Selang beberapa hari setelah pemeriksaan ke dokter, morning sickness yang Mia alami telah banyak berkurang. Mia sudah beraktivitas sebagaimana biasa tanpa banyak kendala. Di pagi hari ia akan bekerja di dapur restoran dan saat sore hati dia ikut kelas kejar paketnya. Nadia yang menemaninya merasa sangat senang dengan kesehatan Mia yang membaik. Namun masih banyak rasa khawatir yang menggelayut di hatinya. Dia khawatirkan banyak hal tentang Mia, ia sadar bahwa kelegaan ini tidak berlangsung lama. Ia harus berpacu dengan waktu agar Mia dapat terlindungi dengan baik sebelum dia menikah nanti dan meninggalkan Mia sendiri di asrama ini. Namun tiba tiba ia teringat sesuatu yang membuatnya buru buru mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. “Hallo... “
“Sayang, apa kamu nanti ada waktu? “
“Iya, ini tentang undangan pernikahan kita. Juga... rumah kita nanti. “
“Renovasi nya sudah selesai belum? “
“aku mau bicarain sesuatu boleh, nggak? Ini sesuatu yang sensitif dan... secret. Aku harap kamu bisa keep. “
“Iya, aku nggak bisa sembunyiin ini dari kamu. “
“Bukan, ini bukan tentang kita. Tapi aku harus diskusiin ini dari kamu dan nggak bisa ambil keputusan sepihak. “
“Kita ketemu di tempat biasa ya... Sepulang aku ngampus, ok? “
------- ---------
Sore yang redup ditemani musik yang mengalun lembut, Nadia berhadapan dengan sosok yang dihubungi ya tadi pagi. Di cafe tempat mereka janjian, di sudut favorit mereka segelas americano hangat menemani pertemuan mereka.
“Sayang, aku minta maaf sebelumnya. Ehmm, “ Nadia berat melanjutkan kalimatnya.
“Ada apa sih, Cantik... “ jawaban itu membuat Nadia tersipu malu. Tunangannya itu selalu saja membuatnya merasa tersanjung.
Tapi Nadia tak kunjung mampu mengurai keresahannya.
“Apa sih, kok kamu sebegitu galaunya? Masalah apa, Sayang? Hmmm” lagi lagi tunangannya mencoba membuat Nadia mengungkapkan isi hatinya.
“Aku bingung Sayang ngomongnya. Aku mulai dari mana. Gini aja ya, aku jujur sama kamu ya Yang, tapi tolong keep. Jangan sampai orang lain tahu karena aku udah janji buat jaga ini. Aduh aku mulai dari mana ya... “
Nadia masih saja resah.
“Minum, minum aja dulu. Tarik napas, pelan pelan, buang.... Sekarang kamu mulai cerita, “ Nadia pun mengikuti instruksi kekasihnya itu dan ia mulai curhatnya.
“Kamu tahu Mia, kan? “cerita Nadia mengawali. Dan kekasihnya itu menjawab dengan anggukkan kepala.
Nadia menghela napas berat.
“Jadi.... Mia sekarang lagi hamil. “
Sontak mata Handoko terbelalak. Terkejut dengan yang didengarnya. Gadis polos itu, hamil? Dia sangat tidak menyangka. Namun Handoko, seperti biasanya tidak pernah menyela Nadia. Ia membiarkan Nadia menyelesaikan ceritanya.
“Mia jadi korban p*********n, dan sekarang hamil. “
“Lalu... “sambung Handoko.
“Sebentar lagi kita nikah, aku nggak tega ninggalin Mia sendirian.”
“Bukannya Mia sekampung sama Yusuf? “
Nadia mengangguk menjawab pertanyaan Handoko.
“Lalu Yusuf tahu mengenai hal ini? “
Dan lagi lagi Nadia menjawabnya dengan anggukkan.
“Lalu apa masalahnya, Cantik... “ sekali lagi Handoko membuat Nadia tersipu karena memanggilnya cantik.
“Sayang, aku khawatir jika perut Mia membesar dan dia tetap tinggal di asrama dia akan jadi gunjingan anak anak asrama. Saat itu terjadi kita udah menikah dan nggak ada yang bisa melindungi Mia. “
“Bukannya Mia tanggung jawab nya Yusuf? “ Seloroh Handoko.
“Iya, tapi kamu pikir apa yang bisa dilakukan Mas Yusuf? “
Handoko diam berpikir sejenak. Yusuf yang ia kenal memang bukan orang yang bisa bertindak berani. Memang Yusuf baik dan tidak ragu menolong orang, tapi ini sesuai yang riskan dan sangat sensitif.
“Nah loh, kamu bingung juga kan mikirnya, “Nadia berseloroh.
“Trus, kamu punya ide?”tanya Handoko penasaran.
“Itu dia, aku kepikiran buat mindahin Mia ke rumah baru kita saat perutnya mulai membesar. Biar dia melahirkan di rumah kita dan kita rawat anaknya sampai setidaknya Mia mampu merawatnya seorang diri.”
Kening Handoko berkerut. Ia mencerna kalimat demi kalimat yang diucapkan kekasihnya.
Lama dia terdiam hingga Nadia yang sudah tidak sabar mendapatkan persetujuannya.
“Mas... , “ panggilan Nadia seketika menyadarkan dari alam angannya.
Handoko masih gamang. Berat baginya untuk menyetujui niat baik calon istrinya tersebut, namun tidak tega puula menolak permohonan Nadia dengan wajah penuh harap tersebut. Handoko menghela napas panjang. Sedikit bergumam menyatakan keberatan, namun ia tertekan. Hingga akhirnya ia lontarkan sebuah pertanyaan. “Tapi Sayang, bukannya nanti Mia akan sungkan pada kita? “
Dahi Nadia berkerut dan alisnya meninggi mendengar pertanyaan Handoko.
“Kita pengantin baru, Sayang... Kita akan banyak mesra mesraan yang akan membuat Mia rikuh dan malu ketika tidak sengaja melihatnya, “lanjut Handoko.
“Bukan, bukan begitu maksudku... , “ Nadia tampak susah payah menjelaskan idenya.
“Kapan hari kan kamu bilang sewa apartementmu masih sampai tahun depan. Sementara kita tinggal di apartemen dulu. Nanti ketika waktu sewanya habis dan Mia sudah melahirkan, baru kita pindahn di rumah kita sendiri. Sampai saat itu tiba, kita punya waktu berpikir bagaimana jalan keluar untuk Mia dan anaknya, “tegas Nadia menutup penjelasannya. Ia berpikir idenya cukup briliant, setidaknya ia bisa bernapas lega dan tenang saat akan mempersiapkan pernikahannya.
Sementara Handoko manggut-manggut seperti sudah dapat menerima gagasan Nadia.
“Sayang, kamu sudah diskusikan ini dengan Yusuf? “ tiba tiba Handoko bertanya.
“Nah, itu yang ingin aku bahas sama Mas. “
Nadia menyeruput americanonya yang terasa lebih hangat dari sebelumnya. Wajahnya menggambarkan ekspresi kenikmatan kopi buatan cafe tersebut.
Handoko masih terdiam takut menerka-nerka.
“Apa kamu pikir Mas Yusuf setuju ya jika Mia kita bawa? “
Pandangan Nadia menerawang.
Ia teringat terakhir kali ia ijin membawa Mia ke dokter, Yusuf malah mengantarkan mereka. Dan terbesit lagi ingatan saat Yusuf marah saat Mia mengaku korban p*******n, malah menyuruh mengatakan bahwa dialah ayah si bayi dan akan bertanggungjawab atasnya. Hingga tanpa sadar terlontar pertanyaan dari bibir Nadia, “Mas, mungkin gak sih kalau Mas Yusuf itu bapaknya bayi yang dikandung Mia? “.
Seketika Handoko terbelalak. Untung saja ia tidak sedang minum kopi. Mungkin ia akan tersedak atau malah menyemburkan kopi ke wajah Nadia.
“Sayang, kamu ngomong apa sih? “, Handoko mencoba untuk membunuh rasa ragu jika saja telinganya salah dengar. Namun Nadia malah menegaskan bahwa ia tidak salah dengan menyatakan pernyataan gamblang.
“ Pernah nggak sih Mas perhatikan Mas Yusuf kalau lihatin Mia? Seperti ada sesuatu gitu lo...”ujar Nadia penuh selidik.
Handoko tidak menjawab, kembali larut dalam pemikiran yang disajikan Nadia. Kemudian mengangguk pelan dan berkata, “ Jika benar bayi itu anaknya Yusuf, pasti dia sudah menyiapkan tempat bahkan sebelum kita menikah. “
“Kita tunggu dan lihat saja nanti. Jika dugaanku salah, kita yang akan membantu Mia. “