Prolog
“Anak Bunda hebat. Bunda bangga banget sama kamu!”
Gadis bersurai cokelat dengan gaun merah muda tersenyum senang mendengar penuturan ibunya di balik kemudi, sambil tak henti-henti menatap piala besar dan medali emas di pangkuannya. Penghargaan ketiga yang dia bawa pulang setelah memenangkan kontes menyanyi.
“Terima kasih, Kian menang berkat do’a dan usaha Bunda juga,” katanya, melirik sang ibu yang masih fokus pada jalanan.
Anak berusia sepuluh tahun itu memeluk piala tersebut, seolah memeluk harta berharga yang sangat dia sayangi. Meski ini bukan piala pertama untuknya, tetapi piala tersebut berharga karena dimenangkan setelah menampilkan mahakarya Melly Goeslaw yang berjudul ‘Bunda’. Lagu yang membuat ibunya benar-benar menangis haru hingga memeluknya erat usai penampilan.
“Bunda,” panggilnya kemudian, begitu mereka melewati arena wisata yang mulai sepi karena malam sudah semakin larut, ditambah dengan gerimis yang semakin lama semakin berubah menjadi hujan deras. “Kian, kan, udah menang, kira-kira Ayah bakal pulang nggak? Kian mau pergi ke Sea World. Teman-teman Kian hampir semuanya sudah pernah ke sana sama orangtua mereka.”
Terjadi jeda selama beberapa detik sebelum ibunya menoleh dan tersenyum kaku. “Iya. Nanti Bunda hubungi Ayah, ya. Semoga Ayah nggak sibuk dan kita bisa pergi sama-sama!”
“Yeay!” Gadis bersurai cokelat itu memekik girang, bertepuk tangan dengan antusias, hingga medali yang berada di pangkuannya terjatuh.
“Bunda,” lirihnya, berusaha menggapai medali tersebut di bawah kakinya, tetapi tak juga tergapai oleh tangan-tangan mungilnya.
“Kenapa, Sayang?” tanya ibunya, melirik singkat. Jalanan yang gelap dan licin karena hujan deras membuatnya harus ekstra fokus dan hati-hati.
“Medalinya jatuh,” gumam Kian, masih mencoba merogoh ke bawah.
“Nggak bisa keambil?”
“Susah.”
“Sebentar.”
Ibunya melambatkan laju mobil, lalu sebelah tangan yang bebas berusaha menggapai ke bawah kaki Kian, sementara tangan satunya lagi masih memegang kemudi. Tak butuh waktu lama, dia sudah bisa mengambil benda itu, tetapi ketika dia kembali menegakkan tubuh, dia belum sepenuhnya siap melewati tikungan tajam sehingga telat untuk berbelok dan nahasnya—karena dia terkejut—tak sadar dia malah menginjak pedal gas bukan rem sehingga terjadilah kecelakaan mengerikan di jalanan yang sepi itu.
“BUNDA!”
Kian berteriak amat keras saat mobil yang mereka tumpangi seolah melambung dengan amat tinggi dan masuk ke dalam jurang yang curam. Detik-detik menegangkan ketika mobil akan terjatuh, membuat jantung keduanya mencelus. Kian menjerit histeris setiap mobil mereka terbanting pada suatu benda, lalu berguling dan terpental lagi sampai akhirnya benar-benar berhenti setelah terjatuh keras pada bidang datar yang sepertinya merupakan dasar jurang.
“Kian! Kiandra!”
Sebuah panggilan lirih membuat Kian yang hampir kehilangan kesadarannya, terbangun, lalu menemukan ibunya—yang memeluknya sejak tadi—menatap sayup dengan cucuran darah yang mengalir dari pelipis. Bukan hanya itu, tangan wanita tersebut yang membingkai wajahnya pun berlumuran darah. Namun yang membuat Kian histeris adalah, sebuah kaca yang tertancap di lehernya.
“Bunda! Bunda berdarah. Bunda...”
“Kita harus keluar,” gumam ibunya dengan sangat parau dan susah payah.
Kian benar-benar tidak bisa menghentikan laju air mata melihat keadaan ibunya yang begitu mengenaskan. Pikirannya benar-benar kosong. Perasaan takut, sedih, cemas, semuanya bercampur menjadi satu. Gadis kecil itu bahkan tidak ingat bagaimana ibunya tersebut mengeluarkannya dari dalam mobil yang nyaris hancur dan remuk. Dia hanya ingat ketika dia keluar, ibunya duduk sambil memeluknya di pangkuan, lalu memanggil pusat bantuan dengan susah payah.
“Kian.”
“Bunda, Bunda jangan bicara. Itu pasti sakit.”
Kian kecil tidak berhenti menangis sejak tadi, melihat dengan ngeri darah yang bercucuran di tubuh ibunya, terutama di bagian leher di mana kaca yang ukurannya lumayan besar menancap dalam. Dia tak sadar bahwa ibunya menangisi hal yang sama, yakni keadaannya yang tak lebih baik dari dirinya.
“Apa pun yang terjadi, Kian harus selamat. Kian harus bertahan, dan hidup dengan baik. Paham?” gumam wanita tersebut, memegang kepala Kian yang dia tidurkan di pangkuan, berusaha menghentikan pendarahannya meski tangannya sendiri kesakitan.
“Bunda,” panggil Kian lirih, nyaris kehilangan kesadaran.
“Kamu harta Bunda yang paling berharga. Bunda ingin kamu selamat.”
“Bunda, berhent!” Kian menangis di sisa-sisa kesadarannya. Merasakan suhu tubuh ibunya yang semakin menurun.
Lalu suara-suara sirine terdengar. Kegaduhan suara orang-orang semakin lama semakin dekat. Ibunya Kian melambaikan sebelah tangannya yang bebas ketika sebuah lampu senter terarah pada mereka. Usai orang-orang mengetahui keberadaan mereka dan bergegas turun, dia tersenyum. “Kian, maaf, Bunda tidak bisa bertahan,” lirihnya pelan, kemudian wanita itu menutup matanya perlahan. Tangan yang sejak tadi berusaha menghentikan pendarahan Kian mulai melemas, hingga akhirnya tubuh wanita itu ambruk di tanah basah yang kini sudah bercampur dengan darah keduanya.
“Bunda. Bunda. Bunda!”
Kian berusaha bangun untuk melihat bundanya, tetapi tim penyelamat segera datang membawa Kian dan kembali membaringkannya sambil memberikan pertolongan pertama. Yang terakhir kali Kian lihat saat itu, sebelum kesadarannya benar-benar hilang, adalah sosok ibunya yang terkapar mengenaskan. Dibopong oleh beberapa orang dengan lumuran darah yang tidak pernah hilang meski hujan mulai mengguyur.
***