani para penggemar yang terus-menerus datang untuk meminta foto bersamanya. Yasa yang lelah dan kepanasan tiba-tiba kelepasan dalam bertindak. Yasa marah dan membanting meja. Kejadian itu menjadi skandal pertama dalam perjalanan karir seorang Yasa Maitreya. Karena kejadian itu, Yasa dianggap sebagai entertainer pendatang baru yang banyak gaya dan belagu. Yasa mendapat peringatan dari pihak agensi dan juga perusahaan yang mendapuknya sebagai brand ambassador. Perlu beberapa bulan untuk bisa mendapatkan kembali simpati publik.
“Kita masih punya waktu 2 jam lagi. Lo masih mau olahraga atau gimana?” tanya Raditya. Raditya menatap layar ponselnya. Di sana lah di mana dia biasa mencatat seluruh jadwal keseharian Yasa Maitreya.
“Satu jam lagi, ya,” sahut Yasa. Yasa berjalan sambil menngeringkan keringatnya dengan handuk yang baru saja diserahkan Raditya. Tujuan selanjutnya adalah bilik sauna. Yasa pikir, dia perlu mendetoksifikasi racun-racun yang ada di dalam tubuhnya lewat panas yang menyebar di bilik sauna. “Sauna dulu, Dit. Biar lo ikutan glowing.”
Keduanya mengisi satu dari tiga bilik sauna yang disediakan di private room. Yasa sangat menyukai bagian ini. Keringat yang keluar membasahi seluruh tubuhnya membuatnya merasa semakin tampan. Terlebih, bulir-bulir keringat ikut mengucur dari ujung-ujung rambutnya.
“Dit, nanti mampir ke Secret Recipe dulu. Gue mau lunch. Tiba-tiba gue pengen banget makan ravioli di sana,” ucap Yasa. Raditya yang sedang menikmati guyuran hawa panas segera melepas handuk yang menutupi kedua matanya. “Lo kenapa?”
“Lo nggak lagi ngidam, kan?” selidik Raditya. Yasa mengernyitkan keningnya. “Jangan bilang iya. Please. Gue mohon, Bang. Gue udah bosen ngurusin skandal-skandal yang lo buat.”
“Lo ngomong apaan, sih? Lo pikir gue apaan pake segala ngidam,” sahut Yasa.
“Ngidam nggak harus dialami sama ibu hamil doang, Bang. Ngidam juga bisa dialami sama orang yang bikin perempuan bisa sampe hamil. Selama ini, lo selalu pake pengaman kan kalo maen sama cewek-cewek itu?” tanya Raditya. Yasa menjitak kepala raditya. Raditya mengaduh. “Sakit, Bang!”
“Justru mulut lo yang kayak gini yang bisa bikin skandal baru. Lo pikir gue udah gila sampe ngelakuin hal kayak begitu?” ucap Yasa.
“Bisa jadi, Bang. Lo mau membunuh persepsi orang yang selama ini bilang kalo lo tuh gay. Makanya, lo jadiin benih-benih lo itu bayi. Masuk akal kan omongan gue?”
“Udah pernah dicubit belom ginjalnya?” Raditya menggeleng. Yasa tak habis pikir dengan jalan pikiran manajernya saat ini. Yasa memang sebrengsek itu. Sudah banyak perempuan yang menemaninya di ats tempat tidurnya. “Gue cuma lagi pengen makan itu aja, Dit. Beneran. Nggak ada maksud lain.”
Keduanya tiba di restoran yang dimaksud Yasa. Yasa sering berkunjung ke restoran ini. Makanan-makanan yang disajikan di sini sangat sesuai dengan seleranya. Pada dasarnya, Yasa bukanlah seorang yang pemilih perkara makanan. Yasa bisa makan apapun itu dengan sangat lahap kapanpun dia merasa lapar. Bahkan, Yasa akan masuk ke dapur, mengulek beberapa buah cabai rawit jawa dengan satu siung bawang putih dan mengucurinya dengan minyak goreng panas dan menyantapnya dengan nasi putih panas yang diambilnya langsung dari magic com.
Pandangan Yasa tertumbu pada seorang pelayan wanita yang baru pertama kali dilihatnya. Pelayan wanita itu cantik dengan bagian depan dan belakang yang berisi sempurna. Yasa laki-laki normal yang bisa saja merasa terpancing dengan pemandangan yang ada di depan kedua matanya. Terlebih, dua kancing teratas kemeja pelayan itu dibiarkan terbuka yang membuat Yasa ‘diundang’ untuk melihat isi di dalamnya.
“Kamu baru ya di sini?” ucap Yasa dengan nada yang menggoda. “Siapa nama kamu? Sofia?”
“Iya, Pak. Saya baru dua minggu di sini,” jawab si pelayan.
“Saya nggak setua itu sampe kamu harus panggil ‘Bapak’.”
“Maaf, Chef.”
“Nah, itu sedikit lebih baik. Pulang jam berapa nanti, Sofia?” tanya Yasa. Sofia yang masih berdiri di hadapan Yasa dan Raditya tak menjawab. Dia bersiap untuk mencatat pesanan keduanya.
Raditya berdeham. Dehamannya cukup membuat Yasa yang sedang melancarkan aksinya dibuat kesal.
“Kita ke sini mau lunch, kan?” tanya Raditya. “Ini masih terlalu awal untuk cari dessert, Bang.”
Yasa mengerti apa yang baru saja diucapkan Raditya. Yasa menyenggol lengan Raditya. Baiklah, mungkin memang Yasa harus menelan pil kekecewaan. Yasa melepas Sofia setelah mencatat semua pesanan mereka berdua.
“Gue mohon banget sama lo. Please. Kurang-kurangin yang kayak begitu. Lo udah tua. Kita kan nggak tau mereka yang tidur sama lo tuh sehat atau nggak,” ucap Raditya. Yasa mendengkus kesal. “Nggak usah marah. Apa yang gue bilang barusan itu demi lo juga, Bang. Lo itu anak satu-satunya di keluarga lo. Kasian orangtua lo. Udah pada tua. Mereka kan juga mau liat lo berumah tangga. Eh, ini anaknya malah bobok sama cewek-cewek.”
“Dit, gue guyur juga lo,” ancam Yasa dengan mengangkat segelas air putih yang memang sudah disediakan pihak restoran saat mereka baru saja tiba.
“Nggak usah cari yang baru. Yang biasanya aja. Asal, lo pastiin mereka sehat dan lo juga selalu pake pengaman. Semuanya bakalan aman. Ya Allah, dosa banget gue malah ngasih solusi lo buat berzina. Astaghfirullah. Maafin Radit, Ya Allah. Ini semua gara-gara Bang Yasa.”
“Kok gue sih, Dit?” celetuk Yasa. Raditya memicingkan matanya menatap ke arah Yasa.
“Gara-gara lo deh pokoknya. Gue yang murni tak berdosa jadi ikut-ikutan nista. Huh.”
Keduanya makan dengan sangat khidmat seolah tak ingin melewatkan saat-saat paling intim dengan makanan yang sudah dipesan. Yasa tak menyisakan sama sekali ravioli isi krim bayamnya. Piringnya bersih, bahkan sangat bersih. Raditya hampir saja menyisakan sesendok lobster risottonya karena perutnya masih begitu terasa penuh dengan dua gelas besar minuman kaya protein yang sebelumnya dipesannya di bar pusat kebugaran.
“Alhamdulillah. Radit kenyang banget, Ya Allah,” ucap Raditya.
“Dit, gue mual banget deh dengernya.”
“Nggak apa-apa. Derita lo. Bang, jadwal kita bulan depan bakalan padet banget.”
“Yang bikin padet kan lo, Dit,” timpal Yasa.
“Yeeee, kalo nggak gue bikin padet ... lo nggak bakalan tidur berbantalkan uang, Bang. Nggak bisa juga lo beli apartemen super mewah untuk tempat singga biar bisa bobok sama cewek-cewek itu.”
“Eh, si kampret emang bener-bener, ya. Sekalian aja lo pinjem microphone di front office sana.” Yasa segera menutup mulut Raditya dengan kedua telapak tangannya. Yasa tak ingin mulut itu lupa di mana keberadaannya sekarang.
“Duh, maap. Biasa tamat riwayat kita nanti.”
Raditya tak sepenuhnya salah. Bahkan, semua yang diucapkannya benar. Yasa memang gemar menghabiskan malam-malamnya dengan banyak wanita dan berakhir di atas tempat tidur tanpa sehelai benang pun. Yasa tak tahu kenapa dirinya bisa menjadi seperti ini. Pengalaman di masa lalunya yang berperan serta menciptakan Yasa yang saat ini banyak dikenal orang. Yasa yang dulu hanya bisa memberikan hatinya pada seorang wanita yang akhirnya malah tega meninggalkannya dan pergi entah ke mana.