"Kak Krystal?"
Kian berdiri di ambang pintu begitu melihat sosok Krystal yang tengah berbincang dengan Tania di ruang keluarga. Entah untuk alasan apa, tiba-tiba Kian merasa gugup melihat kedatangannya. Ini kali pertamanya lagi melihat Krystal setelah tiga tahun berlalu.
"Ma," Kian menghampiri keduanya hati-hati, dan ketika Krystal menoleh, rasanya jantung Kian mendadak sesak, seolah ada bebatuan besar yang menghimpit dadanya dari berbagai sisi.
"Ah, kamu pulang." Tania menoleh singkat dan kembali berbincang kembali dengan Krystal, seolah kehadiran Kian hanya angin lalu.
"Kak Krystal kapan pulang ke Indonesia?" tanya Kian dengan suara lembutnya seperti biasa.
Kian memilin jari jemarinya ketika Krystal mendongak dan menatap matanya lurus. Bertatapan dengan Krystal membuat Kian takut. Ini sudah terjadi sejak bertahun-tahun lalu, sejak Kian pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini. Kian mengingat dengan sangat jelas tatapan penuh amarah Krystal saat itu. Kata-k********r, caci maki, dan juga lemparan vas bunga yang mengenai kepala Kian hingga mengalirkan cairan merah kental—yang meski tak seberapa, tetap saja membuat Kian kecil syok bukan main. Apalagi kejadian itu berlangsung tak lama setelah Kian pulang dari rumah sakit.
Kala itu, Kian kecil yang tak tahu apa-apa selain hanya mengikuti ayahnya hanya tertunduk, menerima rentetan kalimat menyakitkan yang membuat jantungnya pilu. Kian ingin berteriak sejadi-jadinya, apa salahnya? Apa yang ia lakukan sehingga ia harus menanggung semuanya? Jika memang ia tak layak dipungut maka, cukup acuhkan saja Kian, jangan pedulikan! Tapi tentu hal itu tidak Kian suarakan. Ia hanya menyimpannya dalam hati, sehingga sesak semakin membelenggunya.
"Ma, Krystal lelah. Krystal ke kamar dulu."
Kian menatap Krystal yang bergegas berdiri, tanpa menjawab pertanyaan Kian, atau pun tersenyum sebagai awal pertemuan mereka. Selalu begitu, hal yang biasa tetapi Kian masih tak terbiasa.
***
Kebiasaan Kian yang tak kunjung berhenti sejak dulu adalah, terbangun tengah malam dengan perasaan sesak karena mimpi buruk yang ia alami. Bahkan Kian ingat dengan jelas, ketika pertama kali mimpi itu menghantuinya lima belas tahun lalu, sepanjang malam setelah terbangun yang dilakukannya hanya memeluk diri sendiri. Dingin, sepi, sesak, sendiri. Kian ingin memeluk siapa pun saat itu. Ia sangat takut. Tapi Kian sadar, ia sendirian meski nyatanya ada Dirga, Tania, dan Krystal. Ia sadar, bahwa ia hanya harus bertahan sendiri.
Kian menegakkan tubuh dan meraih sebuah pas foto di nakas. Disentuhnya wajah wanita cantik yang tengah tersenyum dengan seorang gadis kecil di gendongannya di foto tersebut.
"Bunda," lirih Kian. "Sudah belasan tahun, dan Kian masih takut tidur sendiri. Bunda tahu karena apa? Karena bayangan hari itu selalu menghantui Kian. Kian membencinya, Bunda. Kian tidak suka mengingat bagaimana kematian yang tragis merenggut Bunda dari sisi Kian. Itu sangat menakutkan sekaligus menyakitkan," racau Kian sesak. Bulir-bulir air mata jatuh deras dari pelupuk mata cantiknya. "Terkadang Kian berpikir, kenapa Kian tidak pergi saja dengan Bunda? Kian...," Kian menghentikan racauannya karena tersedak tangisnya sendiri.
"Bunda, Kian mau meluk Bunda. Kian nggak suka sendirian."
Kian bergerak lemah menghapus sisa-sisa air matanya. Lantas gadis itu berjalan pelan menuju jendela. Dibukanya lebar-lebar jendela kamar tersebut meski angin dingin yang masuk membuat tubuhnya menggigil.
Kian hanya membutuhkan udara segar saat ini. Ia tidak mau sesak yang menerkamnya semakin menjadi-jadi.
Lama, yang dilakukan Kian hanya menatap nanar keluar. Hingga, sebuah suara gemerisik membuat Kian seketika was-was.
Suara apa itu?
Kian mulai mundur selangkah. Perasaannya mengatakan ada sesuatu atau mungkin, seseorang(?) di beranda. Dengan cekatan, Kian mengambil barang apa pun yang bisa ia jangkau, jaga-jaga jika saja itu maling.
Napas Kian memburu, gugup. Dalam hati ia berhitung, satu..., dua..., tig—
"Kian!"
Bugh! Kian melempar buku kamus yang ia genggam ke depan. Buru-buru Kian berlari ke belakang, mengambil barang apapun lagi yang bisa ia gunakan untuk menyerang. Tapi,
"Ki, ini aku!"
Suara itu membuat Kian menghentikan aktivitasnya. Kian menoleh pelan-pelan, lantas mengembuskan napasnya keras-keras.
"Astaga, Bi! Kamu bikin aku hampir jantungan!" desahnya pelan.
Kian mengacak rambutnya dan berjalan menghampiri Fabian yang masih berdiri di depan jendela dengan muka melas. Ia sedikit meringis begitu melihat kening Fabian yang sedikit membiru. Pasti karena ulahnya barusan.
"Ki, itu kamus tebelnya berapa ratus halaman?" Fabian menatap lurus Kian.
Kian meringis. "Maaf, Kirain tadi maling," balas Kian. "Lagian ngapain kamu ke sini malem-malem? Mana manjat tembok lagi."
Bukannya menjawab, Fabian malah mengkerucutkan bibir lucu. "Bukain," lanjutnya, seraya mengedikkan dagu ke arah pintu. Kemudian pemuda itu melompat ke arah balkon.
Kian menggeleng pelan, tetapi tak urung tetap membukakan pintu untuk sahabatnya sedari SMA-nya itu.
"Kabur dari rumah?" Kian tanya setelah ia membuka pintu.
Fabian nyelonong masuk begitu saja meski sudah Kian larang. Ya, namanya juga Fabian, kepala batu. "Bukan kabur, tapi gak dibukain pintu," balas Fabian, duduk di sudut ranjang Kian.
"Terus kenapa ke sini? Bukannya ke rumah Bara, kek, atau siapa."
"Barusan abis dari rumah Bara. Tapi molor dianya kayak bangke. Padahal udah aku gedor kaca kamarnya, udah aku lempar juga pake batu. Kacanya pecah, Baranya masih ngorok. Malah orang tuanya yang keluar, ya udah kabur." Fabian menyahut santai, lantas rebahan di ranjang Kian dengan santainya.
Kian hanya speechless di tempat. "Emang abis dari mana, sih, malem-malem gini baru pulang?"
"Ngapel," balas Fabian ringan.
Mendengar jawaban singkat itu, Kian menghela napas keras dan menepuk kaki Fabian sehingga manusia tersebut membuka matanya yang belum sampai beberapa detik terpejam.
"Pulang!" ujar Kian ketika Fabian menatapnya. "Kalau Ayah tahu kamu tidur di sini, gimana?"
"Gak bakalan! Aku cuma tidur beberapa jam aja. Sebelum matahari muncul, aku janji bakalan pulang."
"Bi!" desis Kian penuh peringatan.
"Cuma sekali ini aja, Ki." Fabian kembali memejamkan matanya santai.
"Ck, ya udah. Mau gimana lagi," ucap Kian akhirnya. Ia hendak berjalan menuju kursi belajarnya, tetapi cekalan tangan Fabian pada lengannya membuat Kian berhenti kemudian kembali menoleh pada Fabian. Dia masih memejamkan matanya.
"Tidur di kasur, nanti badan kamu sakit."
"E-eh? Gimana bisa—"
"Sini!" Fabian bergeser kemudian menarik tangan Kian sehingga Kian terduduk di sudut ranjang. "Kita udah temenan dari SMA, mana bisa aku ngapa-ngapain kamu?"
Kian masih terdiam, tanpa berkedip, tanpa bersuara, atau pun bergerak.
"Tidur. Besok hari pertama kamu kerja," ucap Fabian lagi yang sudah kembali memejamkan mata dengan kedua tangan menjadi bantalan kepalanya. Sangat rileks.
Perlahan-lahan Kian bergerak, merebahkan tubuhnya di sisi Fabian. Namun bukannya terpejam, Kian malah menatap langit-langit dengan nyalang. Mana bisa ia tertidur ketika detak jantungnya begitu keras?
Kian terhenyak begitu Fabian bergerak dan posisi tidur lelaki itu berubah menjadi menghadap ke arahnya. Detak jantung Kian semakin menggila. Fabian, ia begitu dekat dengannya saat ini.
Untuk waktu yang cukup lama, Kian bergeming, menatap wajah damai Fabian yang terlelap. Laju perasaannya semakin tak terkendali. Fabian, bagaimana bisa Kian membatasi perasaannya jika Fabian selalu seperti ini?
Kian memejamkan mata sejenak, berusaha mengatur kembali napasnya yang memberat juga detak jantungnya yang begitu cepat. Kian mundur perlahan, hendak turun dari ranjang sebelum akhirnya suara Fabian kembali menghentikannya, lagi.
"Ke mana, Ki?"
Deg. Jantung Kian rasanya hampir berhenti berdetak ketika tatapan matanya bertemu langsung dengan mata Fabian, dengan jarak yang sangat dekat.
***
"Ke mana, Ki?"
"A-aku...."
"Tunggu. Kamu nangis?" Fabian menatap Kiandra lekat-lekat. Sepertinya ia baru menyadari mata sembab Kian. "Ada apa? Kenapa? Siapa yang nyakitin kamu?" tanya Fabian pelan, berbaring meringkuk seraya menatap Kian lurus.
"Aku nggak nangis, Bi—"
"Kamu gak bisa bohong," sela Fabian, memotong ucapan Kian.
"Aku cuma kangen Bunda." Akhirnya Kian menjawab, meski suaranya goyah di akhir kalimat.
Sedangkan itu, Fabian bergeming. Kian memang pernah bercerita mengenai asal-usulnya pada Fabian. Kian bukan anak kandung Mama Tania. Kian hanyalah anak dari istri kedua ayahnya, Agni. Anak dari istri yang sangat dicintai Dirga hingga ajal menjemput wanita tersebut. Tapi ada beberapa hal yang tak pernah Kian ceritakan pada orang lain termasuk Fabian; bahwasanya Kian tertekan dengan keadaan yang mengharuskan dirinya sempurna, yang mengharuskan ia bersikap baik-baik saja di atas perasaannya yang terluka.
Kian cenderung selalu bersikap baik-baik saja. Dia tidak pernah menunjukkan apa-apa bahkan ketika dia terluka. Sering kali Fabian kecolongan, saking tidak bisa membaca Kian.
"Apa ini juga alasan kenapa kamu masih bangun jam segini?" bisik Fabian, membelai pipi putih Kian yang kini sedikit memerah seiring dengan mengalirnya setetes air mata di sana.
Kian mengangguk kecil tanpa bersuara, kemudian mulai terisak begitu Fabian meraih tubuhnya ke dalam dekapan. Kian menangis, melonggarnya dadanya dari sesak yang menghimpit. Di pelukan Fabian selalu nyaman, di pelukan Fabian selalu aman, persis seperti tujuh tahun lalu pertama mereka bertemu. Mungkin itu sebabnya perasaan Kian menjadi serakah, memandang Fabian bukan hanya sebagai seorang teman, tetapi lelaki sesungguhnya.
Berulang kali Kian meyakinkan dirinya untuk berhenti. Namun semakin Kian memaksa, semakin perasaan itu bertumbuh subur. Mengakar kuat hingga Kian tidak tahu bagaimana mengatasinya.
"Aku nggak tahu gimana persisnya perasaan kamu. tapi ketika kamu merasa sendiri, Ki, ingat, kamu masih punya aku." Fabian mengelus rambut panjang Kian dengan sayang. Berharap dengan itu Kian bisa lebih baik.
Namun, isakkan Kian semakin menjadi. Bukan karena dia kesakitan, tetapi karena lega ada seseorang untuk berbagi. Kian melampaui batas yang ia cipta sendiri, menumpahkan kesedihan dan rasa putus asa yang ia punya lewat air mata yang membasahi kaus Fabian. Kian memang membutuhkan pelukan seseorang saat ini. Kian sangat membutuhkannya sejak belasan tahun lalu, di setiap malam mengerikan yang ia lalui.
Kian sadar Kian berharap terlalu besar, tetapi salahkah... bila pada akhirnya Kian ingin pelukan ini ada untuk selamanya?
***