Dirasakan Kim Seo Hyung jantungnya berhenti berdetak selama beberapa detik. Hanya satu kalimat yang diucapkan oleh pengacara Lee dan langsung membunuh mental Kim Seo Hyung dalam seketika.
“Ap- ap-“ Mulut Seo Hyung megap-megap sementara bola matanya terbelalak. Wajahnya perlahan menjadi pucat.
“Iya, Tuan muda. Aku sangat terkejut ketika tiba di tempat ini dan masuk ke dalam ruangan yang kau maksud. Aku bersama asistenku dan kami tidak mendapati rekaman hari ini. Apa Anda yakin, Nona Park tidak tahu kata sandi pintu Anda?”
Untuk sekejap, Kim Seo Hyung memilih untuk tetap diam. Membiarkan rasa sakit kini meremas jantung dan membuat wajahnya berubah menjadi pucat pasi. Sungguh. Tidak ada yang bisa menggambarkan bagaimana perasaan Kim Seo Hyung saat ini.
Ada sesuatu di dalam hati kecilnya merutuki keputusan Kim Seo Hyung yang telah membeberkan satu-satunya barang bukti yang bisa membuatnya keluar dari tempat ini. Sekarang, walaupun satu sisi dalam dirinya mengatakan jika mungkin saja ada konspirasi yang terjadi dan sedang menjeratnya, tetapi ia tetap tak bisa melakukan apa pun.
“Halo, Tuan muda, Anda masih di sana?”
Suara dari pengacara Lee menarik Kim Seo Hyung ke dunia nyata, tetapi bibirnya terlalu keluh untuk berucap. Serasa bumi telah terbelah dua dan menelan Kim Seo Hyung. Ia merasa seluruh pintu telah tertutup sehingga lelaki itu pun menyerah. Ia membanting punggungnya ke sandaran kursi sambil tangannya menaruh gagang telepon.
Polisi di depannya mengerutkan dahi. “Tuan, apakah Anda telah selesai?” tanya lelaki itu. Alih-alih menjawab, Kim Seo Hyung malah memilih untuk menjatuhkan wajah. Ia menunduk dan membiarkan kedua siku tangan menumpu di atas lutut dan lelaki itu menunduk semakin dalam.
“Hah ....” Desahan napas panjang dan berat terus saja dialunkan dari dalam mulutnya.
Seumur hidupnya, Kim Seo Hyung memang tidak pernah terlibat hubungan apa pun dengan seorang wanita. Ia hanya tidak menyangka jika sekali ia bertemu dengan seorang wanita, ia malah terjebak pada situasi yang menyeretnya jauh pada kekacauan yang tak terkendali.
“Menyebalkan!”
***
Kepolisian distrik Gangnam.
10.33 pm
________
Satu jam berlalu sejak Kim Seo Hyung dimasukkan ke dalam sel tahan sementara dan ia sudah pasrah sejak menerima telepon dari pengacaranya.
Kim Seo Hyung tak dapat berpikir lagi soal keluar dari tempat ini. Yang ada dalam pikiran Seo Hyung hanyalah bagaimana ayahnya bisa dengan yakin ingin menikahkan Kim Seo Hyung dengan seorang gadis seperti Park Ahn Lee.
Sungguh, Kim Seo Hyung tak habis pikir. Bisa-bisanya ada manusia seperti Park Ahn Lee. Apa salah Seo Hyung sampai ia tega mempermalukan Kim Soe Hyung. Ini bukan soal mengapa Kim Seo Hyung harus berada di balik jeruji besi. Bukan.
Sejak tadi, Kim Soe Hyung terus berpikir, apa alasan yang membuat seorang gadis dari keluarga terpandang rela melakukan hal sekotor dan sekeji ini. Merekayasa suasana seakan-akan dia dile’cehkan padahal dalam hal ini, Kim Soe Hyung lah yang dile’cehkan.
Lelaki berdarah Kim itu benar-benar tidak mengerti. Bagaimana kehidupannya bisa hancur dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam dan itu semua dikarenakan oleh seorang gadis.
“Cih!” Semua itu membuat Seo Hyung mendecih sinis. Satu sudut bibirnya naik, membentuk senyum kecut. Lelaki itu terus menggelengkan kepalanya merasa tak percaya.
“Tuan Kim.”
Panggilan itu membuat Kim Soe Hyung memutar wajah lalu mendongak. Pandangan pertama yang ditangkap oleh bola matanya adalah seorang pria bersetelan serba hitam. Tentu ia sangat mengenal lelaki itu. Salah satu anak buah ayahnya dan sudah bekerja selama tiga puluh lima tahun menjadi pengawal pribadi untuk ibunya.
Seketika ia bangkit ketika tiba-tiba saja muncul presensi seorang wanita dalam balutan pakaian kasual elegan.
“Seo Hyung ....” Panggilan itu terlalu lirih, membuat siapa pun yang mendengarnya mampu menangkap getaran khawatir yang terlalu besar.
Kedua kaki Kim Seo Hyung bergerak cepat hingga tepat di depan besi dan kedua tangannya langsung melingkari jeruji.
“Kakak, ya Tuhan ....” Kim Sun Yi tak bisa menahan air mata ketika melihat sang kakak berada di dalam kurungan yang dikelilingi oleh besi.
“Ibu, Sun Yi, kenapa kalian ada di sini.”
Ada sesuatu yang membuat hati Seo Hyung mencelos perih. Melihat raut wajah dua wanita yang paling berharga di kehidupannya. Sungguh, Kim Seo Hyung rela menukar apa pun. Ia ikhlas melakukan apa saja asalkan dua wanita ini tak bersedih. Namun, kenyataan selalu membuat Seo Hyung miris dan selalu ironi ketika ia mendapati dirinya sendiri yang membuat ibu dan adiknya bersedih.
“Seo Hyung-ah.” Bibir Song Tae Eul bergetar ketika sekali lagi menyebutkan nama putra sulungnya. Ia menelengkan wajahnya ke samping dan memandang lelaki muda di depannya dengan mata nanar.
Tangan Tae Eul menyelip di antara jeruji hanya untuk membelai wajah putranya dan itu membuat Kim Seo Hyung merasa hatinya berkedut dengan rasa sakit. Demi Tuhan.
“Eomma ....” Lelaki itu bahkan tidak menyadari jika panggilannya barusan sangat lirih walaupun ia berusaha keras menahan air matanya agar tidak berjatuhan keluar.
“Aku tidak melakukannya,” ucap Seo Hyung. Bibirnya bergetar hingga Seo Hyung langsung memilih untuk mengatupkan bibir. Lelaki itu memalingkan wajah lalu mendongak. Ia tak ingin sang ibu melihat kesedihan di wajahnya.
Sementara di depan Seo Hyung, Song Tae Eul ikut mengulum bibirnya kuat-kuat untuk menahan kesedihan yang memaksa dikeluarkan. Wanita itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ibu tahu, Nak,” kata Tae Eul dengan nada lirih. “Ibu tahu anak Ibu tak mungkin melakukan hal sekeji itu. Untuk itu Ibu datang untuk menyeretmu keluar dari sini.”
Ucapan sang ibu membuat Seo Hyung sontak memalingkan wajah. Logikanya berkata bahwa sang ibu hanya berusaha untuk menghiburnya. Ya. Lagi pula tak mungkin Song Tae Eul membawa bukti rekaman CCTV yang nyata-nyata telah hilang.
Song Tae Eul tahu persis jika ia pun sangat tak berdaya. Sehingga wanita itu membanting dahinya ke besi tepat di depan Seo Hyung. Tangisan Song Tae Eul pecah.
“Ibu!” Suara Seo Hyung meninggi. Kim Sun Yi yang berdiri di samping ibunya lantas menghampiri sang ibu kemudian memeluknya dari samping.
Kim Seo Hyung menumpu kedua tangan di depan punggung tangan sang ibu kemudian membungkusnya.
“Ibu, kumohon dengarkan aku.”
Song Tae Eul menggelengkan kepalanya. “Ini tidak benar,” lirihnya. Sekali lagi wanita itu membanting dahinya lalu melakukannya berkali-kali. “ini tidak benar. Ini tidak benar.” Wanita itu menangis tersedu-sedu.
“Ibu ....” Kim Seo Hyung dan adiknya memanggil.
Sun Yi memegang kedua sisi lengan sang ibu dan berusaha menariknya menjauh dari jeruji besi. Usahanya berhasil, akan tetapi ketika Song Tae Eul membalikan tubuhnya, wanita itu melayangkan tatapan membunuh kepada orang-orang berseragam abu-abu yang bekerja di tempat ini.
“ANAKKU TIDAK BERSALAH!” teriak Song Tae Eul. Ia menepis tangan putrinya pada kedua sisi lengannya. Wanita itu melesat menuju meja salah satu polisi. Dengan kedua tangannya, Song Tae Eul menampar meja sambil memberikan tatapan nyalang.
“Keluarkan anakku dari sana!” desis Tae Eul. Wajahnya bergetar bersama dengan telunjuk yang menegas, menunjuk sang putra.
Lelaki yang tengah duduk di atas kursi kerjanya itu lalu menoleh ke belakang. Hanya sudut matanya yang mengintip lewat bahu, kemudian ia kembali dengan raut wajah datar.
“Maaf, Nyonya, kami tidak bisa melakukannya. Ia harus berada di sana selama satu kali dua puluh empat jam sambil menunggu hasil dari tim pe-“ Ucapan lelaki itu terhenti ketika Song Tae Eul kembali menampar meja. Kali ini lebih kuat. Bahkan telapak tangan Song Tae Eul berkedut nyeri, tetapi ia tak peduli. Wanita itu malah memberikan tatapan membunuh kepada lelaki di depannya.
“Anakku tidak akan pernah melakukan hal kotor seperti yang sedang kalian tuduhkan kepadanya. Aku!” – Song Tae Eul menegakkan badan lalu menunjuk da’danya – “aku bersumpah atas nama leluhurku dan atas nama nyawaku sendiri-“
“IBU!” seru Seo Hyung.
Kim Sun Yi memutar wajah. Memandang sang kakak dengan pandangan nanar sebelum kembali menatap ibunya. Air mata gadis muda itu tak mau berhenti berderai membasahi pipinya.
Keduanya sama-sama menyaksikan bagaimana Song Tae Eul menepuk da’danya dengan kuat sebelum berucap dengan nada lantang dan tegas, “Aku bersumpah atas nama nyawaku sendiri bahwa putraku tak akan mungkin melakukan hal sekeji itu. Tidak!”
Polisi yang tengah duduk tersebut lantas membuang napas sambil menundukkan kepala. Ia pun bangkit dari tempat duduknya. Menarik sudut bibir ke atas untuk membentuk senyum simpul. Lelaki itu mendekati Song Tae Eul.
“Nyonya, semua keluarga dari tahanan di tempat ini mengaku bahwa kerabat mereka tak mungkin melakukan kejahatan. Para penjahat juga tak ada yang mau terang-terangan mengakui kejahatan mereka.”
Song Tae Eul memicingkan kedua mata. Menatap lelaki di depannya dengan tatapan tajam sebelum mendesis dengan nada tajam, “Anakku bukan penjahat!”
Sekali lagi pria itu tersenyum. Sebuah gesture yang terlalu kentara mengisyaratkan jika ia tengah meremehkan ucapan Song Tae Eul. Lelaki itu bahkan menyertainya dengan anggukkan kepala.
“Ya, Nyonya. Kami mengerti.” Pria itu memutar pandangan. Melipat kedua tangan di depan da’da sebelum menyandarkan bo’kongnya ke tepi meja.
“Saya juga tahu jika keluarga Kim adalah keluarga terpandang. Disiplin dan bermoral tinggi.”
“Jika sudah tahu begitu, harusnya kau melepaskan putraku!” desis Tae Eul dan membuat lelaki di depannya memutar wajah. Ia menarik satu sudut bibirnya ke atas dan membentuk seringaian.
Sebentar lelaki itu menatap Song Tae Eul dengan seringai tetap bertahan di wajahnya. Namun, sedetik kemudian ekspresi itu berubah menakutkan sesaat ketika lelaki itu berucap, “Namun di mata hukum semua tetap sama.” Lelaki itu memutar wajah menatap pria muda yang sedang menatapnya dari balik jeruji besi.
“Mau anak Anda dari keluarga terpandang yang suci dan tidak bercelah sekalipun, tetap saja,” – Dia menunda ucapannya untuk kembali menatap Song Tae Eul – “hukum Korea Selatan tak pernah memandang buluh. Jika Anda menginginkan putra Anda keluar, maka Anda harus punya alibi yang kuat. Anda bersedia memberikan alibi?”
Seketika Song Tae Eul terdiam. Mulutnya bungkam, sekalipun tatapan matanya seperti singa betina yang siap menerkam lelaki di depannya.
Melihat ekspresi di wajah Song Tae Eul membuat petugas polisi itu mendecih sinis. Ia pun menggelengkan kepala lalu membanting tubuhnya untuk kembali ke kursi kerja.
“Jam besuk sudah berakhir. Silakan tinggalkan tempat ini,” ucap lelaki itu tanpa memandang Song Tae Eul.
Mulut wanita itu terbuka namun tak sepatah kalimat pun terucap. Mulutnya megap-megap. Song Tae Eul lalu berkacak pinggang dan satu tangannya bergerak, mengusap rambutnya hingga ke belakang kepala.
“Hah!” Wanita itu terkekeh sinis. “jadi seperti ini polisi di Korea, hah?!” Song Tae Eul melotot kepada lelaki yang sedang mengacuhkannya itu.
“Angkuh dan sombong, cih!” Tae Eul membuang muka dengan kasar. “pantas saja negara ini tidak memiliki kemajuan.” Lanjutnya.
Merasa diabaikan, Song Tae Eul pun memutar tubuhnya. “YAK!” teriak Tae Eul yang sukses membuat lelaki di depannya mendongakkan wajah. “di mana sopan santunmu, hah? Aku sedang berbicara denganmu!”
Kim Seo Hyung mendecih sinis. Ia memutar tubuh. Mengusap kepala dengan kasar lalu menggeram. Sekejap ia menjadi frustasi. Melihat ibunya berteriak di sana sementara Kim Seo Hyung tahu persis jika semua itu percuma saja.
Petugas polisi itu menghela napas lalu mengembuskannya sambil membawa punggungnya bersandar ke sandaran kursi.
“Nyonya, aku tidak ingin menceramahi Anda, sebab Anda datang dari keluarga terpandang. Namun, aku tetap akan mengingatkan, apabila mungkin dan andai kau lupa bahwa Anda-lah satu-satunya orang yang tidak sopan di sini.”
“Apa?!” desis Tae Eul. Alisnya menukik dan pandangannya menghunus. Namun, lelaki di depannya menanggapinya dengan santai. Sesantai ia memerengut bibir sambil mengedikkan kedua bahu.
“Ya, Nyonya. Kurasa Anda sudah lupa, jadi biar kuingatkan lagi.” Ada jeda pada ucapan lelaki itu ketika ia mendorong tubuhnya untuk sekali lagi bangkit dari tempat duduk. Lelaki itu mendesahkan napasnya dari mulut. Ia maju, memandang Song Tae Eul dengan pandangan penuh intimidasi.
“Apa pun yang kau katakan, sekalipun Anda meneriaki satu per satu manusia di tempat ini, Anda tak akan bisa mengeluarkan putra Anda dari dalam sel terkecuali, Anda membawa bukti bahwa anak Anda tidak bersalah. Namun, jika Anda tak bisa melakukannya, maka sekali lagi aku minta maaf. Mungkin Anda berpikir Anda adalah keluarga terpandang yang bisa melakukan apa pun, tetapi hukum tak akan tunduk pada kekuasaan yang Anda miliki. Jadi daripada berteriak kepada saya, akan lebih baik Anda keluar dari tempat ini dan mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya untuk bisa membebaskan anak Anda.” Lelaki itu mengakhiri ucapannya dengan melempar isyarat mata pada anak buahnya.
Dua lelaki mengangguk dan kompak bangkit dari tempat duduk. Mereka berjalan menghampiri Song Tae Eul dan memegang wanita itu pada kedua sisi lengannya.
“HEY!” Kim Seo Hyung berteriak. Menatap orang-orang itu dengan mata nyalang. Seketika membuat si kepala divisi memutar wajahnya.
“Lepaskan tangan kalian!” desis Seo Hyung. Sungguh, andai ia tak terkurung di tempat sialan ini, Kim Seo Hyung bersumpah akan berlari ke sana lalu membogem wajah dua orang lancang itu.
“Cih!” Decihan sinis itu sekali lagi meluncur dari bibir si penegak hukum. Ia tak mengindahkan ancaman Seo Hyung dan malah mengedikkan kepala menunjuk pintu keluar.
“Ibu ....” Kim Sun Yi berlari bersama pengawal pribadi dari Song Tae Eul. Mereka menyusul wanita itu dan berusaha melepaskan tangannya dari kedua lelaki yang tengah berusaha menyeretnya keluar.
“KIM SEO HYUNG!” teriak Tae Eul. Dia berusaha menggerakkan kepalanya menoleh pada sang putra.
“Ibu ....” Soe Hyung memanggil lirih.
“Ibu akan kembali, Nak. Ibu tak akan membiarkanmu lebih lama di tempat terku’tuk itu. Ibu bersumpah!”
Bibir Seo Hyung bergetar. Air mata telah menggenang di pelupuk matanya. “Ibu ....” Ia hanya bisa melirih. “Argh!” Menggeram sambil menonjok dinding besi.
“Park Ahn Lee sialan!” teriak Seo Hyung. Hidungnya kembang kempis mengembuskan napas yang bergemuruh di da’da.
Rahang lelaki itu mengencang, sekencang kepalan tangan yang telah mengeras pada kedua sisi tubuhnya. Dengan wajah yang bergetar dan mata yang merah oleh amarah, Kim Seo Hyung memandang lelaki yang sedari tadi membuat darahnya mendidih.
Lelaki itu menyeringai dan sambil menggelengkan kepala, ia kembali duduk di kursi kerjanya.
“k*****t!” desis Seo Hyung.
Seberapa pun ia meledak-ledak di dalam sana, tetap saja ia hanya bisa berdiam diri sambil menyaksikan keluarganya dipermalukan. Dan ini sungguh sangat menyebalkan.