BAB 3

3055 Kata
“Nah, udah beres,” kata Rendra. Ia selesai merapikan rambutnya Asha. Pipi Asha tiba-tiba bersemu merah. “Makasih.” “Sama-sama,” balas Rendra seraya tersenyum lalu memalingkan wajahnya menghadap pantai. Sedangkan Asha, ia kembali menggambar sketsanya yang tadi sempat tertunda. “Gue baru banget datang kesini padahal gue sering ke Bali,” cerita Asha. “Emang lo biasanya kemana aja selama di Bali?” “Di rumah atau jalan-jalan di sekitarnya.” “Sayang banget, lo cuma diem di rumah terus.” Asha tersenyum getir. “Karena gak ada yang ajak gue keluar, jadi gue suka kok di rumah.” “Gak ada temen lo gitu yang ngajak?” “Gue... gak ada temen disini.” “Kalau temen lo di Jakarta?” “Gue gak pernah ijinin dia buat ikut gue kesini,” jawab Asha sambil berusaha fokus dengan gambarnya. Rendra mengurungkan pertanyaannya dan hanya menjawab, “Oh....” Matahari makin merangkak naik ke atas seiring dengan berjalannya waktu. Rendra melihat jam yang melingkar di tangannya. “Gue pergi dulu ya, mau ngurusin buat makan siang,” pamit Rendra. “Oke.” Rendra pergi meninggalkan Asha sendirian dan pada saat itu air mata meluncur dari pelupuk matanya. Sadar dirinya menangis, ia segera mengelap air matanya dengan tangannya lalu lanjut menggambar kembali. Sekitar pukul dua belas Asha mendapatkan pesan dari Rendra bahwa makan siang sudah siap, ia diminta untuk segera datang ke sebuah restoran. Selesai membaca pesan itu, Asha memasukkan buku sketsa dan pensilnya ke dalam tas lalu bangkit dari duduknya. Ia menepuk-nepuk celananya agar pasir tidak menempel di pakaiannya. Asha berjalan mencari sebuah restoran yang disebutkan oleh Rendra tadi. beberapa menit kemudian ia menemukan restoran tersebut. Restoran itu berada di pinggir pantai. Asha masuk ke dalam restoran, ia mencari-cari dimana peserta tour yang lainnya berada lalu ketika Asha sedang sibuk melihat-lihat seseorang menepuk bahunya pelan. “Mbak, peserta tour Wedanta juga ya?” tanya seorang ibu yang waktu itu duduk di sampingnya ketika berada di dalam bus. “Iya, Bu,” jawab Asha sambil tersenyum. “Oh, kalau begitu ayo yang lain udah kumpul semua,” ajak ibu itu kepada Asha. Asha mengikuti ibu tadi yang berjalan ke arah kiri tempat dimana ada beberapa meja yang disediakan dan semuanya sudah berkumpul disana. Ibu itu berjalan ke tempat duduknya bersama suami dan anaknya, sedangkan Asha ia sedang mencari tempat yang kosong dan ia menemukannya di sebelah Rendra. Asha terseyum senang lalu berjalan ke arah kursi tersebut. “Permisi, boleh saya duduk disini?” tanya Asha yang sampai di meja paling ujung. Di meja tersebut sudah terisi oleh lima orang dan hanya menyisakan satu kursi kosong lagi. Yang satu sudah diisi oleh rendra dan empat bkursi lainnya sudah diisi oleh dua pasang kekasih. “Boleh, Mbak,” jawab salah satu diantara mereka. “Terima kasih.” Asha segera duduk di kursi tersebut lalu melepaskan tasnya dan menyimpannya di pangkuan. “Silakan dimakan, Mbak.” “Oh iya.” Asha mulai menyantap makanannya begitu pun dengan yang lainnya. Suasananya sangat canggung membuat Asha ragu-ragu untuk mulai mengajak ngobrol terlebih dulu, mungkin juga karena ini masih hari pertama jadi belum terlalu akrab. Waktu makan siang sudah habis ketika Asha baru saja menghabiskan minumannya. Satu-persatu sepasang kekasih itu pamit pergi duluan untuk menikmati wahana yang lainnya, sedangkan Asha ia memilih tetap di restoran ini untuk melihat interior desain yang menarik perhatiannya daritadi. “Lo gak keluar?” tanya Rendra yang melihat Asha masih memainkan ponselnya. “Nanti, gue mau disini dulu sebentar,” jawab Asha. “Oke, kalau gitu gue duluan ya.” “Hm.” Setelah Rendra pergi, Asha memakai tasnya kembali kemudian bangkit dari duduknya. Ia berjalan menyusuri restoran tersebut, untung saja ini bukan weekend yang bisa saja banyak pengunjung yang datang kesini. Asha mengeluarkan ponsel lalu mefoto semua elemen desain yang cantik. Puas dengan melihat hal tersebut, Asha memutuskan untuk segera pergi dari restoran. Ia berjalan di pinggir pantai sambil memeikirkan bagaimana caranya ia bisa mendekati Rendra. Ketika di jalan, i a merasa haus kembali lalu ia pun pergi ke penjual es kelapa yang berada tak jauh dari tempat ia berdiri saat ini. Ada berbagai menu yang dijual dan Asha ingin mencoba minum Es Tambring. “Bu, Es Tambringnya satu ya,” pesan Asha kepada ibu penjual itu. Ibu itu dengan cekatan menyiapkan pesanan Asha dan beberapa menit kemudian ia menyuguhkannya ke hadapan Asha. “Ini. Mbak.” “Terima kasih,” ucap Asha. Ketika ibu itu akan berbalik, seseorang memesan es kelapa. “Bu es kelapa satu ya,” ucap Rendra yang baru saja datang dan langsung duduk di sebelah Asha tanpa menyadarinya. Sembari menunggu pesanannya datang, Rendra memilih mengeluarkan buku yang ada di dalam tas untuk ia baca sekarang. Masih belum menyadari keberadaan Asha, Rendra sangat fokus dengan kegiatan membacanya. “Rendra?” sapa Asha ketika ia tidak dihiraukan oleh Rendra. Rendra menoleh ketika seseorang memanggil namanya. “Kok ada lo Sha disini?” “Gue daritadi disini, Ren. Lo nya aja yang gak nyadar.” “Oh....” Rendra terkekeh pelan meminta maaf. “Ini es kelapanya, Mas.” Ibu itu menyodorkan es kelapa dan segera disambut oleh tangan Rendra. “Terima kasih, Bu.” “Oh iya, jam dua kita ke Garuda Wisnu Kencana ya?” tanya Asha. “Mm-hmm. Bentar lagi kita berangkat.” “Kok cepet banget ya.” “Waktu makin kesini makin cepet, jadi manfaatin waktu sebaik-baiknya deh.” “Kalau waktu emang makin cepet, apa bisa waktu diputar balik secepet waktu sekarang?” gumam Asha pelan kepada dirinya sendiri. “Kenapa? Tadi gue gak denger,” kata Rendra. “Nggak ada apa-apa. Gue tadi gak ngomong kok.” “Oh oke.” Rendra mengedikkan bahunya dan melanjutkan meminum air kelapa. Kini minuman Asha dan Rendra sudah habis. Rendra melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul dua kurang lima belas menit. Ia mengirim pesan di grup yang dibuatnya agar para peserta segera berkumpul di tempat pertama kali mereka datang. “Yuk,” ajak Rendra. Asha mengangguk lalu berjalan mengikuti Rendra. ia berusaha menyamai langkah Rendra agar ia bisa berjalan di sampingnnya. Tak jauh tempat tadi pertama kumpul, mereka berdua akhirnya sampai. Asha segera masuk ke dalam bus, sedangkan Rendra menunggu peserta yang lain. Asha duduk di tempat yang tadi ia berangkat lalu mengeluarkan ponsel dan melihat-lihat hasil fotonya tadi. Ia menghapus foto yang menurutnya kurang bagus dan menyimpan foto yang menurutnya bagus. Asha melihat satu-persatu peserta tour mulai masuk ke dalam bus begitu jugan dengan Rendra yang masuk paling belakang. “Baik semuanya, kita sekarang akan menuju Garuda Wisnu Kencana. Apa kalian pernah dengar atau pernah kesana?” tanya Rendra yang berdiri di depan. “Belum,” jawab para peserta serentak. “Garuda Wisnu Kencana merupakan area taman wisata budaya yang berada di ketinggian sekitar 146 meter di atas permukaan tanah atau 263 meter di atas permukaan laut. Di kawasan itu ada Patung Garuda tepat di belakang Wisnu Plaza, saat ini, Garuda Plaza menjadi titik fokus dari sebuah lorong besar pilar berukir batu kapur yang mencakup lebih dari 4000 meter persegi luas ruang terbuka yaitu Lotus Pond. Ada beberapa tempat rekreasi di tempat ini yaitu, Wisnu Plaza, Strees Theater, Lotus Pund, Indraloka Garden, Amphitheatre, dan Tirta Agung.” “Sampai sini ada yang ingin ditanyakan?” tanya Rendra ketika ia selesai menjelaskan secara padat. Tidak ada seorang pun yang bertanya maka Rendra mengakhirinya. “Kalau begitu sampai sini penjelasan saya, jika ada yang ingin ditanyakan anda bisa bertanya kepada saya atau tim. Terima kasih dan selamat berlibur.” Rendra menyimpan kembali mic-nya ke tempat semula lalu berjalan ke kursi belakang. Rendra akhirnya duduk di kursinya lalu mengeluarkan ponselnya menghubungi seseorang tapi tidak diangkat. Beberapa kali ia menelepon dan tidak ada jawaban, akhirnya ia menyimpan kembali ponselnya ke saku celana. Rendra menoleh ke sisi kanan dan mendapati Asha yang sedang tertidur dengan kepala yang menyender ke jendela. Sebagian rambutnya menutupi wajahnya yang akhirnya tanpa sadar Rendra merapikan rambut Asha. Suasana di bus sangat sepi hanya ada suara deru mesin yang terdengar. Para peserta tertidur lelap mungkin karena kelelahan sehabis bermain berbagai macam watersport tadi. rendra menikmati suasana tersebut dengan melihat pemandang yang dilalui oleh bus mereka dari balik jendela. Beberapa menit kemudian, bus mereka sampai di Garuda Wisnu Kencana, para peserta tour turun terlebih dulu setelah itu bus akan parkir di tempat parkir yang telah disediakan. Seperti biasa titik perkumpulan sama dengan titi kedatangan tadi. peserta tour mulai berpencar kembali begitu juga dengan Asha yang segera ingin berjalan-jalan melihat patung-patung “Wah, bagus banget patungnya,” kagum Asha ketika melihat salah satu patung besar yang berada tepat di depannya. Asha mengeluarkan kamera di tasnya lalu memotret patung tersebut. Ia juga beberapa kali memotretnya dengan berbagai angle agar terlihat lebih bagus. Setelah selesai memotret patung tersebut, Asha mulai berkeliling kembali dan sampailah ia di sebuah ampitheatre. Asha duduk di tangga berundak itu dan menikmati pemandangan di sekitarnya. Ia bersenandung pelan sambil mengetuk-ngetukkan kakinya. Suasananya sangat tenang, hanya ada beberapa orang yang melewati tempat ini karena orang-orang sedang melihat pertunjukkan yang lain di tempat yang lain. Asha sengaja tidak melihat pertunjukkan itu karena ia ingin mendapatkan ketenangan dari tempat ini barang sejenak. “Tenang banget disini,” gumam Asha seraya tangannya disimpan di ke dua sisi tubuhnya. Cukup puas menikmati pemandangan dan suasana itu, Asha berdiri lalu lanjut berjalan ke tempat yang lain. Beberapa kali ia berpapasan dengan peserta tour yang lain dan menyapanya, akhirnya ia sampai di tempat yang ada pilar-pilar besar tinggi dan di tengahnya ada patung. Asha berjalan ke arah situ dan menemukan Rendra sedang ada disana. “Rendra?” Rendra menoleh. “Ya?” “Boleh tolong fotoin gue?” tanya Asha ragu. “Boleh.” Asha menyerahkan kameranya dan segera diterima oleh Rendra. Asha berjalan ke tempat yang ia inginkan yaitu ia berpose di antara pilar-pilar dan tepat sejajar dengan patung tersebut di tengah-tengah. Rendra mulai memotret Asha yang beberapa kali berpose. Dirasa cukup memotret, Asha berjalan menghampiri Rendra. “Gimana? Bagus?” tanya Asha. “As always,” jawab Rendra. “Kayaknya gue bakalan jadi tukang foto deh di liburan kali ini.” Asha tertawa dengan sindiran Rendra tersebut. “Kalau gitu lo siap-siap aja ya.” “Kalau gue gak siap?” “Ya, lo harus siap.” “Lihat nanti aja kalau gitu.” “Oke deh, thank’s ya, udah mau motoin gue,” ucap Asha tulus. “Sama-sama. Perasaan lo ngomong makasih terus deh.” “Ya gak apa-apa. Gue selalu berusaha untuk menghargai setiap kerja keras orang lain.” “Good girl banget lo ya.” Rendra tertawa. “Gue emang good girl, Ren. Gak pernah macem-macem.” “Masa?” tanya Rendra tak percaya. Asha menganggukan kepalanya. “Iya, beneran.” Rendra maju perlahan mendekati Asha dengan jaraknya dan Asha yang semakin dekat membuat Asha berjalan mundur agar tidak terlalu dekat dengan Rendra. Ketika Asha ingin mundur kembali, ia menabrak pilar yang ada dibelakang saat ini dan posisi Rendra yang sangat dekat dengannya. Asha berusaha agar tidak goyah menatap mata Rendra yang terlihat coklat keemasan seperti madu ketika dilihat dari jarak dekat seperti ini. Jantungnya berdetak sangat cepat dan ia berharap agar Rendra tidak mendengar suara detaknya. Tangan di kedua sisinya ia kepalkan ketika Rendra semakin memajukan wajahnya ke arahnya. “Lo... ada sesuatu di rambut lo,” ucap Rendra dengan suara serak. “Oh?” “Nih, lihat.” Rendra memberikan selembar daun yang tadi berada di helaian rambut Asha. “Oh hahahahaha.” Asha tertawa garing sambil mengambil daun itu dari tangan Rendra. “Kenapa?” “Lo bikin gue kaget.” “Lo mikir yang macem-macem ya?” tanya Rendra dengan penuh selidik. “Nggak lah.” “Lo bohong.” “Nggak.” “Mata lo daritadi lihat ke atas kiri terus.” “Gue lagi mikir.” Rendra menaikkan sebelah alisnya sambil tersenyum. “Mikir apa?” Asha yang merasa disudutkan berusaha untuk mengalihan pembicaraan. “Udah ah, yuk balik ke titik kumpul, sebentar lagi udah mau jam enam.” Rendra terkekeh melihat tingkah Asha yang kini sudah berjalan terlebih dulu meninggalkannya. Ia pun berjalan mengikuti Asha seraya melihat-lihat pemandangan yang ada di sisi kanan dan kirinya. Tepat pukul enam, bus yang membawa peserta tour pergi meninggalkan GWK. Destinasi selanjutnya mereka akan menuju ke Pura Uluwatu. Tiba disana mereka langsung menyaksikan Tari Kecak yang sekarang sedang tampil. Asha duduk di tangga berundak untuk melihat lebih jelas tarian tradisional itu. Tempat ini merupakan ampitheatre yaitu tempat berbentuk lingkaran dengan area tengah yang luas dan dikelilingi oleh tangga-tangga berundak. Para penari melakukan penampilan mereka di tengah-tengah dan penonton dapat duduk di tangga berundak itu. Asha duduk di urutan ketiga dari dekat penari. Untung saja ini bukan weekend jadi jumlah penonton tidak lebih dari seribu orang dan tempat pun terasa lebih leluasa. Lagi, Asha mengeluarkan kameranya, ia memfoto pertunjukan itu dan suasana yang kini langit sudah mulai gelap. Seorang anak kecil berumur sekitar tujuh tahun menepuk-nepuk paha Asha. Asha yang merasakan sesuatu sontak menoleh ke sampingnya. “Iya, Dek, kenapa?” “Boleh fotoin kita gak, Kak?” tanya anak kecil itu. Di sampingnya ada seorang ibu yang juga sedang menatap Asha. “Boleh,” jawab Asha sambil tersenyum. Anak itu memberikan ponsel yang lumayan jadul kepada Asha dan Asha pun segera menerimanya. Ia mulai memfoto anak dan ibu itu dengan latar belakang orang-orang dan penari kecak. Selesai memfoto Asha mengembalikan ponsel anak itu. “Sebentar, boleh saya foto lagi pakai kamera saya?” tanya Asha. “Boleh, Kak.” Pemandangan yang ada di depan Asha yang melihat anak dan ibu itu terlihat bahagia membuat hati Asha teriris. “Saya minta alamat kamu, boleh gak?” tanya Asha ketika ia selesai memotret mereka berdua. “Buat apa, Kak?” tanya anak itu waspada. “Nanti saya akan kirim foto ini ke alamat kamu atau kamu punya email?” “Saya gak punya email, Kak, kalau gitu saya tulis di kertas ya, Kak alamat saya,” jawab anak itu sembari mengeluarkan kertas kecil dan pensil yang ada di dalam tas kecilnya. Asha mengangguk pelan menunggu anak itu selesai menulis di kertasnya. “Ini, Kak.” Anak itu memberikan kertasnya kepada Asha. “Makasih ya, Dek.” “Sama-sama.” Tak terasa pertunjukan sudah selesai ketika jarum jam tepat di angka tujuh. Penonton mulai pergi dari tempat itu begitu juga dengan sepasang anak dan ibu tadi yang duduk di sebelah Asha. Asha masih berada di tempatnya, duduk melihat para penari kecak itu membereskan semua propertinya. Ia menyugar rambutnya yang menutupi wajahnya ketika angin berhembus. Rendra yang berjalan melewati ampitheatre itu melihat Asha duduk sendirian di tangga. Ia pun menghampiri Asha. “Lo masih disini?” Asha menoleh mendengar seseorang bertanya kepadanya. “Iya, lagi asyik aja lihatin mereka.” Rendra melihat jam di tangannya. “Udah jam tujuh, ayo balik ke titik kumpul.” Asha mengangguk lalu berdiri dan mengikuti Rendra. Asha berjalan di belakang Rendra seraya terus melihat punggung Rendra yang kekar mulai menjauh darinya seiring mereka berjalan. Tiba-tiba Asha merasakan menubruk sesuatu yang sangat keras di depannya. “Aduh,” rintih Asha sambil mengusap-usap dahinya. Rendra berbalik. “Lo jalan sambil ngelamun ya? sampai nabrak punggung gue?” Asha yang menyadari ia telah menubruk punggung Rendra meringis. “Maaf.” Bus datang menghampiri mereka dan peserta mulai naik ke dalam bus. Setelah semuanya naik, bus pun berjalan meninggalkan Pura Uluwatu. Asha yang sudah duduk di kursinya melihat perjalanan berikutnya dan selesai dari sini mereka akan pergi untuk makan malam dan setelah itu kembali ke hotel. Mereka sampai di sebuah restoran, seperti biasa mereka akan makan berkelompok dengan peserta yang lainnya. Malam ini bagi Asha tidak terlalu canggung seperti makan siang tadi, mereka sudah mulai membaur dan Asha pun banyak mengobrol dengan mereka. Saat ini Asha duduk terpisah jauh dengan Rendra jadi ia tidak bisa melihatnya dari dekat. Sesekali Asha mencuri pandang ke arah Rendra. Selesai makan, salah satu perempuan yang satu meja dengan Asha mengajak mereka untuk foto bersama menggunakan ponselnya. Asha pun dengan ceria ikut berfoto, mereka melakukan berbagai gaya. Orang-orang yang satu meja dengannya mungkin berumuran sekitar dua puluhan. Puas melakukan berbagai gaya, akhirnya mereka memutuskan untuk mengakhiri sesi foto bersamanya. Mereka saling bertukar nomor ponsel mereka agar mudah untuk mengirim foto tadi. “Yuk keluar, kayaknya busnya udah dateng deh peserta yang lain juga udah mulai keluar,” kata sseorang perempuan yang berambut hitam legam. “Ya udah yuk.” Mereka pun keluar dari restoran dan segera masuk ke dalam bus. Bus melaju cepat menuju hotel. asha menyandarkan kepalanya ke kursi, ia memandang ke luar jendela. Pikirannya melayang-layang, berlari kesana kemari tidak ada habisnya dan terasa penuh. Dilihatnya suasana bus yang sepi tak ada yang bersuara. Mungkin mereka tidur, pikir Asha. Diliriknya juga ke sampingnya, ia melihat Rendra yang sedang fokus membaca buku. Asha memalngkan wajahnya kembali ke arah jendela. Perlahan tangannya terangkat mengarah ke arah jendela seakan-akan ia ingin meraba sesuatu. Beberapa menit kemudian bus sampai di hotel, peserta tour turun dari bus mereka segera masuk ke hotel agar bisa cepat beristirahat. Asha menaiki lift seorang diri selagi menunggu liftnya sampai di lantai tempat kamarnya berada, Asha melihat-lihat hasil fotonya yang berada di kameranya. Banyak pemandangan dan barang-barang yang difoto oleh Asha mulai dari sunrise, patung, lampu gantung yang ada di restoran, patung, dan foto dirinya. Mungkin selama disini, memorinya akan terisi penuh oleh foto yang diambilnya. Lift terbuka, Asha keluar dari lift lalu berjalan ke kamarnya. Ia menempelkan kartu di pintu lalu masuk ke dalam kamar. Asha menyimpan barang-barangnya di atas meja lalu berjalan mengambil baju tidur yang ada di kopernya kemudian masuk ke kamar mandi. *** Malam ini dilalui Asha dengan tidak bermimpi buruk. Paginya, Asha terlihat segar ketika ia bangun tidur sekitar pukul tujuh. “Ah, seger banget,” ucap Asha serak sambil menggeliat. “Jalan-jalan ke luar ah.” Asha segera ke kamar mandi, ia menggosok gigi dan mencuci mukanya setelah selesai Asha merapikan rambutnya dan menguncirnya. Ia keluar dari kamar mandi lalu memakai sandal dan keluar dari kamar. Ketika keluar dari kamar Asha melihat Rendra yang keluar juga dari kamarnya. “Pagi,” sapa Asha kepada Rendra. “Pagi,” balas Rendra. “Mau keluar ya?” tanya Asha. “Iya, nih.” “Mau bareng gak? Gue butuh temen.” Rendra mengangguk. “Ayo.” Mereka berdua berjalan berdampingan menuju lift. Hanya ada mereka berdua di dalam lift itu. Tidak ada yang memulai percakapan sama sekali. Di lantai empat, lift mereka berhenti. Banyak orang yang masuk ke dalam lift itu membuat Asha terus bergeser ke arah Rendra karena orang-orang yang mendesak-desaknya. Tubuh Asha semakin menmpel ke tubuh Rendra yang kini Asha berada di depan Rendra dengan punggungnya yang menempel ke tubuhnya Rendra. Rendra yang ada di belakangnya dapat mencium wangi shampo dari rambut Asha. Ia berusaha agar Asha tidak terlalu terhimpit oleh orang-orang dengan cara tangannya yang berada di sisi tubuh Asha tetapi tidak menempel di tubuh Asha. Pintu lift terbuka di lantai satu orang-orang mulai keluar satu-persatu begitu juga dengan Asha dan Rendra. Mereka menuju area kolam berenang yang airnya terlihat biru jernih dan kursi santai yang berada di pinggir kolam renang. “Lo mau renang, Ren?” tanya Asha ketika ia melihat Rendra yang akan membuka bajunya. “Iya, lo mau renang juga?” “Gue gak bisa renang,” jawab Asha. “Kok bisa?” “Bisa lah.” “Mau gue ajarin?” tawar Rendra. “Boleh, tapi nanti aja deh kalau ada waktu luang.” “Oke, hari terakhir ya.” “Iya.’ Rendra pun mulai masuk ke dalam kolam renang sedangkan Asha duduk di kursi santai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN