“Kamu harus menikahinya.” Bisik Willian.
Rafael mendongkak, “Pa, aku tidak mencintainya. Aku mencintai…”
Willian menyela dengan cepat, “Tidak perlu diteruskan. Kamu tidak harus mencintainya. Kamu cukup bertanggung jawab untuk menikahinya.”
“Rafael, kamu jangan egois. Papa tidak pernah mengajarkan kamu untuk menjadi pria yang egois. Kamu harus menikahinya.” Willian terus mendesaknya.
“Tolong pikirkan Mama dan Papa. Apakah kamu tega membiarkan orang lain mencemohkan kami?’ Willian berkata dengan sedih padanya.
“Tapi…”
“Ingat, kamu tidak harus mencintainya. Cukup menikahinya saja. Kamu bisakan melakukan ini Kami? Please?” Willian terus membujuknya.
Rafael terdiam dan enggan menanggapinya. Kakinya melunak hingga dia terduduk di bangku di depan ruangan perawatan Fiona. Dia menundukkan kepalanya dengan gerakan tangan yang mengacak-ngacak rambutnya. Pria itu tampak frustasi dengan pilihan itu.
Di sisi lain, Sheryn dan kedua anak-anaknya menjadi resah ketika memikirkan Rafael. Pasalnya, seseorang menyelamtkan anaknya sedang kritis di rumah sakit. Sheryn mengerutkan bibirnya sebelum dia bertanya pada Kevin, “Menurut kalian, apa yang akan dilakukan Fiona pada Rafael?”
Kevin mendongkak dan menatap Ibunya sebelum dia berkata dengan ragu, “Mungkin, Fiona akan meminta Kak Rafael untuk bertanggung jawab padanya.”
“Ha? Bertanggung jawab padanya? Maksut kamu seluruh biaya ditanggung oleh kita?”
“Iya.” Gisel menimpalinya saat dia membenarkan ucapan ibunya.
“Tidak! Itu tindakan pemerasan! Lagi pula, itu bukan salah Rafael! Dia yang membuat dirinya celaka, mengapa kita harus repot-repot memikirkannya? Mama tidak setuju!” Sheryn menjadi sangat marah dan tangannya tergepal dengan erat dalam diam.
Kevin mengerutkan keningnya saat melihat sikap ibunya yang sangat egois. Dia seharusnya bersyukur karena Rafael tidak celaka tetapi mengapa dia begitu tidak punya hati? Rafael harus tanggung jawab dengan Fiona. Kasihan gadis itu, dia harus menanggung penderitaannya.
Oleh karena itu, dia berkata, “Ma, mengapa Mama menjadi orang yang tidak punya hati begini? Fiona menolong Rafael dari kecelakaan, Ma! Kasihan dia. Bagaimana jika aku yang mengalami di posisi Fiona saat aku menolong Mama atau Papa misalnya? Apakah Mama akan menjadi orang yang tidak punya hati juga?”
“Kamu! Omong kosong apa yang kamu bicarakan? Kamu menginginkan Mama dan Papa celaka, gitu?” Sheryn menjadi semakin marah.
“Bukan begitu, Ma. Aku hanya kasih tahu contoh. Jika seandainya.” Kevin menggertakan giginya dan menekan kekesalannya saat dia berkata dengan lembut.
Wanita itu melambaikan tangannya saat dia enggan berbicara dengan Kevin. Dia tidak ingin mendengarkan nasehat anaknya. Dia adalah ibunya, mengapa dia malah berpihak gadis udik itu. Dia mendesah tanpa daya.
Melihat ibunya yang cemberut, Kevin pun tidak ingin memberinya nasehat lagi. Dia pergi kemudian. Demikian juga dengan Gisel.
Di sisi lain, Ruben sedang menelpon Rafael ketika dia mengingatkan dirinya untuk datang karena meeting akan segera dimulai. Tetapi Rafael tidak menjawabnya kemudian Ruben menelpon Willian.
“Halo, Ruben. Ada apa?” Suara Willian terdengar setelah sambungan telpon menyambung.
“Iya, Pak. Saya menelpon Rafael tapi dia tidak menjawabnya. Saya hanya ingin mengingatkannya bahwa hari ini ada meeting.”
“Oh? Apakah tidak bisa ditunda? Rafael tidak bisa pergi hari ini.”
“Baiklah, saya akan mengabari karyawan yang lain.”
“Oke.” Panggilan berakhir kemudian.
Ruben menatap layar ponselnya dengan cemberut. Dia bertanya-tanya apa yang terjadi pada Rafael? Mengapa pria itu tidak menjawab teleponnya? Dan Tuan Willian memintanya untuk membatalkan meeting hari ini.
Setelah tersadar, Ruben menekan nomor sekretarisnya, “Wen, tolong beritahu yang lain bahwa meeting hari ini ditiadakan.”
“Iya, pak.”
Di sisi lain, Fiona membuka matanya dengan pelan. Dia merasa sakit kepalanya, mungkin karena benturan tubuhnya karena aspal. Tidak ada yang memerhatikannya saat dia membuka matanya. Orang-orang berada di luar ruangannya. Mereka sedang menunggu jawaban dari Rafael.
Hari sudah siang, Rafael masih menunduk dengan tenang. Dia benar-benar menjadi tidak berdaya pada saat ini. Ketika Rafael tenggelam dalam pikirannya, Willian berbisik pada Wilson untuk melanjutkan aktingnya. Wilson langsung memahaminya.
Oleh karena itu, dia berkata dengan keras dan dingin, “Saya akan menelpon polisi sekarang.”
Mendengar perkataan Wilson, Rafael tersentak hingga dia berdiri, “Jangan lakukan itu!”
“Apa? Jangan lakukan itu?” Wilson mencibirnya saat dia mengejek. Dia melihat ada jejak kepanikan yang melintas di mata Rafael saat ini. Dia tersenyum dalam hatinya.
“Iya, jangan telepon polisi. Aku…” Rafael merasa sangat tertekan dengan pilihannya. Dia bahkan susah mengucapkan kata-kata itu.
“Rafael! Ayo teruskan kalimatnya. Apakah kamu bersedia mengambil tanggung jawabmu?” Willian menyela dengan senang.
Rafael mengangguk di bawah ketidak berdayaannya. “Iya. Aku tidak ingin mengecewakan Papa.”
Alis Wilson mengerut semakin dalam saat dia menatap Rafael dengan bingung. Dia benar-benar tidak mempercayai kata-katanya. Dia bertanya-tanya, apakah yang dia dengar itu benar? Ataua itu hanya mimpi?
Oleh karena itu, dia bertanya dengan semangat, “Jadi Anda akan menikahi Fiona?”
"Iya.” Rafael menjawab dengan singkat.
“Oke, maka sesuai dengan janji saya. Anda tidak dilaporkan ke polisi. Saya akan segera mengurus surat perjanjian itu.” Wilson berkata saat dia mengedipkan matanya ke arah Willian. Tampaknya kerjasama mereka berhasil.
Rafael bangkita dan pergi setelah itu. Sementara, Willian menelpon asistennya untuk menyiapkan surat perjanjian itu. Dia berkata pada Wilson, “Kamu tidak perlu repot-repot mengurus surat itu. Saya telah memerintahkan asisten saya untuk membuatnya.”
“Baik, Tuan. Terima kasih.” Wilson mengangguk dengan senang.
“Sama-sama. Kalau begitu saya pergi dulu.” Willian berkata saat dia menepuk pundak Wilson sebelum dia pergi.
Di sisi lain, Rafael kembali ke kantornya dengan penampilannya yang acak-acakan. Ruben mengenyit keningnya saat dia melihat penampilan Rafael yang kusut. Dia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya, “Rafael, mengapa kamu sangat jelek hari ini?”
Rafael tidak menoleh dan langkahnya semakin cepat saat dia menuju ke ruangannya. Ruben mengejarnya dan berkata dengan terengah-engah, “Rafael, apa yang terjadi padamu?”
Rafael menggeleng, “Tidak apa adapa-apa. Aku hanya butuh istirahat. Jangan nganggu aku.”
Dia menunjuk ke arah pintu saat dia berbicara. Tetapi Ruben melambai saat dia berkata, “Aku ingin di sini.”
Ruangan itu menjadi hening. Seharian ini Rafael menghambiskan aktivitasnya dengan tidur. Itu adalah cara untuk menenangkan pikirannya. Demikian juga dengan Ruben. Dia merasa ada yang idak beres dengan Rafael. Tumbenan dia bersikap seperti ini?
Pria itu mulai berspekulasi dengan pikrannya. ‘Mungkinkah itu karena perjodohan itu?’
Merasa bosan, Ruben memilih meninggalkan Rafael kemudian. Waktu berlalu dengan cepat, matahari tampak memancarkan sinar dengan warna kuning keemasan ketika senja datang. Pantulan cahayanya mengarah ke jendela ruangan Rafael.
Perlahan dia membuka matanya sambil membuat gerakan tangan yang menyilang ketika dia menghindari cahaya yang menyilaukannya.
“Sudah sore? Aku ketiduran?” gumamnya sambil bangkit ketika dia mengubah posisinya menjadi duduk.
Setelah itu, dia pergi membasuh wajahnya sebelum meninggalkan kantor. Dia mendapati kantor yang sepi saat ini. Pasalnya, hari sudah sore hari. Tentu saja, seluruh karyawan telah kembali pada jam ini.
Rafael segera meninggalkan kantor kemudian. Dia menyetir seorang diri sambil memikirkan tindakan yang diambilnya. Dia akan menikahi gadis udik itu. Tiba-tiba dia menjadi kesal ketika dia melampiaskan amarahnya pada stir kemudi. ‘Aish, si udik itu! Mari kita lihat, apa yang akan dia terima begitu menikah denganku!’