BAB 4

3046 Kata
Asha melihat pemandangan di depannya. Punggung Rendra yang lebar ketika ia membelakangi Asha, tubuhnya yang berotot tapi tidak berlebihan dan perutnya yang sixpack. Semuanya sangat indah di mata Asha, apalagi ketika Rendra menyugar rambutnya yang basah ke belakang. “Sha, boleh tolong ambilin handuk gue gak?” tanya Rendra yang kini sedang menumpukan tangannya di tepi tembok kolam renang. Asha segera mengambil handuk yang tadi ditaruh oleh Rendra di meja. Ia memberikan handuk itu kepada Rendra saat Rendra akan keluar dari kolam renang. “Pegang dulu, gue mau naik,” kata Rendra. Asha pun menurutinya. Rendra mengambil handuk yang ada di tangan Asha lalu dilingkarkannya handuk itu ke tubuh Rendra. “Lo gak jalan-jalan lagi.” “Nggak deh, udah cukup,” jawab Asha. Ia mengambil baju yang tadi di pakai oleh Rendra di meja yang sama ketika ia mengambil handuk tadi. “Nih.” “Thank’s.” “Ya udah yuk siap-siap,” ajak Asha. Mereka pun pergi meninggalkan kolam renang menuju ke dalam hotel. Di dalam lift, Rendra mengeratkan handuknya, padahal tadi ia sudah menggunakan bajunya. “Dingin?” tanya Asha yang melihat gerak-gerik Rendra. “Hmm.” “Mau gue pegang tangan lo?” tawar Asha kepada Rendra. Rendra terdiam cukup lama. Asha pikir dengan diamnya Rendra, ia tidak mau tangannya dipegang oleh Asha, tapi tiba-tiba sebuah telapak tangan yang dingin menyelinap masuk diantara jari-jari Asha. Sontak Asha pun menoleh ke arah Rendra yang kini sedang menatapnya. “Hangat,” ucap Rendra. Kini ia membawa genggaman tangan mereka ke arah mulutnya. Ia meniup tangannya agar bisa lebih hangat. Asha yang melihat itu hanya terdiam membisu. Ia mengalihkan pandangannya, dari tadi ia bukannya fokus ke tangan ia malah fokus ke bibir Rendra yang sedang meniup tangannya. “Gue boleh pegang tangan lo sampe depan kamar kan?” Rendra menatap Asha. “Mm-hmm.” Asha mengangguk memperbolehkan. “Tangan lo kecil banget deh,” ujar Rendra sambil mengamati tangan Asha yang adaa di genggamannya. “Tangan lo nya aja kali yang gede,” timpal Asha tak mau kalah. “Rata-rata tangan cowok kan emang lebih gede dari cewek.” “Kenapa bisa lebih gede?’ Rendra terdiam memikirkan jawaban dari pertanyaan Asha. “Karena biar pas pegang tangan cewek bisa pas dan melindungi.” Rendra tertawa mendengar jawabannya sendiri begitu juga dengan Asha. “Lo ya, gue gak nyangka lo bakalan jawab kayak gitu.” “Terus lo ngiranya gue mau jawab apa?” “Ya apa gitu.” “Kalau lo pengen gue jawab secara scientific gue bisa-bisa aja, tapi nantinya bakalan garing banget.” “Tapi gue beneran pengen tahu secara scientific-nya, kok.” “Bener?” “Iya.” Pintu lift terbuka, mereka berdua keluar secara bersamaan masih dengan berpegangan tangan. “Yah, udah sampai,” sesal Rendra ketika mereka akhirnya sampai di depan kamar. “Kalau gitu nanti gue bakalan cerita tentang semut, ya.” “Kok tiba-tiba jadi semut?” kening Asha berkerut heran. “Ya, pengen aja ceritain ke lo tentang semut. Udah, cepetan masuk sana.” “Gimana gue mau masuk kalau tangan gue masih lo pegang.” “Oh iya, gue lupa.” Rendra lalu melepaskan tangan Asha. “Gue masuk duluan, ya,” ucap Asha. Ia sudah berjalan ke arah kamarnya dan segera masuk ke dalam. *** Jam sembilan peserta tour sudah berkumpul di lobi hotel, mereka sedang menunggu bus yang akan datang sekitar lima menit lagi. Hari ini adalah hari kedua mereka ada di Bali dan destinasi wisata hari ini dilmulai dengan pergi ke pura Ulun Danu Beratan Bedugul. Asha merapikan penampilannya sekali lagi. Hari ini ia memakai kaos berwarna biru tosca dipadu dengan jeans yang pas di kakinya dan sepatu berwarna putih. Tak lupa ia juga membawa tas yang berisikan kamera, hp, dan dompet. Bus datang ketika Asha selesai merapikan penampilannya, semua peserta masuk ke dalam bus dan bus pun mulai melaju meninggalkan hotel. buth waktu sekita dua jam untuk bisa sampai kesana. Asha menghabiskan waktu di perjalanan dengan mendengarkan lagu dari mp3-nya lalu tertidur. “Sha, bangun.” Asha mendengar seseorang memanggil namanya, tapi ia enggan untuk membuka mata. “Bangun, Sha.” Lagi-lagi Asha merasakan seseorang menepuk-nepuk pipinya. “Kalau lo gak bangun gue bakal cium lo,” ucap orang itu. Asha yang mendengar itu hanya melenguh pelan. Cukup lama tak ada yang membangunkannya lagi, Asha mulai mengingat-ngingat suara siapa yang berusaha membangunkannya. Perlahan Asha membuka matanya dan hal yang pertama kali ia lihat adalah wajah Rendra yang kini hanya beberapa senti dari wajahnya. Asha terkejut bukan main ketika melihat hal itu, mata Asha melotot sangking terkejutnya. “Lo mau ngapain?” tanya Asha masih dengan suara serak. “Gue tadi udah bilang, kalau lo gak bangun gue bakalan cium lo,” jawab Rendra santai/ “Jadi lo yang bangunin gue daritadi?” “Iya.” “Terus yang lain pada kemana?” Asha mendorong tubuh Rendra agar sedikit menjauh darinya. “Udah pada turun semua dan tinggal lo doang yang belum turun dan gue.” “Oh? Udah sampai ya,” gumam Asha. “Ayo, Sha.” Rendra berdiri dari duduknya mengajak Asha untuk segera turun dari bus. Saat Asha tiba di pintu gerbang, ia sudah disuguhkan pemandangan yang menakjubkan. Arsitektur pura yang unik, terlihat Candi Bentar, suasanya yang asri dan lingkungannya yang bersih. Tak mau momem ini hilang, Asha segera memotret pemandangan itu. Asha kembali menyusuri jalan. Saat peserta tour datang kesini, kebetulan air danau Beratan naik, Pura Ulun Danau Beratan itu seolah-olah mengapung di atas permukaan air. Air dari Danau Beratan ini sangat jernih dan tenang. Matahari mulai merangkak naik membuat kabut tipis yang ada di sekita pura turun menutupi permukaan danau. Sungguh pemandangan yang menakjubkan bagi Asha. Beberapa kali ia memotret pemandangan itu tetap tidak bisa menghilankan rasa kagumnya. “Bagus ya, Mbak,” kata Tasya, perempuan yang kemarin makan dengannya di meja yang sama. “Iya, bagus banget,” balas Asha menatap keindahan itu. “Mau naik perahu ga, Mbak?” “Memang ada perahu?” Asha bertanya balik. “Ada, tadi saya lihat orang yang naik perahu,” jawab Tasya sedikit tidak yakin. “Oh... boleh deh, yuk.” Mereka berdua pergi ke tempat penyewaan perahu. Setelah mendapatkan tiketnya. Asha dan Tasya berjalan menuju perahu lalu menaikinya. Mereka berbeda perahu karena perahu tidak cukup untuk bertiga, perahu hanya cukup untuk berdua, satu orang lagi untuk orang yang mengendalikan perahu ini. Asha duduk melihat pura dari jarak dekat. Ia mulai memotret pura itu dari berbagai angle. Setelah puas memotret, Asha menyimpan tas dipinggirnya lalu ia mencoba berdiri perlahan-lahan. Ia masih memandang takjub dengan pura yang mengapung di atas itu. Beberapa menit kemudian perahu mulai menepi dan Asha pun turun dari perahu itu bersamaan dengan Tasya yang juga baru saja sampai. “Gimana, Mbak?” tanya Tasya sambil mendekat ke arah Asha. “Menarik banget, secara arsitekturalnya juga unik khas Bali.” Asha menjawab. “Mbak, kayaknya tertarik banget sama seni, ya?” tanya Tasya. Mereka pergi dari itu dan melanjutkan menyusuri Pura bersama-sama. “Kok kamu bisa berpikiran kayak gitu?” “Soalnya Mbak kayak tahu banget tentang elemen-elemen seni yang bagus dan unik.” “Oh, kebetulan saya suka gambar aja terus lihat-lihat lukisan gitu, deh,” jelas Asha. “Wah, kebetulan banget saya juga suka gambar, apalagi tentang desain interior.” “Kamu kuliah jurusan Arsitek Interior, ya?” tanya Asha penasaran. Tasya menyengir mendengar pertanyaan Asha. “Iya, Mbak.” “Semester berapa sekarang?” “Semester enam, Mbak.” “Bentar lagi tingkat akhir, ya.” Asha mengangguk-angguk. “Pokoknya jangan patah semangat, ya. Semangat juga nanti ngerjain skripsinya.” “Iya, Mbak. Makasih banyak ya,” ucap Tasya sembari tersenyum. “Mbak, saya pergi duluan, ya, mau nyari teman saya dari tadi gak ada pas saya cariin.” “Iya. Makasih ya, Tas, udah nemenin saya.” “Sama-sama, Mbak. Kapan-kapan nanti kita ngobrol lagi.” Setelah mengucapkan itu Tasya segera berlalu untuk mencari temannya. Kini Asha berjalan seorang diri melihat-lihat pura. Di depan sana ia melihat ada sebuah bangku kosong, ia pun menuju bangku itu dan duduk disana. Asha meregangkan otot-otot kakinya. Saat sedang melepas lelahnya, terasa air dari atas yang mulai berjatuhan. Asha yang merasakan air itu menengadahkan tangannya untuk merasakan air hujan itu. “Gosh!” Hujan perlahan-lahan semakin besar. Asha berlari pergi dari tempat itu mencari tempat untuk ia berteduh saat ini. Akhirnya Asha menemukan tempat berteduh, ia menepuk-nepuk tasnya yang sedikit basah karena air hujan tadi. “Untung aja,” ucap Asha yang melihat kamera dan ponselnya baik-baik saja. “Kehujanan?” tanya seseorang di belakangnya. Asha menoleh ke sumber suara itu. “Iya, nih.” “Sini masuk lebih dalem, airnya mulai masuk ke tempat lo.” Rendra mundur ke belakang untuk memberikan ruang kepada Asha. Asha menuruti perintah Rendra. Ia berjalan mundur agar tidak kecipratan oleh air hujan. “Kok bisa lo disini?” “Tadi gue lagi jalan-jalan di sekitar sini terus tiba-tiba hujan, jadi gue berteduh disini.” Rendra menarik lengan Asha agar dirinya mendekat, sebab Asha masih sedikit terkena oleh air hujan. “Oh, gitu.” “Dingin, ya?” tanya Rendra. Ia melihat Asha mendekap dirinya. “Iya.” Rendra melepaskan jaketnya lalu disampirkannya ke bahu Asha. “Biar lo gak kedinginan.” “Makasih, Ren.” Asha dapat mencium aroma Rendra dari jaket yang ia pakai. Ia menghirup dalam-dalam aroma itu yang tanpa disangkanya membuat ia sedikit tenang. “Hmm.” Rendra hanya berdehem. Suasana sunyi mulai menyelimuti mereka. Keduanya hanya melihat rintikan air hujan yang turun di depannya. Bunyi air hujan yang menjadi musik juga meredam suara mereka. Lama menunggu, akhirnya hujan pun berhenti. “Udah berhenti, yuk keluar.” Asha keluar terlebih dahulu disusul oleh Rendra di belakangnya. Rendra melihat jam di tangannya dan sudah menunjukkan jam makan siang. Ia menelepon timnya agar segera menyiapkan makan siang mereka di sebuah restoran di sekitar pura. “Udah jam makan siang, nih, yuk.” Mereka berdua berjalan menuju restoran yang ada di pura. Di depan sana Asha dan Rendra melihat tim Wedanta sudah menunggu para peserta tour di restoran tersebut. Sudah ada sebagian yang datang ke restoran tersebut. Asha dan dan Rendra masuk ke dalam lalu memilih tempat duduk. Mereka memilih tempat duduk di ujung yang mejanya masih kosong. Beberapa menit kemudian peserta tour yang lain datang ke restoran. Tasya yang melihat ada kursi kosong di meja Asha mengajak temannya untuk duduk disana. “Halo, Mbak, Mas,” sapa Tasya kepada Asha dan Rendra. Asha tersenyum ketika Tasya menyapanya kemudian duduk di kursi. “Hai, udah ketemu temannya?” “Ini, udah,” jawab Tasya sambil menunjuk temannya yang duduk di sampingnya. Temannya itu tersenyum canggung. “Oh....” Pelayan datang ke meja mereka mengantarkan makanan, setelah selesai mengatur makanannya pelayan itu pun pergi. “Mbak, pakai jaket siapa?” tanya Tasya penasaran. “Oh, ini, saya pakai jaketnya Mas Rendra.” “Kok bisa, Mbak?” “Tadi saya kehujanan, jadi pinjam dulu jaketnya, deh,” jelas Asha. Ia mulai menyantap makanannya begitu pun dengan Rendra yang hanya sesekali tersenyum menanggapi. “Oh, gitu,” ucap Tasya sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Setelah percakapan tersebut mereka memakan makananannya. Suasana restoran yang ramai membuat suara mereka teredam oleh suara-suara orang lain. Udara dingin yang masuk ke dalam restoran membuat restoran terasa semakin sejuk. “Habis dari sini kita ke Tanah Lot ya, Mas?” tanya Tasya setelah menyelesaikan makanannya. “Iya, sebentar lagi kita akan berangkat, tinggal nunggu bus aja kesini,” jawab Rendra. ia menyeka bibirnya dengan tisu. “Oh oke.” Tasya mengangguk mengerti. Sepuluh menit peserta tour menunggu, akhirnya bus tiba di depan restoran. Satu-persatu mulai naik ke dalam bus begitu juga dengan Rendra dan Asha. Di dalam bus mereka duduk bersampingan. Mereka berada di kursi ketiga dari belakang. Asha memilih duduk di dekat jendela dan Rendra duduk di sampingnya. Dari Pura Ulun Danu Betaran ke Tanah Lot butuh waktu kurang lebih satu jam lima belas menit. Asha mengeluarkan mp3 dari tasnya lalu memasangkan headset ke telinganya. Ia bersenandung pelan mengikuti irama musik yang sedang didengarkan olehnya. “Pinjem satu dong.” “Pinjem apa?” tanya Asha tak mengerti. “Headset-nya.” “Oh, nih.” Asha melepas sebelah headset-nya lalu menempelkannya di telinga Rendra. “Lo suka lagu ini?” tanya Rendra ketika ia mendegar musik yang sedang diputar. “Iya,” jawab Asha sambil terkekeh. “Kok sama, sih, gue juga suka lagu ini.” “Masa?” “Beneran.” “Kenapa lo suka lagu ini?” tanya Asha kepada Rendra. “Karena arti dari lagu ini adalah ketika lo sangat mencintai seseorang lo akan lebih bisa membenci seseorang itu. Lo tahu ‘kan ada benang tipis diantara cinta dan benci. Jadi lo hanya perlu mencintai sewajarnya aja.” Lagu yang saat ini diputar adalah lagu berjudul Heather. Asha mengangguk mengerti ketika mendengar jawaban Rendra. “Nice answer.” Asha kembali melihat jalanan yang dilewati bus dari jendela. Pohon-pohon yang menari ketika angin menerpanya dan terasering sawah menambah keindahan di sepanjang jalan menuju Tanah Lot. Hujan sudah berhenti sejak tadi, kini hanya ada jejak-jejak air yang mulai menguap karena matahari sudah menampakkan dirinya. Bus tiba di Tanah Lot, semua peserta segera turun dari mobil dan mulai menikmati liburan mereka masing-masing. “Tunggu, Ren.” Jari Asha menarik kaus Rendra yang sudah turun dari bus, sedangkan Asha masih di berdiri di pintu. “Kenapa, Sha?” Rendra berbalik. “Ini, gue mau balikin jaket lo,” ucap Asha seraya memberikan jaket kepadan Rendra. “Oh, oke.” Rendra menerima jaketnya lalu memakainya kembali. Asha melangkah turun dari bus dan mulai berjalan-jalan sendirian melihat-lihat pura yang ada disini. Pura Tanah Lot merupakan salah satu pura yang penting bagi umat Hindu Bali. Letaknya di atas batu besar yang berada di lepas pantai. Pura dibangun di dua tempat berbeda. Satu pura terletak di atas bongkahan batu besar, dan satunya lagi terletak di atas tebing yang menjorok ke laut mirip dengan Pura Uluwatu. Dari area parkir tadi, Asha melihat banyak toko yang menjual berbagai macam kerajinan khas Bali. Ada patung, lukisan, kain pantai, pernak-pernik, dan aksesoris. Ada juga beberapa warung makanan dan minuman. Di depan pertigaan Asha berbelok ke kanan dan sampailah ia di pintu gerbang Tanah Lot. Setelah masuk, Asha terus berjalan lurus menuju atraksi utama yaitu Pura Tanah Lot. Terletak sekitar dua ratus meter dari daratan pura ini hanya bisa dikunjungi saat surut. Oleh karena itu, para pengunjung hanya bisa ke pura ini sekitar jam enam pagi atau pada saat matahari akan terbenam. Asha melihat Rendra berjalan di depannya dan ia pun mendekatinya. “Lihat sunset, yuk,” ajak Asha. Rendra mengangguk mengiyakan. Mereka pun berjalan menuju ke arah timur Pura Tanah Lot. Banyak pengunjung yang juga menantikan bagaimana sunset di tempat ini. Mereka berdua berdiri berdampingan dengan pengunjung yang lain. Asha mengeluarkan kameranya untuk memotret sunset yang akan dilihatnya sebentar lagi. Beberapa menit kemudian, matahari mulai berjalan turun menuju peraduannya. Asha yang melihat itu segera memotret sunset yang sedang dilihatnya saat ini. “Mau gue fotoin?” Rendra menawarkan dirinya. “Boleh, foto dari belakang ya.” Asha memberikan kameranya dan segera bergaya. Asha memilih tidak bergaya berlebihan ia hanya bergaya seakan-akan ia sedang mengaharapkan sesuatu ketika langit mulai meredup. Rendra memberikan kamera kepada Asha setelah ia selesai memotret Asha. “Mau foto bareng gak?” tanya Asha. “Boleh.” “Oke, bentar.” Asha berjalan kepada orang yang berada tidak jauh darinya dan meminta tolong untuk mengambil foto mereka berdua sebentar. Orang itu menerima kamera Asha lalu bersiap memotret mereka berdua. “Mas, pundak pacarnya dirangkul dong. Jangan tegang kayak gitu,” ucap orang yang akan memoto mereka berdua. Keduanya saling menatap satu sama lain mendegar perkataan orang itu. Rendra mengangkat tangannya lalu merangkul pundak Asha. Ia menarik Asha agar lebih dekat dengannya. Asha yang kaget karena perlakuan Rendra itu sontak menatap Rendra, sedangkan Rendra tersenyum menatap ke arah kamera. Melihat pose Asha dan Rendra, orang itu segera memotretnya beberapa kali, setelah selesai ia pun mengembalikan kamera kepada Asha kembali. “Makasih ya,” ucap Asha dan Rendra berbarengan. “Sama-sama.” Orang itu lalu berlalu meninggalkan mereka. “Gue baru pertama kali liat sunset sebagus ini,” ucap Asha. Mereka berdua melihat siluet dari dua pura yang ada di tempat tersebut, yaitu Pura Tanah Lot dan Pura Batu Bolong. Pemandangan ini sangat ikonik, itu sebabnya para wisatawan selalu datang kesini untuk melihat sunset terindah. “Sunset disini memang bagus banget,” timpal Rendra. “Kayaknya gue bakalan betah deh tinggal disni.” “Kenapa nggak?” “Tapi, gue gak bisa masih banyak kerjaan yang harus gue urus di Jakarta.” “Kalau gitu lo sesekali lo main kesini,” saran Rendra. Asha mengangguk pelan. Matahari sudah terbenam sepenuhnya. Asha dan Rendra memutuskan untuk pergi dari tempat itu dan saat ini sudah waktunya makan malam. Mereka sudah bergabung kembali dengan para peserta tour. Seperti biasa Rendra memberi pengarahan dulu kepada peserta tour agar tidak terjadi kesalahan. Selesai memberikan pengarahan Rendra ia memimpin perjalanan. Hanya butuh beberapa menit berjalan kaki mereka sudah sampai di sebuah warung yang menyajikan berbagai macam masakan. Mereka semua masuk ke dalam warung tersebut lalu memilih meja yang telah disediakan. Makanan diantarkan ke meja masing-masing peserta tour dan mereka segera memakannya. Satu jam kemudian sekitar pukul setengah delapan malam mereka bersiap pulang kembali ke hotel. Bus datang lima menit setelahnya dan peserta tour naik ke dalam bus. Bus melaju meninggalkan warung tersebut. Mereka kembali menuju hotel. Setelah menghabiskan waktu cukup lama di perjalanan, akhirnya bus sampai di depan hotel. Semua peserta turun dari bus lalu masuk ke dalam hotel. Asha dan Rendra berjalan menuju lift yang sama. Di dalamnya sudah ada peserta tour lain yang akan menuju ke lantai kamarnya masing-masing. Asha berdiri di samping dekat dengan kaca lift dan Rendra berdiri di sampingnya. Pintu lift terbuka di lantai empat dan semua orang keluar dari lift hanya tersisa Rendra dan Asha saja. “Ren,” panggil Asha sambil berbalik ke arah Rendra. “Hm.” Rendra menoleh. Asha berjalan pelan ke arah Rendra. tubuh Asha sudah sangat dekat dengan tubuh Rendra, tetapi Rendra hanya diam mematung seraya melihat apa yang akan dilakukan oleh Asha. Asha terus mendekat sampai hanya beberapa sentimeter lagi tubuh mereka hampir menempel. Ia berjinjit dan mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Rendra. Rendra mulai kehilangan fokus ketika Asha semakin memajukan wajahnya. Matanya mulai mengalihkan pandangannya dari mata Asha menuju bibir Asha. Asha tersenyum kecil ketika melihat ekspresi Rendra yang sedikit berubah. Asha mendekatkan bibirnya ke telinga Rendra lalu berbisik, “Gak jadi deh, nanti aja.” Setelah mengatakan itu Asha segera menjauhkan tubuhnya dari Rendra lalu terkekeh, sedangkan Rendra hanya menatapnya tidak mengerti tentang apa yang telah terjadi tadi. Pintu lift terbuka di lantai enam, Asha keluar terlebih dulu disusul oleh Rendra di belakangnya. Sampai di depan kamar masing-masing, Rendra berjalan menuju Asha yang akan membuka pintu kamarnya, tetapi ia menahannya. Rendra mendorong tubuh Asha ke tembok dan menghimpitnya dengan tangan dan tubuhnya. Tangannya terangkat mulai menelusuri wajah Asha dan berhenti tepat di pinggir bibir Asha. Asha yang terkejut hanya bisa diam dengan perlakuan Rendra kepadanya. Ia bisa merasakan napasnya Rendra di wajahnya. “Lo cantik,” ucap Rendra. Suaranya terdengar serak di telinga Asha. Tangan Rendra masih berada di atas bibir Asha. Ia mulai memajukan wajahnya, tetapi sesaat kemudian Rendra berhenti ketika melihat Asha memejamkan matanya. “Tidur sana, Sha,” kata Rendra. tangannya mengusap kepala Asha dan tubuhnya mulai menjauh. Asha membuka matanya lalu menjawab, “Iya, Ren, iya.” Asha berbalik mengahadap pintu dan menempelkan kartunya. Setelah pintu tidak terkunci, Asha segera masuk ke dalam kamar meninggalkan Rendra di luar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN