Chapter 6

1519 Kata
Lu Yang keluar dari gedung apartemen Hua Shen milik Shen Mujin dengan mulut komat - kamit seperti sedang membaca mantra untuk mengusir setan.  Dia berlari dari lantai dua puluh ke basement hanya untuk mengambil barang - barang milik Aini yang dicuri oleh bosnya. "Aku siapa? Tuan Shen siapa?" sungut Lu Yang. "Aku asisten dan Tuan Shen adalah bos," ujar Lu Yang. "Di mana lagi dia akan mendapatkan asisten setia seperti diriku? Jawabannya adalah tak ada!" Ponsel pria 32 tahun itu berdering. Lu Yang melihat si penelpon. Baobey Wajah kusut Lu Yang terlihat cerah, dengan gerakan cepat dia mengangkat panggilan. "Bao Bey," ujar lu yang "Malam ini ke apartemenku saja, aku menunggu," balas si penelepon. "Baik baobey," Telepon di tutup. Wajah Lu Yang  terlihat segar bugar seperti baru lahir. Yang menelepon adalah gebetan yang dia harapkan sudah lebih dari sepuluh tahun jomblo. Dia mendapat pencerahan kembali dari sang Dewi Kwan Im. °°° Aini merasa jika dia hidup tambah satu hari lagi maka dia bisa menjadi gila.  Ingin rasanya dia berteriak memaki pria yang bernama Shen Mujin itu, namun sayang kata - kata itu tak bijak, orang tuanya tidak pernah mengajarkannya untuk memaki. Satu hari ini dia punya masalah dengan celana dalam berenda itu.  Masalah datang ketika dia tak punya nomor Shen Mujin. Tak punya nomor pria itu berarti tak bisa menghubungi. Istilahnya. Tak ada maka tak bisa. Kata lain, ada uang ada barang. "Sekarang aku benar - benar menyesali keputusanku untuk menerima kerja sama kampanye ini," tukas Aini tidur di atas tempat tidur lipat. "Kenapa aku dipertemukan dengan orang seperti dia? Pria menyebalkan! Shen Mujin menyebalkan! Shen Mujin menyebalkan! Menyebalkan! Menyebalkan!" Aini mengomel sepanjang malam hingga kantuk melandanya. Setidaknya mantra Shen Mujin menyebalkan itu dapat mengobati sakit hatinya karena kesal yang berlebihan kepada Shen Mujin sepanjang hari. Di tempat lain di jam yang sama. Haciu! Shen Mujin bersin. Sudah sehari ini di bersin tak henti, pasti ada yang menceritakannya. Ah, bukan menceritakannya, tapi menyumpahinya. Pria tiga puluh tahun itu menyipitkan matanya ke arah tumpukan barang milik Aini yang dia bawa lari. "Hahahaha!" Shen Mujin terbahak. Biar gadis YouTuber itu tahu rasa! Batin Shen Mujin berteriak senang. Sebenarnya dia tak ingin melakukan ini, yaitu membawa lari barang - barang milik Aini. Namun, setelah Shen Mujin mendengar ulang lagi rekaman suara yang dia dan Aini bicarakan di dalam tenda, setelah penerjemah menerjemahkan arti dari setiap ucapan Aini dalam bahasa Mandarin, urat Vena Shen Mujin melotot keluar. Slash Shen Mujin keluar dari dalam tenda milik Aini. Pria itu merogoh saku celana kiri depan. Dia berjalan ke arah tendanya lalu menyerahkan rekaman itu pada Lu Yang yang terkantuk - kantuk. "Kamu punya waktu sepuluh menit untuk menghubungi penerjemah bahasa Indonesia. Terjemahkan setiap kata yang keluar dari mulut gadis ini." "Peragakan cara dan ekspresi dia bicara," sambung Shen Mujin. Lu Yang tersentak bangun, dia cepat - cepat menghubungi penerjemah bahasa Indonesia. Untuk sementara, dia hanya bisa menyusahkan kembali penerjemah yang dipecat oleh Shen Mujin. Sepuluh menit kemudian Lu Yang menerima rekaman suara dari sang penerjemah bahasa Indonesia. "Ah, tidak menjawab, aku tahu! Kamu pasti hantu!" "asal kamu tahu, aku kebal terhadap hantu! Aku kuat iman!"  "Bismillahirrahmanirrahim ...."  "Apa yang kamu lakukan?" tanya Shen Mujin, "mungkin kamu sudah terlalu lelah karena seharian ini melayani korban gempa." "Eh??"  "Tentu saja aku sedang berusaha mengusirmu!"  "Kamu sedang baca apa? Apakah membaca ayat suci untuk Buddha?"  "Hah?"  "Apa ayat suci untuk Buddha? Ini adalah ayat suci Alquran! Ayat kursi untuk mengusirmu!"  "Sepertinya itu bukan tulisan Hanzi, itu terlihat berbeda dengan kitab suci yang Lu Yang baca ketika Imlek,"  "Kamu tidak merasa panas?"  "Terasa sejuk,"  "Coba pegang ini biar aku percaya!"  "Bukan tulisan Hanzi, ini tidak mirip dengan kitab suci yang Lu Yang baca." "Oh! Shen Mujin kampret!" "Shen Mujin kampret! Kamu ternyata tidak sebaik yang aku kira." "Apa yang kamu katakan?" kening Shen Mujin berkerut. "Aku katakan tadi kamu memang benar-benar pemimpin yang baik." "Bos, saya sudah menerjemahkan semua yang keluar dari mulut nona Aini," ujar penerjemah di akhir rekaman. Urat vena Shen Mujin di dahi menebal sekitar lima centimeter.  "Aku hantu?" mata Shen Mujin melotot ke arah ponsel Lu Yang yang ada kiriman rekaman suara dari penerjemah. "Penerjemah macam apa ini?"  Jantung Lu Yang seperti akan copot dari tempatnya. "Sudah aku bilang padamu Lu Yang, cari penerjemah yang baru, jangan yang ini!" Aish .... Lu Yang meringis ngeri, bos ini benar - benar marah. "Bos, penerjemah itu adalah orang Indonesia berdarah Tionghoa, jadi dia bisa lancar bahasa Indonesia, semua bahasa gaul dan istilah tak baku dari bahasa Indonesia, dia mengetahuinya," ujar Lu Yang menjelaskan asal - muasal sang penerjemah yang dipecat Shen Mujin. Mata Shen Mujin menyipit, "Kenapa tidak dari dulu kamu bilang padaku?" Aaaiisshh! Lu Yang ingin masuk ke peti mati saja. Mau bilang bagaimana? Bos sendiri terlihat ganas bagai singa. "Telepon bagian pengurusan rumah tangga, beli barang - barang kebutuhan pribadi untuk wanita," ujar Shen Mujin. "Baik, Bos." Lu Yang menyahut. Lalu dia bertanya sesuatu yang dia lupa. "Bos, barang - barang kebutuhan pribadi apa yang akan dibutuhkan oleh Nona Aini?" Wajah Shen Mujin masih terlihat hijau, "Pantai." "???" Wajah Lu Yang penuh dengan tanda tanya. Ingin menanyakan ulang namun ketika melihat wajah hijau sang bos, Lu Yang memilih mundur.  Sebelum Lu Yang menghubungi bagian pengurusan rumah tangga, sebuah perintah tegas dia dengar  "Ambil semua barang - barang nona Aini ke sini!" Slash "Hahahaha!" Shen Mujin terbahak di atas tempat tidur. Menikmati suasana hatinya yang senang, pria bujang berusia 30 tahun itu menutup mata mengarungi alam mimpi. °°° Hari - hari berjalan seperti biasanya, tak ada yang berbeda hari hari sebelumnya. Yang membuat perbedaan adalah wajah keriput berkerut Aini yang sudah satu minggu ini terlihat di mata relawan yang lain. Masalahnya adalah tidak lain dan tidak bukan adalah masalah celana dalam berenda yang membuat hati Aini jijik untuk memakainya. Namun, apa daya, tak ada yang bisa dia pakai, mau meminjam celana dalam di orang lain? Lupakan, itu tak akan pernah terjadi.  Aini bersiap untuk melakukan tugas mulia yang telah dia tekuni selama lebih dari dua tahun, menjadi relawan. Gadis 20 tahun itu mencari di mana ikat rambut yang dia letakan. Setelah mencari beberapa saat, dia tak menemukan wujud ikat rambut. Mata Aini melirik ke arah paper bag, tangan itu meriah paper bag coklat lalu mencari ikat rambut, siapa tahu saja ikat rambut itu bersembunyi di dalam paper bag yang dia pegang. "Nah, ada kan." Tangan Aini meraih barang yang dia perlukan. Aini mengikat rambutnya dengan ikat rambut warna merah itu. "Sudah siap! Aini, semangat untuk hari ini!" Aini menyemangati dirinya sendiri. Setelah itu dia keluar dari tenda dan menyapa orang - orang. Aini sibuk dengan pekerjaannya, kali ini dia ingin menghibur anak - anak korban gempa di tempat pengungsian. Aksi yang dia lakukan menuai banyak perhatian dari yang lain. Orang yang melihat merasa terhibur dengan Aini. Setidaknya anak - anak korban gempa yang kehilangan orang tua dan keluarga dapat sedikit tersenyum. Ketika dia menghibur anak - anak sampai siang, dia tak sadar bahwa dia telah diperhatikan oleh seorang pria. Shen Mujin berjalan berbalik ke arah tenda, "Panggil Nona Aini ke dalam tendaku." "Baik, Bos." Lu Yang mengangguk siap. Shen Mujin baru saja datang ke tempat pengungsian setelah satu minggu dia sibuk dengan urusan perusahaan. Lu Yang mendekat ke arah Aini. "Selamat siang, Nona Aini," sapa Lu Yang. Leher Aini seketika memutar ke samping kanan ketika mendengar suara Lu Yang. Lu Yang memberikan servis senyum manis dan lembut. "Nona, Tuan Shen baru saja datang dari Beijing, beliau memanggil Anda ke tendanya." Aini tersenyum manis, "Baik," sahut Aini. Gadis blasteran Spanyol - Indonesia itu berdiri dari tempat duduk lalu berjalan ke tenda Shen Mujin. Sesampainya di tenda, mulut Aini hendak mengaum, namun dia melihat banyaknya makanan yang ada di atas meja. Ketika Shen Mujin melihat wajah Aini, dia memperbaiki wibawanya sebagai seorang pria dan pemimpin, "Nona Aini, mari makan siang, Anda lelah setelah menghibur anak - anak korban gempa," ujar Shen Mujin. Mata Aini melihat ke wajah Shen Mujin yang terlihat serius. "Tenang, kali ini mereka juga makan makanan yang sama seperti yang akan kita makan," sambung Shen Mujin sambil menunjuk makanan yang berada di atas meja lipat. Setelah mendengar kalimat terakhir Shen Mujin, Aini yang tadinya bersiap mengaum, menangguhkan aumannya. Dia duduk berhadapan dengan Shen Mujin lalu mulai mengambil makanan yang ada. Lu Yang hanya memperhatikan dua orang makan, dia mendengar suara perempuan, "Tuan Lu, ayo makan bersama," ajak Aini. Lu Yang terdiam, dia juga ingin makan, namun bos masih makan di meja yang sama dengan Aini, melangkah mendekat, kepala putus. "Lu Yang, ambil kursi lalu makan." Suara bass merdu terdengar. Lu Yang berpikir mungkin dia sedang berhalusinasi atau akhir - akhir ini dia stres. "Aku tidak mengulangi ucapanku dua kali." Cus! Lu Yang berlomba mengambil kursi lipat. Entah dia berlomba dengan siapa. Mungkin dengan angin. Makan siang tiga orang itu berjalan lancar hingga Aini merasakan bahwa ikat rambutnya longgar. Gadis 20 tahun itu meletakan sumpit lalu mulai memperbaiki rambutnya, hal itu mengundang perhatian dari Shen Mujin dan Lu Yang. Aini membuka ulang ikat rambut merah berenda yang mengikat kepalanya, lalu dia memperbaiki rambutnya. Mata Lu Yang dan Shen Mujin memperhatikan ikat rambut merah berenda Aini. "Itu, apa?" tanya Lu Yang ke arah jemari Aini yang memegang ikat rambut. "Oh, ini?" Aini memperlihatkan ikat rambut itu, "ini adalah salah satu kebutuhan wanita, ikat rambut," ujar ketika Aini menggoyangkan ikat rambut merah itu.  Wujud ikat rambut itu terlihat jelas.  Kening Aini berkerut, dia mendekatkan ikat rambut itu ke arah matanya. Setelah dia teliti baik - baik, itu bukan ikat rambut, namun sebuah kain berbentuk rangka segitiga berenda, istilah lainnya adalah celana dalam atau bahasa kerennya pantyliner. Makanan yang dikunyah oleh Lu Yang kembali jatuh ke mangkuk. Lu Yang membuka lebar mulutnya. Sedangkan Shen Mujin memperhatikan celana dalam merah berenda itu. Mata Aini melotot ke arah Shen Mujin. "Shen Mujin! Ini celana dalam ulahmu!" Auman tidak lagi ditangguhkan. °°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN