Dia Tulus

1112 Kata
Di sisi lainnya, Wilson mengantar Rafael dan Tuan Besar Leonard. Keduanya tidak saling bicara meskipun mereka duduk berdekatan. Namun, sudut mata Willian melirik Rafael yang masih mendiaminya saat ini. Dia akhirnya mengurungkan niatnya untuk mengatakan sesuatu. Willian kembali menatap ponselnya saat dia memeriksa pesan dari emailnya. Sementara, Rafael diam-diam mengamati pria paruh baya yang duduk di sampingnya melalui gerakan sudut matanya. Tidak lama kemudian, mereka tiba. Wilson segera turun untuk membukakan pintu. “Tuan, silahkan.” Ucapnya dengan hormat. Tuan Besar Leonard mengangguk dengan anggun saat dia keluar dari mobilnya. Demikian juga dengan Rafael. Keduanya melangkah ke dalam ruangan mereka masing-masing tanpa berbicara sepatah kata pun. Wilson merasakan ketegangan antara ayah dan anak itu tetapi dia tidak berani bertanya. Oleh karena itu, dia menelan pertanyaannya kembali. Dia tertegun ketika ponselnya berdering. Pria itu memandangi nama penelpon menari-nari di layar ponselnya. Dia segera menjawabnya, “Nyonya. Apa yang bisa saya lakukan?” “Wilson, cepat kembali. Kau harus mengantarku ke pesta.” Suara Sheryn terdengar begitu telepon tersambung. “Baik, Nyonya.” Sahut Wilson dengan cepat. Dia kembali meluncur ke rumah setelah itu. Di sisi lain, Fiona hendak kembali setelah mengantar Kevin dan Gisel ke kampus. Di perjalanan pulang, dia menerima panggilan telepon dari Tuan Besar Leonard. Pria tua itu menyuruhnya untuk mengantarkannya bertemu dengan klien. Fiona segera meluncur ke kantor kemudian. Setelah memarkirkan mobil, Fiona segera berlari ke ruangan Tuan Besar Leonard. Tiba-tiba dia menabrak sesuatu hingga terdengar bunyi ‘gedebuk’. Fiona terjatuh dan seseorang di depannya juga. Keduanya sama-sama bangkit dari lantai ketika mereka berdiri dengan tegap. Detik berikutnya, Fiona mendapati omelan Rafael yang marah. “Punya mata, tidak? Bagaimana jika saya terluka. Gajimu tidak akan pernah cukup untuk menggantikan kerusakanku. Apakah kau mengerti?” Fiona mendongkak dan membelalak ketika dia dihadapkan pria tampan tapi galak. Dia mendengus dingin. “Maaf, saya tidak sengaja. Saya buru-buru.” Setelah mengatakan itu, dia kemudian pergi sebelum Rafael sempat bereaksi. Dia mengepalkan tangannya saat mengupat Fiona, “Dasar sopir nakal! Tunggu, saya berikan kamu pelajaran!” Fiona menunggu Willian di luar ruangannya sambil memeriksa ponselnya. Sementara, pria itu sedang sibuk dengan dokumen-dokumennya pada saat ini. Dia melihat Fiona tiba-tiba dan tersenyum saat memandangi punggungnya. Tiba-tiba ponselnya berdering, ketua dari perusahaan mitra meminta Willian untuk menemani mereka saat meninjau lokasi pembanguan vila baru. Willian menyetujuinya tetapi Ujang, sopir kantornya sedang cuti jadi dia meminta Fiona untuk menggantikan Ujang. “Fiona, masuklah.” Willian memanggilnya melalui telepon. “Baik, Tuan.” Fiona masuk setelah mengakhiri panggilan teleponnya. "Duduklah, dulu.” Ucapnya ramah. “Terima kasih, Tuan.” Balas Fiona yang tidak kalah ramah. Willian hanya mengangguk dan membereskan semua dokumen yang akan dibawanya. Setelah itu dia berkata, “Fiona, kamu ikut bersama saya ke luar kota hari ini ya.” Alis Fiona menggerut saat dia tidak tahu harus mengatakan apa kali ini. Haruskah dia menerima? Bagaimana mungkin ini? Apa maksud Tuan Besar ini. Dia memucat. Melihat ekpresi Fiona yang tampak aneh, Willian mendengus, “Kamu jangan khawatir, sekretaris saya juga pergi jadi kamu tidak sendiri.” Barulah ekpresi gugup Fiona menghilang. Dia mendesah lega dalam hatinya. ‘Ternyata ada temannya. Huuuft!’ Sekretaris kemudian masuk, “Presdir, apakah kita akan pergi sekarang?” “Iya.” Willian mengangguk sambil menyerahkan dokumen untuk dibawanya. Mata sekretaris itu melirik ke arah Fiona ketika hatinya bertanya-tanya siapa wanita ini dan ada di sini bersama bos besar. Dia diselimuti dengan rasa penasaran. Dia kemudian mengulurkan tanganya ke arah Fiona sambil berkata, “Namaku Rumi. Kau siapa?” Fiona menatapnya dan menyeringai sebelum menjawab, “Aku Fiona sopir Tuan Willian.” “Sopir?” ulangnya dengan tatapan kosong. Fiona mengangguk, “Iya.” “Rumi, kamu tidak diizinkan untuk membuat rumor. Ini Fiona dan dia adalah sopir anak-anak saya. Tidak ada hubungan apa-apa di anatar kami. Apakah kau paham?” Willian berkata dengan tegas saat dia ingin memperjelas satus Fiona. “Baik, Presdir. Jangan khawatir, saya tidak akan melakukan apa-apa selain bekerja di sini.” Rumi menanggapinya dengan cepat. “Bagus, ayo kita pergi.” Pria paruh baya itu memberikan intruksi setelah itu. Keduanya langsung mengikuti Willian keluar kantor. Mereka bertemu dengan dua orang lainnya di lobi kantor. “Mathew, sudah kamu persiapkan dokumen yang saya minta?” Willian bebicara pada Mathew ketika dia bertanya tentang dokumen kerjasama antara perusahaannya dan perusahaan mitra. Pria itu mengangguk, “Sudah, Tuan. Semuanya ada di dalam tas ini.” Mathew mengangkat tas yang disampir di pundaknya ketika dia berbicara dengan bos besar. Willian mengangguk. Setelah memastikan semua dokumen kerjasama itu, dia memberi intruksi kepada mereka untuk segera masuk ke dalam mobil. Di sepanjang perjalanan menuju ke luar kota menjadi hening. Mathew yang duduk di samping bosnya tidak berani berbicara sepatah katapun demikian juga dengan Rumi terlebih Fiona. Oleh karena itu, mereka hanya menatap ke arah Fiona dalam diam. Waktu berlalu dengan cepat, mobil yang dikemudi Fiona pun tiba. Sementara, Rafael dan Ruben juga menyusul Willian ke lokasi. Sebagian karyawan yang ikut ke luar kota pergi makan malam. Setelah menyelesaikan makan malamnya, Fiona pergi ke balkon. Demikian juga dengan Rafael. Detik berikutnya, Rafael dikejutkan dengan kehadiran Fiona. “Kau! Mengapa kau ada di sini? Apa kau ingin memataiku? Mengaku saja!” Fiona menggeleng, “Tidak. Saya ke sini karena menggantikan pak Ujang.” “Halah! Itu hanya alasan kau saja, ya kan?” Rafael melambai saat dia menepis perkataan Fiona. Gadis itu mengangkat bahunya saat dia berkata, “Percaya atau tidak itu terserah Anda!” Setelah mengatakan itu dia berbalik untuk pergi. Namun, tiba-tiba melihat sesuatu yang akan menimpa Tuan Besar Leonard, gerakannya yang cepat membuat pria tua itu terselamatkan dari kejatuhan baliho. Teriakan Rafael pun terdengar, “Papa!!!” Semua orang menoleh dan bergegas keluar. Sementara, Fiona meringgis, “Auowuh…” Tangannya menekan batu kecil hingga membuatnya merasakan sakit di telapak tangan. Rumi segera berlari untuk menolong Fiona. “Kau. Mari aku bantu.” Dia mengulurkan tangannya ketika dia berbicara. Fiona melihat uluran tangan itu, dia meraihnya saat dia bangkit. “Terima kasih.” Rumi mengangguk, “Sama-sama.” Setelah bangkit atas bantuan Rafael, Willian menghampiri Fiona, “Terima kasih, sudah menolong saya.” Fiona hanya mengangguk sebagai tanggapannya. Kemudian, pria tua itu mengeluarkan sebuah amplop coklat dari tasnya sebelum dia memberikannya pada Fiona. “Apa ini?” Fiona mengerutkan keningnya saat dia bertanya. Matanya bergerak ketika dia berbicara. “Ini imbalan karena kamu sudah menolong saya. Ambillah.” Willian memberinya intruksi tetapi gadis itu menggeleng. “Tidak, saya menolong dengan tulus.” Karena Fiona menolaknya, maka Willian tidak memaksanya. Dia menjadi semakin yakin untuk menjodohkan Fiona dengan Rafael. Tampaknya wanita ini adalah wanita yang baik. Waktu tidur telah tiba ketika malam sudah larut. Semua tim pergi beristirahat kemudian sebelum mereka terbangun di pagi harinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN