PT. Akhza Group Indonesia
Jakarta, Indonesia
08.23 am
________
“Selamat pagi, Bu Jessy.”
“Pagi.” Jessy mempercepat langkah saat melihat pintu lift telah terbuka. Gadis itu masuk terburu-buru ke dalam bilik kecil yang disepuh warna silver tersebut kemudian tangannya bergegas menekan tombol tiga.
Setelahnya, ia pun menoleh pada jam tangan mewah yang melingkari pergelangan tangan kanannya. Jessy berdecak bibir. ‘Pasti dia belum datang,’ gumam gadis itu dalam hatinya.
Dua orang wanita muda yang berdiri di belakang Jessy saling menyikut. Satu dari mereka menggerakkan alisnya menunjuk Jessy yang terlihat begitu gelisah. Ini kali pertama bagi mereka melihat seseorang yang punya pengendalian diri yang tinggi tampak gelisah.
Sekalipun rasa penasaran mereka sangat tinggi, tak ada satu pun dari kedua gadis itu yang siap membuka mulut dan bertanya kepada gadis yang punya jabatan tinggi di perusahaan Akzha Group tersebut.
Terdengar bunyi berdenting ketika lift berhenti. Dengan cepat Jessy melesat keluar dari dalam lift. Berjalan terburu-buru menuju pintu bertuliskan Drafter’s Studio yang telah terbuka menandakan beberapa orang telah berada di dalam kantor.
“Selamat pagi, Bu Jessy,” sapa beberapa pegawai yang sedang menikmati kopi di belakang kubikel mereka. Beberapa orang yang lain sedang bergosip. Tak hanya wanita, tetapi juga dengan pria. Saat melihat Jessy, mereka pun pura-pura memasang senyum.
“Selamat pagi, Bu.”
Jessy hanya mengangguk tanpa membalas sapaan dari bawahannya. Matanya sibuk mengitari ruangan untuk mencari visual seseorang.
“Good morning.”
Perempuan Kusuma itu mendesah saat mendengar suara seorang wanita yang menyapa tepat di depan telinganya. Jessy lalu memutar tubuh. Yang pertama kali ditangkap oleh pandangan sudut matanya adalah senyum seorang gadis dan dengan cepat gadis di belakang Jessy berjalan ke depan.
Saat melihat raut wajah Jessy, gadis itu mengerutkan dahi. “Wow!” gumamnya lengkap dengan gidikan alis.
“Kamu ke ruanganku,” ucap Jessy tanpa basa-basi.
Gadis di depan Jessy mendelik sambil mengangkat kedua bahunya. “What’s problem?” tanya gadis itu.
Jeselyn tak menjawab. Namun, gadis di depannya sempat mendengar suara napas berat yang mendengkus dari hidung Jessy sebelum ia berlalu masuk ke ruangannya.
Amanda memutar bola mata sambil melayangkan kedua tangan ke udara. Pagi yang indah ketika melihat raut wajah sinis dari bosnya. Semua itu menandakan jika sesuatu yang merepotkan akan mengawali pagi harinya sebagai asisten dari arsitek cemerlang tersebut.
Masuk ke dalam ruangan milik Jeselyn, Amanda mengembuskan napas panjang. Sekarang dia paham mengapa wajah bosnya terlihat seperti macan betina yang kandangnya diganggu predator lain.
“Ibu marah karena aku gak nemenin Ibu kemarin?”
Wajah Amanda tampak murung. Sementara Jeselyn menatapnya dengan dahi yang terlipat. Jeselyn berjalan mengitari meja kerjanya lalu menaruh tas kerja di sudut meja sebelum mendaratkan tubuhnya pada kursi kerjanya.
“Ya, itu salah satunya,” ucap Jessy dan Amanda mendesah sambil memalingkan wajah. Ia berdiri di belakang kursi namun tangannya memegang tempat sandaran.
“Aku minta maaf, Bu, tapi beneran kemarin aku hectic banget. Aku dapat kunjungan dari kedua orang tuaku yang datang jauh-jauh dari Surabaya, belum lagi mamaku minta anterin ke mall. Lagian kemarin kan weekend, Bu,” kilahnya.
“Gak bisa gitu. Tugas ya tugas!” tandas Jeselyn.
Manik mata Amanda melebar. “Kan kemarin Ibu juga ngizinin,” kata gadis itu setengah mengeluh.
Jeselyn menunda untuk berucap. Ia menghela napas panjang sambil mencondongkan tubuhnya ke depan. Gadis itu meletakan kedua lengannya di atas meja dan menatap asistennya dengan tatapan serius.
“Kamu yakin aku ngizinin kamu?”
Mulut Amanda terbuka, tapi otaknya menahan Amanda untuk berkata. Tatapan intimidasi Jessy membunuh seluruh keberanian Amanda dan membuatnya tak punya pilihan selain mengembuskan napas panjang. Kedua bahu Amanda merosot. Bibirnya manyun dan ia membanting punggungnya ke belakang.
‘Dasar mak lampir!’ batin Amanda.
“Sebagai hukumannya, kamu harus melakukan sesuatu untukku.”
Gadis batin Jessy menyeringai. Sekarang dia tidak perlu meminta bantuan. Dari ucapan Amanda, Jeselyn pun menemukan sesuatu yang membuatnya tak perlu meminta, tapi memerintah.
‘Hah! Siapa suruh loe buka kedok duluan. Kan jadinya gue bisa nemuin celah buat manfaatin loe. Dasar borderline,’ batin Jeselyn.
Sementara di depannya, Amanda punya pemikiran sendiri. ‘Dasar licik. Pasti dia bakalan nyuruh gue melakukan sesuatu yang bakalan ngerepotin. Dasar ular beludak!’ batin Amanda.
Walaupun hatinya menggerutu, tapi ia tak pernah berani menunjukkannya kepada Jeselyn. Lantas Amanda mendesah pasrah.
“Ya udah, kalo emang aku harus melakukannya sebagai hukuman, aku ikhlas aja deh, Bu.” Amanda menutup ucapannya dengan memanyunkan bibir dan memasang wajah sendu.
“Gak usah dramatis,” kata Jeselyn. Selain memberikan penekanan pada ucapannya, Jeselyn pun memberikan tatapan tidak menyenangkan pada Amanda.
Gadis di depan Jeselyn pun semakin menundukkan kepalanya. Bibirnya semakin memerengut.
“Hiks,” gumam Amanda. “gini amat hidup gue.”
Tidak ada tanggapan dari Jeselyn. Lagi pula semua itu percuma. Jeselyn paling tidak suka menanggapi drama.
“Kamu tolong cariin aku info soal boy group yang bakalan manggung di Jakarta. Terus beliin dua tiket.”
Seketika wajah Amanda terdongak dengan kedua matanya yang terbelalak. Ia pun mencondongkan wajah hingga dadanya menyentuh pinggiran meja.
“Ibu jadi K-pop sekarang?”
Jessy mendengkus lalu memutar bola mata. Dia sudah menyangka jika pertanyaan itu akan keluar dari mulut asistennya, tapi demi kelancaran pencarian yang dilakukan Jessy, ia tak ingin lebih banyak berdebat dengan sang asisten.
“Bukan urusanmu,” jawab Jessy dengan nada ketus.
“Oh my God!” Amanda menepuk kedua pipinya sebelum menariknya ke bawah. “This is real?” tanya gadis itu dengan ekspresi dramatis.
Jessy menatapnya lewat sudut mata. “Gak usah banyak tanya. Lakuin aja. Kalau bisa aku juga mau ketemu manajernya. Oh ya.” Teringat sesuatu, Jessy pun menarik tubuhnya ke depan.
“Kamu tahu gak boy group yang manajernya bernama Choi Sejin?”
Amanda terdiam dan dia mulai menekuk alisnya ke dalam. Jessy kembali mendengkus ketika wanita muda di depannya memicingkan mata dan memberikan pandangan menyelidik.
“Bu, aku beneran terkejut loh. Ibu sampai segitunya hafal manajer XT. Emang Ibu kepincut sama bayi-bayi menggemaskan itu ya?”
Giliran Jessy yang mengerutkan dahi. “Maksudmu apa?” sinis gadis itu.
Mulut Amanda terbuka dan melepaskan napasnya dari sana. Gadis itu lalu membanting punggungnya ke sandaran kursi kemudian melipat kedua tangan di depan d**a. Sempat Jessy menangkap seringai di wajah Amanda yang membuat Jessy kembali mengerutkan keningnya.
“Kamu kenapa sih!”
“Seharusnya kan aku yang nanya gitu, Bu. Ibu kok tiba-tiba banget jadi suka K-pop, udah gitu mau aja beli tiket buat nonton konser. Dan lagi, ngapain Ibu mau ketemu manajer XT?”
“Memangnya ada yang salah dengan itu?!” Jessy memandang asistennya dengan pandangan sinis.
Sementara Amanda memanyunkan bibir sambil mengedikkan kedua bahu. “Eum ... gak ada sih, tapi aneh aja gitu. Kayaknya aku gak pernah liat Ibu tuh ngoloksi barang-barang K-pop. Terus tiba-tiba saja Ibu nyuruh aku beli tiket nonton konser. Agak gimana saja,” ujar Amanda.
Jessy pun mendesah kasar. “Kamu gak perlu nanya hal yang gak penting. Buruan kamu cari informasi tentang boy group itu. Pesenin dua tiket. Dan bagaimana caranya aku harus bertemu sama manajernya. Kalau kamu bisa lakuin itu, kamu akan lolos dari SP.”
Mata Amanda kembali membulat. “Surat peringatan?!” pekiknya rendah.
Jessy pun memerengut bibir sebelum berucap, “Ya iya. Selama ini kamu belum pernah dapat SP dari aku, kan?”
Amanda menggeleng dengan wajah tercengang. “Ya gak mau juga, Bu,” ucapnnya.
“Sudah banyak kali kamu mangkir dari kerjaan dan selalu banyak alasan. Tugas kamu sebagai asisten itu untuk membantu aku. Kamu gak tahu kan apa yang aku alami kemarin?”
Dengan bibir manyun, Amanda menggelengkan kepalanya. Ia pun sedikit menundukkan wajahnya.
Jessy mendesah. Ia merasa tak perlu menceritakan apa yang sudah ia alami kepada asistennya.
“Ya sudah. Kerjakan saja apa yang aku perintahkan dan aku butuh hasilnya hari ini juga.”
“Apa?!” pekik Amanda sekali lagi. “tapi hari ini aku banyak kerjaan, Bu. Belum lagi aku harus nemenin Ibu buat rapat sama tim marketing.”
“Biar aku dan Zacky yang handle. Kamu kerjain apa yang aku suruh aja.”
Amanda mendengkus dan bibirnya pun manyun, tetapi ia harus menganggukkan kepala jika tak ingin mendapat surat peringatan.
Tepat saat itu juga, terdengar suara ketukan pintu.
“Masuk!” seru Jeselyn.
Sedetik kemudian, muncul presensi seorang pria dalam balutan kemeja formal. “Bu, Anda dipanggil Pak Bram,” ucap lelaki itu.
Jessy kembali mendengkus. Ini dia. Gadis itu sudah menunggu saat seperti ini. Lelaki bernama Bram itu harus tahu apa yang terjadi pada Jessy kemarin.
Namun, sebelum beranjak dari dalam ruangannya, Jessy kembali menatap sang asisten. “Jangan lupa ya, Manda. Hari ini. Deadline!”
Masih menundukkan kepala, Amanda menaikkan tatapan. Bibirnya manyun dan wajahnya terlihat kesal, tapi sekali lagi dia menganggukkan kepalanya.
“Baik, Bu,” ucap gadis itu. Dan Jessy pun tak mau membuang waktu. Kedua kakinya bergerak meninggalkan ruang kerjanya.