Aku tersenyum saat melihat tangan tersebut masih terulur menungguku untuk menyambutnya, ada binar ketertarikan di matanya saat menatapku dan aku cukup peka untuk melihatnya. Tidak tahu hanya sekedar ketertarikan karena pria bernama Dirgantara ini penikmat wajah cantik atau ada hal lain di diriku yang menarik perhatiannya, yang jelas aku harus memanfaatkan hal ini sebaik mungkin.
Entahlah, aku merasa takdir seakan begitu berbaik hati kepadaku. Di saat aku memutuskan untuk menemui Ayahku, jalan yang aku lalui begitu lancar dan mulus, bonus di pertemukan dengan seorang yang aku tahu dengan persis akan mengantarkanku sampai di depan pintu tujuanku.
Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, aku meraih tangan besar yang terasa keras tersebut, "Alleyah, Alleyah Hakim."
Mendengar nama panjangku kembali alis tebal tersebut terangkat tinggi penuh tanda tanya, yaaah, jika orang biasa saja tidak asing dengan nama Jendral Hakim, sudah pasti seorang yang berada di instansi yang sama apalagi di divisi yang sama pula tentu akan mengenali keanehan nama belakangku yang tidak biasa.
"Hakim? Jangan bilang......."
"Mbak Alle....." Panggilan dari seorang pengendara motor berjaket hijau menginterupsi kalimat Mas Dirga ini. Sungguh sekarang aku ingin tertawa melihat wajah kebingungan Mas Dirga karena aku memilih untuk segera naik ke atas motor matic tersebut.
Aku ingin memanfaatkan kesempatan, tapi aku tidak mau membuatnya terlalu jelas. Bukankah untuk seorang pria mengejar sesuatu adalah hal yang menantang di bandingkan kita yang pasrah menerima.
Sedari aku menerima jabat tangan pria tampan di hadapanku ini aku paham kemana arah dan tujuan pembicaraan, tapi tidak, aku satu langkah di hadapan Anggota Ayahku tercinta ini.
"Aku duluan ya, Mas." Kulambaikan tanganku padanya, tanpa menunggu aba-aba, Mas Ojol langsung melaju membelah kota, dari spion motor matic yang aku tumpangi aku bisa melihat jika Mas Dirga, sosok yang baru aku kenal tersebut berkacak pinggang sembari menggelengkan kepala.
Ada sejuta rencana di kepalaku, dan Dirgantara adalah salah satu bagian dari rencana tersebut.
.
.
.
Gedung Divisi Propam yang aku datangi ini menjulang megah, menunjukkan kuasa dan juga kekuatan yang di milikinya terhadap masyarakat dan Polisi sendiri. Selama ini setiap kali ada oknum polisi yang menyalahgunakan kuasa yang di miliki maka divisi Propamlah yang akan mengatasi semuanya. Mereka akan tampil pertama dalam memberikan statement oknum yang bersalah akan mendapatkan sanksi sesuai tidak kejahatan yang di lakukan.
Lucu sekali memang jika di pikirkan, salah satu divisi paling penting di Kepolisian ini justru di pimpin oleh oleh seorang pria yang sangat tidak bertanggung jawab.
Seorang suami yang menyelingkuhi istrinya dengan adik kandung sang istri, dan demi selingkuhannya, Sang suami bahkan melupakan begitu saja jika ada anak yang dahulu begitu di harapkan.
Lama aku berdiri di luar gedung Propam, sampai akhirnya ada seorang Polisi yang menghampiriku, mungkin dia curiga melihatku mematung cukup lama saat memandangi gedung megah tersebut.
"Mbak, Mbak ngapain panas-panasan di sini? Ada keperluan atau mau laporan?"
Pria berpangkat Bharatu Wisnu Saputra tersebut menelitiku, seakan mencari hal mencurigakan dariku, tapi tepat di saat itu pula iring-iringan mobil masuk melewati gerbang yang sontak membuat Bharatu Wisnu Saputra ini langsung memberikan hormat, aku yang tidak ingin tertabrak pun seketika mundur mengikuti tarikan dari Bharatu Wisnu.
Melihat banyaknya mobil yang mengiring tersebut lengkap dengan ajudan yang entah berapa jumlahnya membuatku tidak bisa melihat siapa yang di kawal tapi bisa aku pastikan jika orang tersebut adalah salah satu petinggi di gedung megah ini, atau bisa saja dia adalah orang yang aku cari.
"Yang barusan lewat itu Kadiv Propam, bukan?" Tanyaku padanya yang langsung membuat Polisi muda seusiaku tersebut mengernyit keheranan yang berakhir dengan dia berkacak pinggang ke arahku.
"Iya, kenapa memangnya, Mbak? Mbak ini reporter atau sekedar ngefans sama Danjen sampai bela-belain ngejogrok di mari siang-siang?"
Jika sebelumnya Bharatu Wisnu yang mengernyit keheranan, maka sekarang aku yang mengernyit tidak paham, ada ya orang yang ngefans sama Bapakku itu sampai bela-belain nyamperin ke sini? Mendadak aku bergidik, tidak tahu saja orang itu manusia jenis apa yang di idolakan. Tidak ingin membuang waktu lebih lama aku kembali menatap Polisi yang tengah piket tersebut.
"Saya bukan reporter atau pun fans Pak Dhanuwijaya Hakim, saya putri sulungnya dan sekarang saya mau bertemu beliau, bisa? Ada prosedurkah jika menemui beliau, sepertinya beliau penting sekali sampai pengawalannya begitu ketat."
Bharatu Wisnu bukan lagi terbelalak karena terkejut, tapi dia bahkan melotot hingga bola matanya nyaris lepas dari tempatnya, satu detik berlalu dia memperhatikanku dari atas ke bawah berulangkali seakan aku ini adalah mahluk asing dari planet lain, tapi detik berikutnya, seperti yang sudah-sudah setiap kali ada yang mendengar pengakuanku jika aku ini adalah putri Jendral Dhanuwijaya, tawa Bharatu ini pecah seketika, terpingkal-pingkal kegelian.
Tawanya begitu terbahak-bahak sampai dia membungkuk-bungkuk karena perutnya sakit dan juga air matanya menetes, sepertinya pengakuanku adalah lelucon yang sangat menghiburnya.
Aku sama sekali tidak menyela, kubiarkan Bharatu ini puas tertawa, bahkan tawa pria muda ini sampai mengundang Polisi lainnya untuk mendekat karena penasaran.
"Ada apaan sih, Nu?"
"Iya, kesambet apa Lo ketawa cekikikan nggak jelas."
Susah payah Bharatu Wisnu menghentikan tawanya, bahkan sekuat tenaga pria tersebut berusaha menghentikan, nyatanya apa yang aku katakan tadi terlalu lucu hingga Bharatu Wisnu hanya sanggup menunjuk ke arahku.
"Dia..... Hihihi..... Ngak, ngaku-ngaku...... Hihihi, anaknya Danjen Hakim......., Bang Azhar.. Hihihi."
Kedua polisi yang sebelumnya bertanya tersebut terbelalak, sama terkejutnya dengan Bharatu Wisnu, tapi kali ini dua orang tersebut memandangku dengan serius seakan aku adalah ancaman.
"Mbak, maaf sebelumnya. Tapi saran saya jangan membuat masalah, Mbak." Pria berpangkat Brigadir bernama Azhar tersebut memperingatkanku dengan tatapan tajamnya. "Apa yang Mbak katakan barusan bisa masuk dalam pasal perbuatan tidak menyenangkan dan fitnah. Semua orang tahu siapa anggota keluarga Danjen Hakim, sangat tidak menguntungkan posisi Mbak jika mencari masalah seperti ini."
Astaga, siapa juga sih yang mau cari masalah.
Enggan untuk menjadi badut lebih lama, aku memilih membuka ranselku, meraih dokumen penting yang memang sengaja aku siapkan. Sebuah akta kelahiran milikku, fotokopi buku nikah Bunda dan Ayah yang sudah menguning saking lamanya karena sudah nyaris berusia 17 tahun, dan juga foto pernikahan mereka dulunya pada pria bernama Azhar tersebut karena aku merasa dialah yang berpangkat paling tinggi di antara yang lain.
"Semua orang memang tahu anggota keluarga Jendral kalian, tapi kalian tidak akan pernah tahu jika Jendral kalian mempunyai satu putri dari pernikahan pertamanya."
"............"
"Dan itu saya, orang yang baru saja kalian jadikan badut bahan tertawaan."