Mia masih menangis sendirian diujung jalan beraspal di tapal batas desanya. Bingung dan ragu hendak kemana kakinya akan dilangkahkan. Terbersit penyesalan dan keputusasaan yang membuatnya berpikir apakah mati itu lebih baik? Dia bahkan tidak peduli bila langit di atas kepalanya mulai menghitam. Ia masih saja menangis sesenggukan. Hingga sebuah kendaraan tiba-tiba menepi mendekatinya. “Kamu baik-baik saja?”, sebuah suara tertuju padanya. Mia tak menjawab, isaknya bertambah keras. Si pengendara motor itu turun dan mendekatinya, ia menepuk bahu Mia dan berkata, “Kamu mau ikut aku? Kerja di Jakarta.” Isaknya berhenti, seolah menjawab kegalauan Mia. Mia lantas mendongakkan kepalanya melihat siapa yang bicara padanya. Hening, Mia menatapnya lekat lekat. “Mas Yusuf? “ Si empunya nama mengangguk dan tersenyum. “ Bagaimana Mas bisa ada di sini? Bukannya ada di Jakarta? “, tanya Mia polos. Yusuf tersenyum simpul. “Panjang ceritanya, kita ngobrol sambil jalan yuk”, ajaknya. Mia tidak serta merta ikut. Dia kembali meyakinkan dirinya dan lawan bicaranya. “Mas, Mas tahu apa yang terjadi, kan?”tanyanya ragu. Ia tidak mau apa yang terjadi padanya memberi beban pada orang yang akan menolongnya. Aibnya akan melukai orang lain, pikirnya. Yusut tidak menjawab, ia kembali hanya tersenyum dan mengangguk. “Saya berdosa, Mas... Ibu meninggal karena saya. Saya bahkan tidak tahu apa yang terjadi malam itu. Saya binggung. Bapak ngusir saya... “ dan tangis Mia kembali pecah. Yusuf tidak bersuara. Hanya menunjukkan senyuman getir yang sulit untuk ditafsirkan. Dia memeluk Mia, membiarkan dadanya yang bidang menjadi tempat Mia menumpahkan rasa sedihnya. Matanya menatap kejauhan nanar. Tampak sebersit luka yang tak mampu didefinisikan. Hari pun tak terasa beralih malam. Mia akhirnya mengikuti Yusuf untuk hijrah ke Jakarta.
Sesampainya di Jakarta, Mia ditempatkan di asrama restoran tempat nantinya Mia akan bekerja. Yusuf menjelaskan pada karyawannya jika Mia adalah tetangganya dari desa dan dia akan bekerja bersama dengan yang lainnya mulai esok hari. Yusuf tahu Mia tidak membawa apapun bersamanya. Hanya sehelai baju yang dikenakannya. Di perjalanan tadi pun dia meminjamkan jaketnya pada Mia. Karenanya Yusuf meminta tolong temannya untuk membelikan semua kebutuhan pribadi Mia. Dia paham Mia masih sangat muda seharusnya ia masih bersekolah. Yusuf mempertimbangkan untuk menyertakan Mia dalam kejar paket sesuai jenjang yang seharusnya. Yusuf nampak sepenuh hati menolong Mia.