Chapter 24

1199 Kata
Prang Kling "Ah!" Popy terkaget. "Nyonya." Dua orang pelayan bergegas mendekat ke arah sang nyonya rumah. Gelas yang Popy pegang untuk minum air jatuh tiba - tiba, terjun bebas. "Nyonya Poko, saya akan mengambilkan air untuk Anda minum, jangan mendekat, ini berbahaya, pecahan gelas akan mengenai kaki Anda," ujar pelayan a. Dia cepat - cepat menjauhkan tubuh Popy dari pecahan gelas. Lalu dia mengambilkan air di gelas lain untuk diberikan pada Popy. Sedangkan pelayan b cepat - cepat membersihkan pecahan gelas. "Oh, aku ceroboh. Tidak memegang erat gelasnya," balas Popy. Perempuan 66 tahun itu memijit pelipisnya, "mungkin aku terlalu bahagia karena putriku sudah dalam perjalanan ke sini." Pelayan a tersenyum. "Ya, Nona Muda sudah di dalam perjalanan, mungkin besok Nona Muda sudah tiba," timpal pelayan a. Popy mengangguk, dia menerima gelas air mineral lalu meminumnya. "Ah, sudah jam sembilan malam, aku merasa tidak bisa tidur. Suamiku juga tidak bisa tidur. Aku merasa haus jadi ingin minum air." Popy melihat ke arah pelayan a, "Bisakah kamu membawa seteko air mineral dan dua gelas ke kamarku? Aku kepanasan." "Baik, Nyonya," sahut pelayan a sopan. Popy berdiri dari duduk, pecahan gelas telah dibersihkan oleh pelayan b. Perempuan 66 tahun itu berjalan menuju kamar. Ketika Popy baru memasuki kamar tidur, Ben yang sedang memperhatikan ponsel menoleh ke arah sang istri. "Suara apa tadi?" "Aku tidak sengaja memecahkan gelas, licin," jawab Popy. Popy berjalan mendekat ke arah ranjang. "Ada apa? Dari tadi Ben lihat hp terus." Popy duduk di bibir ranjang. "Mungkin Aini berada di pesawat, jadi hp-nya mati," ujar Ben. Sedari tadi Ben melihat ke arah layar ponselnya, berharap sang putri akan menelepon. Namun, mungkin sang putri dalam perjalanan ke Indonesia, pikir Ben. Popy mengangguk, "Ya." "Aini sudah dalam perjalanan." Popy tersenyum, "Dia sudah janji pada Ayah Ran akan pergi bersama menjenguk makam Bunda Momok." Ben mengangguk. Ayah mertuanya pintar, biarpun sudah tua berjalan dengan tongkat dan tertatih - tatih, namun beliau punya banyak akal untuk memulangkan sang anak secara halus tanpa paksaan. Coba kalau dia yang meminta Aini untuk pulang? Apa bisa? Butuh waktu berbulan - bulan dan banyak kali untuk meyakinkan anaknya itu untuk pulang. Terdengar ketukan di pintu kamar mereka. "Nyonya Popy, ini saya Suli. Air yang Nyonya minta bawakan." "Masuk," pinta Popy. Pintu terbuka, pelayan a yang bernama Suli itu berjalan masuk membawa nampan yang ada sebuah teko kecil dan dua buah gelas berjalan masuk ke kamar Popy. "Letakan saja di atas nakas," ujar Popy. Suli mengangguk mengerti, dia meletakan teko dan gelas di atas nakas.  "Terima kasih," ujar Popy. "Tidak apa - apa, Nyonya. Ini tugas saya," sahut pelayan. Popy tersenyum. "Saya permisi," pamit Suli sopan. Dia berjalan keluar dari kamar sang majikan, tak lupa menutup kamar itu. "Sudah jam setengah sepuluh, aku tidak merasa mengantuk," ujar Popy. Ben meletakan ponselnya di tempat lain lalu meraih tubuh istrinya. "Lakukan hal yang bermanfaat saja, aku juga tidak bisa tidur malam ini."  "Heheheh!" Popy terkekeh geli. Sang suami memposisikan dirinya di bawah, sedangkan Ben berada di atas tubuhnya. "Ben." Panggil Popy pelan. "Hum?" Ben melihat wajah tua sang istri yang menurutnya tak pernah tua. Ya, wajah itu tak pernah terlihat menua di penglihatannya, dan juga di ingatannya. Sejak dia remaja hingga tua, hanya ada bayang - bayang tubuh mungil gadis manis sang istri yang berumur delapan tahun. Bayangan itu menetap permanen di otak dan ingatannya tanpa niat untuk berpindah tempat. Kesan pertama bertemu sang istri tak pernah dia lupakan. Ben bersyukur dia dapat hidup bersama dengan gadis mungil yang tersenyum manis memakai gaun merah marun 58 tahun yang lalu. Tak terasa telah 58 tahun dia bertemu dengan istrinya, mengenal sang istri. "Popy," suara serak Ben. "Hum?" "Tak terasa sudah lima puluh delapan tahun aku bertemu denganmu di Kordoba waktu itu." "Um? Sudah lima puluh delapan tahun yah Ben?" kening Popy berkerut mengingat pertemuan pertama mereka. "Poko kok dah lupa, hehehe." Ben tertawa geli. Mereka sudah tua, sang istri sudah mulai pikun sementara dirinya tak pernah pikun akan kisah cinta mereka. "Dan sudah empat puluh empat tahun kita menikah, hidup bersama, jalani hari tua kita, namun, aku merasa bahwa waktu ini berjalan sangat cepat. Aku ingin waktu menginjak rem lalu berhenti menunggu kita bersama hingga puas diri," ujar Ben. "Hahaha, mana bisa waktu injak rem? Kira mobil?"  "Hahahaah." Ben tertawa geli. Dia mengecup sayang bibir sang istri. Tangan tuanya sudah berkeliaran di gunung kembar istrinya. "Tidak terasa, sudah empat anak yang menyusui ini, namun masih seperti pertama kali aku-" "Eh, perasaan cuma tiga orang anak kita saja deh yang dicici Poko." Potong Popy sambil berpikir. "Hum?" kening Be berkerut, dia mengambil jarak dari wajah sang istri. "Adelio kan dibawa pergi oleh Papa Silvio," ujar Popy mengingatkan Ben.  Ben mengangguk. Jadi, mereka hanya punya tiga orang anak yang hidup tumbuh besar bersama mereka. Satu anak yang merupakan anak nomor tiga itu adalah anak yang sudah direlakan dan diikhlaskan oleh Basri kepada Ruiz. "Ah, tapi waktu itu biar Adelio nggak ada di sini lagi, Poko tetap menyusu," celetuk Popy tiba - tiba. Kening Ben berkerut. "Menyusu siapa?" "Halah, pura - pura nggak ingat segala. Yah nyusu Ben lah." "Hahahaha!" Ben tertawa geli. Ya benar, meskipun Adelio kecil tidak menyusu di Popy tapi ada Adelio besar yang menyusu, dan Adelio besar ini adalah Ayah Adelio. Ben mengecup bibir istrinya, dia mulai membuka kenop baju tidur sang istri. Malam ini sepertinya malam baik bagi mereka. Asik beraksi dan …. Ceklek. Seseorang masuk. "Nenek Poko, Amir merasa tidak bisa tidur malam ini-aakhhhhh! Eyang Ran! Eyang Ran! Nenek Poko diinjak - injak kakek Ben!" "Amir!" "Ah! Bukan! Bukan Nenek Poko diinjak - injak Kakek Ben! Tapi di duduk - duduk Kakek Ben!" "Tolong! Tolong! Tolong!" Teriakan histeris meminta tolong. Tak butuh waktu lama, pintu kamar Popy dan Ben berdatangan banyak bodyguard. "Amir Aji Basri!" Ben hampir serangan jantung. "Cucu laknat!" "Dasar kakek kejam, keji, bengis, sadis!"  Malam yang baik berubah menjadi malam yang apes. °°° Mata Amir menyipit ke arah sang kakek.  Ben merasa bahwa dia telah banyak dirugikan oleh cucunya ini. Sangat banyak dirugikan. Ingin sekali dia mencekik sang cucu, namun sayang sang cucu ini adalah darah daging dari anaknya, anaknya itu adalah darah dagingnya sendiri bersama dengan istri tercinta. Amir sekarang tidur menempati posisi yang biasa Ben tiduri. Popy yang melihat wajah dongkol luar biasa sang suami hanya bisa bersimati saja. "Ben, sudahlah. Amir masih kecil, dia tidak tahu apa - apa mengenai hubungan orang dewasa. Bukan salah dia juga, ini salah kita karena tidak mengunci pintu kamar," ujar Popy. Ben hendak mengambil nanya namun dicegah oleh Amir, "Tidak ada bantal untuk orang kejam. Pergi tidur dengan Adam!" Piw! Wajah Ben memerah menahan dongkol. Cucu ini benar - benar menjengkelkan! Naufal bocah busuk, kenapa kau cetak anak macam model begini! Batin Ben berteriak kesal. "Sudah lah Ben, malam ini pergi tidur dengan Adam saja, yah?" bujuk Popy. Dia tidak mau memperpanjang masalah antara kakek dan cucu. Kakek yang sudah berumur 73 tahun dan cucu yang baru menginjak 2 tahun. Mau taruh di mana wajah nya?  Ben keluar dari kamar tidurnya dengan perasaan kesal luar binasa. "Heum!" dengkus Ben. Para pelayan dan bodyguard yang tadi terlanjur masuk di dalam kamar tuan mereka menahan tawa. Ada - ada saja yang dilakukan oleh tuan kecil mereka. Bibi pengasuh yang telah berumur 60 tahun itu tersenyum geli. Dia dulu adalah pengasuh yang mengasuh Naufal hingga Naufal dan kakek - neneknya bepergian ke luar negeri hingga besar, jadi dia merasa speechless dengan adegan yang baru saja terjadi. Seperti mengulang masa lalunya. Randra yang berada di dalam kamar duduk di meja sambil menatap foto teman sang istri tertawa geli. "Kau lihat itu Moti. Anak, cucu dan cicit kita sangat berperilaku sepertimu. Persis seperti tingkahmu waktu muda." Benar Randra menyentuh gambar bibir sang istri. °°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN