Sama-Sama kehilangan

1610 Kata
Zia tidak pernah membayangkan kehilangan sosok ayah. Banyak hal yang ingin dia lakukan bersama sang ayah. Banyak mimpi yang belum tercapai sehingga semua terasa tidak nyata. Pagi-pagi sekali, kira-kira pukul empat dini hari ada 2 orang datang ke rumahnya. Zia cukup mengenalnya karena merupakan rekan kerja sang ayah. Awalnya, Zia kira yang datang adalah sang ayah tapi ternyata tidak. Zia masih bisa tersenyum menyambut kedatangan rekan kerja sang ayah. Walaupun perasaannya sedikit kacau, namun Zia berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja. "Ada apa, Pak?" tanya Zia. Rekan kerja sang ayah tampak bingung. Apalagi wajah mereka terlihat tidak baik-baik saja. Zia kembali bertanya tentang tujuan mereka datang ke rumah dini hari seperti ini. Hal seperti ini baru pertama kali terjadi. "Begini..." Pembicaraan terjeda beberapa saat. Zia semakin tidak tenang. Saat perkataan yang sempat terjeda berlanjut, tubuh Zia langsung kehilangan tenaga. Ia seperti menginjak bumi yang sedang meleleh. "Tidak mungkin," ucap Zia. Ia tidak percaya bahwa sang ayah sudah tidak ada. "Kalian bohong!" Zia kembali bermonolog. Ia berpegang pada kursi yang berada di teras rumah agar tidak jatuh. Keseimbangan tubuhnya menghilang bagai ditelan bumi. 2 orang yang berdiri di depan Zia hanya bisa terdiam. Walaupun mereka juga terpukul dengan kejadian ini, namun Zia lah orang yang paling terpukul dan paling kehilangan. Zia tidak punya siapa-siapa kecuali sang ayah. Ia bahkan tidak pernah berjumpa dengan saudara ayah atau saudara ibunya. Yang Zia tahu, ibunya adalah anak tunggu sedangkan nenek dan kakeknya sudah meninggal sebelum sang ibu menikah. "Zia," panggil Kino dengan suara pelan. Pandangan Zia kosong, bahkan ia tidak merespon panggilan itu sama sekali. "Ayah nggak mungkin pergi, kalian bohong!" Zia langsung masuk ke dalam rumah. Pintu rumah tertutup dengan rapat seakan tidak ada yang bisa masuk walaupun semut sekalipun. "Bagaimana ini?" tanya rekan kerja Pak Indra kepada Kino. Pertanyaan itu tidak bisa dijawab karena Kino juga tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Ia buru-buru datang ke rumah ini tanpa mengganti pakaian karena perasaannya sangat kacau. Zia terduduk sambil bersandar di pintu. Isak tangis tidak bisa ia tahan lagi. Zia benar-benar kacau seakan kehilangan semangat hidup dalam hitungan detik. Lima menit kemudian, Zia kembali membuka pintu. Ia tidak banyak berbicara dan langsung menuju ke mobil yang akan mengantar ke rumah sakit. Sepanjang jalan, Zia hanya bisa menangis. Entah sudah berapa banyak tetes air mata yang keluar. Bayang-bayang sang ayah langsung berputar dalam memorinya. Dia tidak sanggup untuk sekedar menghirup udara karena rasa sesak yang tidak biasa. Jika dulu Zia tidak terlalu mengerti dengan kepergian sang ibu karena masih kecil, maka sekarang sangat berbeda. Rasa sakit ini baru pertama kali Zia rasakan. Bahkan jika pisau menusuk dadanya sekarang maka tidak akan bisa mengalahkan rasa sakit yang Zia rasakan sekarang. Mobil sudah sampai di rumah sakit. Polisi dan pihak damkar terlihat di depan UGD. Zia tidak peduli dengan itu semua. Ia segera menuju ke UGD untuk menemui sang ayah. Zia masih berpikir bahwa semua yang ia dengar beberapa menit yang lalu hanyalah kebohongan semata. Saat Zia datang, beberapa rekan kerja yang berada di dekat jasad Pak Indra segera menjauh. Mereka memberikan akses kepada Zia untuk mendekat dan melihat. Kain sudah menutupi seluruh tubuh sang ayah. Air mata masih mengalir saat Zia mencoba untuk membuka kain tersebut. Tangannya bergetar dengan hebat seakan tidak sanggup untuk melihat apa yang tidak ingin dia lihat. Sedikit lagi, Zia hampir menyentuh kain yang menutupi jasad sang ayah namun tangannya terhenti begitu saja. "Bukan," ucapnya bermonolog sendiri. Zia masih belum bisa menerima kenyataan. Kakinya bahkan mundur beberapa langkah. Semua orang yang ada di ruang UGD termasuk pihak medis menatap Zia dengan raut wajah simpati. Siapa yang bisa menerima kepergian orang yang paling berarti dalam hidup? Sangat sulit, bahkan kenyataan itu seperti bom besar yang meledak dalam hidupnya. Zia berjongkok di lantai dan menenggelamkan wajahnya seakan tidak ingin melihat siapapun. Seorang perempuan yang merupakan rekan kerja sang ayah menghampiri Zia. "Zia," ucapnya lembut sambil menyentuh Zia dengan perlahan-lahan. "Ayah nggak suka kalau Zia seperti ini," lanjutnya lagi. "Ayah nggak mungkin ninggalin aku, Mbak." Zia berbicara dengan diiringi isak tangis. Semakin lama, tangisnya semakin menjadi-jadi. Semua yang ada di sana berusaha menenangkan Zia. Manusia tahu bahwa semua yang bernyawa pasti akan mati. Tapi kehilangan orang-orang yang disayang bukanlah perkara mudah. Zia tidak pernah membayangkan hal ini sebelumnya. Ayahnya tidak sakit, ayahnya selalu tersenyum tapi takdir berkata lain. Walaupun ayahnya tidak sakit, tapi ayahnya pergi karena kecelakaan kerja. Baru tadi pagi Zia bercanda ria dengan sang ayah, baru tadi pagi ayah mencium keningnya dan baru tadi pagi Zia menyentuh hangat tubuh sang ayah tapi sekarang tubuh itu sudah terasa dingin. Bagaimanapun, Zia tidak bisa membiarkan jasad sang ayah tetap berdiam di atas ranjang rumah sakit tanpa dikebumikan. Siap tidak siap, Zia terpaksa harus merelakan segalanya. Jasad yang berwarna hitam karena terkena api panas langsung dibawa pulang ke rumah dengan menggunakan mobil ambulan. Stasiun berita banyak yang memberitakan informasi ini. Bahkan label pahlawan melekat pada kematian ayah Zia. Mati saat menjalankan tugas adalah hal indah. Bagaimanapun ayah Zia berjuang untuk memadamkan api dengan berbagai cara. Bahkan ia tidak takut sama sekali meskipun nyawa yang jadi taruhannya. Selama proses pemakaman, Zia tidak sadarkan diri sebanyak 2 kali. Ia bahkan dilarikan di rumah sakit karena darah rendah. Berhubung ayah Zia adalah orang baik, maka seluruh pemakaman berjalan dengan baik. Orang-orang banyak yang datang membantu. "Ya tuhan, Zia..." seorang perempuan tiba-tiba datang. Zia tidak mengenalnya, ia bahkan tidak memberi respon apa-apa. Tentu saja kedatangan perempuan itu menjadi tanda tanya untuk orang lain. Ternyata perempuan itu bernama Nina, ia mengaku adik kandung dari ayah Zia. Awalnya tidak ada yang percaya, tapi Nina menunjukkan bukti-bukti yang tidak bisa dibantah sama sekali. Pandangan Zia kosong, ia hanya terbaring lemah tanpa ingin melakukan apapun. Setelah dari rumah sakit, Zia diantar pulang ke rumah. Proses pemakaman sudah selesai. Rumah yang awalnya ramai perlahan-lahan mulai sepi. Tentu saja yang ada akan pulang ke rumah mereka masing-masing. Nina menceritakan kisah dramatis dimana ia berpisah dengan ayah Zia. Sudah lima belas tahun berpisah dan Nina malah mendengar kabar kematian dari televisi. Oleh karena itu, Nina yang berada jauh langsung terbang menuju kota ini. Semua yang mendengar kisah Nina merasa sedih, apalagi Nina menangis terisak-isak. Setidaknya orang-orang lega karena masih ada saudara Zia yang hidup. Zia masih terpukul, mentalnya terguncang sehingga harus ada orang yang benar-benar memperhatikan dirinya dengan sangat baik. Bila perlu, Zia membutuhkan bantuan medis agar bisa mengendalikan diri sendiri. *** Sudah 2 hari Agam tidak sadarkan diri karena luka dalam pada tubuhnya. Kondisi Agam benar-benar mengkhawatirkan bahkan beberapa kali ia mengalami kondisi kritis. Saat membuka mata, Agam tidak melihat siapapun. Kamarnya kosong seperti tidak ada kehidupan kecuali bunyi mesin EKG. Namun tidak lama setelah itu, beberapa orang berbaju putih datang menghampirinya. Salah satu memanggil namanya dan Agam memberi respon yang diperlukan. Awalnya Agam lupa kenapa tubuhnya tidak leluasa untuk bergerak, bahkan ada beberapa titik pada tubuhnya terasa sakit. Tapi beberapa detik kemudian, Agam ingat apa yang sudah menimpa dirinya. Hal pertama yang Agam lakukan setelah membuka mata adalah mencari keberadaan Mama dan Papanya. Mereka tidak mungkin mengacuhkan Agam hanya karena pekerjaan. Selama ini, jika Agam sakit bahkan hanya sakit ringan tetapi kedua orang tuanya sudah panik luar biasa. "Mama?" panggil Agam dengan suara pelan. Ia kira sang Mama atau Papa yang akan masuk ke dalam ruangan, tapi perkiraan itu salah besar. Sosok yang masuk adalah dosen yang lumayan dekat dengan Agam di kampus. Raut wajah penuh kelegaan terlihat jelas dari wajah dosen yang bernama Bayu. "Agam," panggil Pak Bayu dengan mata berkaca-kaca. Agam kembali bertanya kemana kedua orang tuanya. Tentu saja Pak Bayu kebingungan, ia berusaha mengalihkan pembicaraan agar Agam bisa lebih tenang. Kondisi Agam sudah jauh membaik walaupun ia masih harus dirawat beberapa hari untuk pemantauan lebih lanjut. "Mama sama Papa dimana, Pak?" Agam merasa ada yang tidak beres. Dia bukan orang yang bodoh dalam memahami situasi. "Kamu tenang dulu, semua baik-baik saja." Pak Bayu terpaksa berbohong agar Agam tidak bertindak yang dapat membahayakan tubuhnya. "Bapak tidak bohong?" "Tidak Agam, semua baik-baik saja. Mama dan Papa kamu tidak bisa meninggalkan pekerjaan penting." Lagi dan lagi, Pak Bayu menambah kebohongan. Jelas saja hal ini salah besar, namun Pak Bayu seakan tidak punya pilihan lain. Perasaan Agam menjadi lebih baik. Saat obat masuk, ia perlahan-lahan mulai kembali tenang. Pak Bayu bertanya banyak hal kepada dokter terkait kondisi Agam. Walaupun mereka tidak memiliki hubungan apa-apa, namun Agam sudah seperti anak sendiri. Apalagi Pak Bayu mengenal Mama Agam karena mereka berteman saat kuliah. Saat berkonsultasi, dokter menyarankan agar Agam didampingi psikiater agar emosinya dapat terkontrol dengan baik. Pak Bayu tidak bisa menyembunyikan fakta terlalu lama karena itu akan berpengaruh besar pada Agam. Keesokan harinya, Agam sudah bisa makan dan berjalan-jalan pelan. Ia berharap Mama dan Papa datang ke rumah sakit, tapi sampai detik ini tidak tanda-tanda kehadiran mereka berdua. Tentu saja hati kecil Agam merasa sedih. Hal mengejutkan terjadi saat Agam berjalan keluar ruangan. Padahal Pak Bayu sudah mengantisipasi agar Agam tidak melihat segala macam media informasi. Tetapi semua itu tidak berjalan mulus. Pak Bayu mungkin bisa saja memblok media informasi di kamar rawat Agam namun tidak dengan tempat yang lain. Langkah Agam terhenti dengan sendirinya, ia melihat berita yang ada di televisi. "Nggak mungkin," ucapnya sambil menggeleng. Infus yang berada di tangan sudah lepas dan mengeluarkan darah. Agam tidak merasa sakit sama sekali. Ia mendekat ke arah televisi dan mengambil remot yang berada di atas meja kecil. Agam memindahkan channel televisi untuk menolak berita tersebut. Tapi siapa sangka jika berita tentang orang tua Agam menjadi berita terpanas sehingga muncul dimana-mana. Saat itu juga, Agam hancur. Bagaimana tidak, media mengatakan kedua orang tua Agam meninggal karena bunuh diri dengan membakar ruang penelitian. Polisi menduga jika bunuh diri ini dikarenakan Papa Agam terjerat kasus korupsi dana penelitian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN