Eits! Sebelum baca ada baiknya jika ingin up setiap hari, bolehlah kakak TAP LOVE DI SAMPING EPISODE dulu yaa. Satu Love kalian sangat berarti buat penulis/akuu :) Thankyouuu :*
Halaman 11
.
.
.
Teresa merasakan tubuhnya bagai terombang-ambing, masih terlelap. Kerutan pada kening gadis itu nampak sekilas, merasa tidak nyaman saat seseorang tiba-tiba saja menggendongnya tengah malam. Gadis yang tadi tengah meringkuk di dekat gudang, merasakan samar bagaimana kedua lengan seseorang mengangkat tubuhnya entah kemana.
Bahkan saat suara beberapa anak kecil terdengar, “Lho, Ayah kenapa tiba-tiba gendong, Kak Tere?!” Teriakan Rasi seolah tidak terima dengan perlakuan sosok laki-laki paruh baya yang membuka pintu kamar milik Teresa. Saat Rasi dan semua teman-temannya tidur di sana.
Mark berdiri di hadapan Rasi, masih menggendong tubuh Teresa yang tertidur lelap. Menatap sosok mungil di depan sana, “Kembalilah ke kamarmu, Rasi.” ucap sang empunya singkat. Rasi berniat protes kembali, sebelum tubuh ibunya ikut menyembul masuk ke dalam ruangan.
“I-Ibu, juga?!” Manik bulat Rasi membulat tak percaya. Wanita yang hampir tidak pernah datang ke kamar ini selama hampir beberapa tahun sekarang menunjukkan diri, masuk dengan pandangan sedikit mengernyit jijik.
Menghampiri sosok putrinya yang masih dibalut baju tidur. Terpaksa membangunkan Rasi pukul satu dini hari seperti ini, setelah Mark memberitahu semua rencana terbarunya untuk Teresa.
Tersenyum lembut, “Rasi, mau ya kembali ke kamar sekarang?” tanya wanita itu sekali lagi. Rasi memberontak tidak mau.
Maniknya menyipit tak suka, menatap sosok sang kakak digendong oleh ayahnya, “Aku kan sedang tidur bersama teman-teman! Suruh saja Kak Tere tidur di ruang tamu!” tukas Rasi cepat. Mengalihkan pandangan, Sofia melirik sekilas ke arah suaminya. Laki-laki itu berusaha menahan amarahnya. Raut tertekuk dan wajah memerah. Ini pertama kalinya Mark menunjukkan wajah itu pada Rasi.
Sofia tidak mau Rasi melihat raut ayahnya seperti itu, memeluk tubuh sang putri. “Rasi, dengarkan saja kata-kata Ibu ya?” Menatap gadis-gadis kecil di belakang Rasi. “Kalian juga tidur di kamar Rasi saja sekarang,”
“Tapi, Ibu!” Rasi berniat protes, sebelum sosok tegap sang ayah bergerak melewatinya. Tanpa bicara atau menyapa sama sekali seperti biasa. Laki-laki itu berjalan menuju tempat tidur. Membaringkan tubuh Teresa.
Aneh!! Sangat aneh!! Kenapa tiba-tiba sikap kedua orangtuanya berubah drastis. Mendapati kedua tangan sang ibu mendorong tubuh Rasi keluar dari ruangan. Mengajak putrinya untuk berbicara.
“Sini sebentar sayang, kalian pergilah ke kamar Rasi dulu, oke?” Tak lupa memberitahu teman-teman Rasi. “Baik, Tante.” Mereka hanya mengangguk paham, setelah itu pergi meninggalkan Sofia dan Rasi yang masih menatap ke dalam kamar sang kakak. Bibirnya mengerucut kesal.
“Ayah, kenapa tiba-tiba menggendong kak Tere sepert itu? Malah ngusir Rasi dari kamar kakak, lagi!” Ia tidak suka jika sedikit saja ayah dan ibunya memberi perhatian lebih untuk kakaknya sendiri.
Sofia tersenyum kecil, mengusap rambut halus milik Rasi, “Maaf, Rasi. Kami terpaksa melakukannya, ada yang ingin Ibu sampaikan padamu,” Mengerjapkan kedua manik polos, Rasi tidak begitu paham.
Tidak tanggung-tanggung memberitahu ide mereka pada Rasi, Sofia menyeringai tipis, “Rasi, tidak suka kan melihat keberadaan kak Tere terus menerus di sini? Apalagi Rasi ingin mengambil kamar tidur ini."
Setengah merengut, Rasi mengangguk kecil, “Iya, tapi Rasi tidak suka begitu saja ayah perhatian dengan, kak Tere.”
“Hanya untuk hari ini dan besok saja, sayang. Rasi mau kan ikuti semua kata-kata, Ibu?” Masih mengelus rambut Rasi, seperti yang Ia kira, gadis kecilnya masih tidak mengerti. Dia hanya memandang polos dan menghisap permen.
“Memangnya kita mau ngapain, Ibu?”
Satu rencana yang baru saja Mark pikirkan tepat sesaat setelah menerima pesan tentang pencairan uangnya jika sudah menyelesaikan tugas dengan benar. Tugas yang dimaksud di sini tentu saja adalah menyingkirkan Teresa.
Tak segan menyeret gadis kecil yang tidak tahu apa-apa dalam rencana mereka. Sofia sudah tidak sabar lagi, dia ingin segera menendang Teresa pergi dari tempat ini.
.
.
.
Gadis kecil yang malang, Sofia duduk tepat di samping tempat tidur Teresa. Membawa satu baskom berisikan air dingin dan handuk kecil. Manik tajamnya menatap sosok kecil yang masih berbaring di tempat tidur. Setelah menerima ide dari Mark, dia terpaksa melakukan ini, tentu saja!
Beberapa minggu melakukan perundungan keras terhadap Teresa dan berakhir mengambil keputusan paling gila yang pernah Ia dengar dari suaminya. Sangat gila!
Kadang pernah sebersit keinginan Sofia membenci Teresa menghilang begitu saja, digantikan rasa kasihan melihat bagaimana sosok mungil itu berusaha keras terbiasa dengan kaki palsunya. Berusaha tersenyum walau seberat apapun masalah yang Ia alami, karena ajaran dari Bibi Amari.
Bahkan setelah kehilangan sang Bibi, tidak pernah sekalipun Sofia melihat Teresa menangis, gadis itu malah cenderung pendiam, seolah tidak peduli lagi dengan sekitarnya. Menyerah untuk merengek dan meminta perhatian pada kedua orangtuanya. Cenderung lebih suka berdiam diri di kamar dan enggan untuk keluar. Kalau keluar pun Teresa hanya sekedar berolahraga, melatih olah tubuh kaki palsunya, dan belajar bela diri? Hanya berpedoman pada film bela diri yang sering Teresa tonton.
Sofia memperhatikan itu semua, tapi Ia berusaha agar tidak peduli. Hari ini ah bukan, besok mungkin akan menjadi hari terakhir Teresa berada di sini. Antara senang dan sedih, untuk apa sebenarnya Teresa ada di sini? Kadang Sofia dan Mark sering kali melupakan ekstensi keberadaan putri sulungnya ini, mereka masih belum bisa menerima keadaan asli Teresa yang pincang. Sangat berbeda dengan Rasi.
Lebih baik Teresa menghilang dari kehidupan mereka, mencari hidup yang lebih baik di luar sana. Perlahan mengangkat salah satu tangannya, manik Sofia yang biasanya nampak nyalang berubah teduh walau sesaat,
“Putriku yang malang,” bisik wanita itu parau, mengelus puncak kepala Teresa lembut. Wajah cantik yang sangat mirip dengan Rasi, turunan darinya dan Mark. “Kalau saja kau terlahir sempurna, mungkin tidak akan seperti ini jadinya.” Menyentuh helaian rambut kecoklatan milik Teresa, lembut dan halus.
Wajah polos ini akan memperlihatkan ekspresi seperti apa lagi setelah mereka melanjutkan rencana besok? Sofia ingin tahu.
Bergerak menundukkan tubuhnya, dengan singkat untuk yang pertama kali Sofia mengecup kening Teresa. “Kami tidak ingin kau menjadi penghalang bagi kehidupan kami, Tere. Maafkan ayah dan ibu,” Ucapan terakhirnya seolah menjadi pertanda.
Teresa harus pergi dari tempat ini.
.
.
.
.
Pukul 7 pagi-
Bibi, ada dimana sekarang? Apa Bibi sehat di atas sana? Apa Bibi selalu memperhatikan kondisi Tere? Kenapa Bibi harus pergi secepat itu?
Tubuh Teresa penuh dengan keringat, merasa tidak tenang dalam tidurnya. Bayangan tentang tubuh Bibinya yang mengambang di kolam renang terus terngiang, meringsek tanpa membuka mata, Teresa menangis dalam tidur. Merengek dan merasakan sesak napas selama berkali-kali.
Ruangan terasa panas, tidak tahan lagi, kedua manik hazelnya perlahan terbuka kembali, pelan merasakan sesuatu menyentuh kulitnya. Handuk berbulu lembut menyapu keringat di sekitar kening dan tubuh Teresa.
Entah dia sedang bermimpi atau apa. Melihat sesosok wanita bertubuh ramping duduk di pinggir tempat tidur. Memeras handuk dan kembali menghilangkan peluh di tubuh Teresa. “Ssh, tidurlah lagi, Teresa.” Suara yang mengalun lembut, pertama kalinya setelah hampir dua tahun Teresa tidak mendengar suara seperti itu.
Dingin air di handuk tersebut membuatnya semakin terbangun, tidak bisa menahan lagi, melawan rasa kantuknya, perlahan membuka kedua mata. Walau sedikit buram, Teresa bisa merasakan seseorang berada di sampingnya saat ini. Terlebih lagi, kenapa tubuhnya dalam posisi berbaring?
Bukannya semalam dia tidur dengan posisi meringkuk di dekat gudang. Tidak ada angin dingin yang menerpa tubuhnya, padahal Teresa tidur tanpa membawa selimut. Aneh, mengernyitkan alisnya bingung, “Ungh,” erang gadis kecil itu pelan. Kasur yang empuk, aroma kamarnya, handuk basah menyeka keringat Teresa, semua hal yang biasa dilakukan Bibi Amari.
Membuka kedua mata secepat mungkin, Teresa bangkit dari posisi berbaringnya, “Bibi!!” Menyibak selimut tiba-tiba, mencari keberadaan sang Bibi di sampingnya.
“Kau sudah bangun?” Mengira bahwa sosok itu adalah wanita paruh baya yang Teresa kenal. Kedua manik hazelnya membulat tak percaya. Tubuh Teresa membeku, selama hampir beberapa tahun berlalu, kapan terakhir sang ibu datang menjenguknya di kamar?
Sosok Sofia duduk di sana, memegang sebuah handuk, dan menatapnya dengan raut khawatir? Teresa tidak salah lihat kan? Mengerjapkan kedua mata, bahkan mengusap berkali- kali. Dia tetap melihat ibunya di sana.
“Ada apa, hm?” Sofia tersenyum kecil, hal yang langka Teresa lihat. “I-Ibu, kenapa ada di sini?” Reflek bertanya, wanita itu terkekeh sekilas. Perlahan mengangkat salah satu tangannya, tubuh Teresa bereaksi cepat, ikut mengangkat kedua tangan, menutup kedua mata, memberikan pose bertahan yang sering Ia lakukan.
Apa ibunya mau melukai dia lagi? Itu yang ada di pikiran Teresa.
Kembali merasakan hal aneh, sesuatu menyentuh salah satu pipinya pelan. Jantung Teresa berdetak kencang, Tak percaya, “I-Ibu?” Bibirnya sampai kaku untuk mengatakan satu kalimat itu saja.
“Bagaimana kondisimu? Kenapa kemarin tidur di dekat gudang, hm? Untung saja ada ayahmu yang langsung menggendong Tere ke sini,” Perasaan terombang-ambing yang Teresa kira mimpi belaka. “A-ayah, membawa Tere ke sini?”
“Tentu saja, kau bisa sakit kalau tidur di sana,”
Oke, memang aneh. Teresa yang baru bangun dari tidurnya saja sudah bisa mencium keanehan sikap sang ibu. Wanita yang bahkan tidak pernah menyempatkan waktu untuk mengecek kondisinya sekarang nampak khawatir kalau dia jatuh sakit?
Mencoba tersenyum tipis, Teresa tidak nyaman. Perubahan sang ibu terlalu drastis. Sedikit risih, gadis kecil itu hanya diam, melihat semua gerak-gerik ibunya. Bagaimana wanita itu mengambil baskom kecil di samping tempat tidur. Tersenyum padanya,
“Ibu, turun ke dapur dulu. Siapkan dirimu, dan mandi, oke. Ayah ingin mengajak kita semua jalan-jalan hari ini,” ujar wanita itu sekali lagi.
“Ja-jalan-jalan? Tere, ikut juga, Bu?” Menunjuk dirinya sendiri, Sofia mengangguk kecil, “Bersihkan tubuhmu dulu, setelah itu kita sarapan bersama.”
Meninggalkan Teresa di dalam kamarnya sendiri, gadis itu masih membeku tak percaya. “Kenapa ibu tiba-tiba berubah?”
.
.
.
Tidak hanya ibunya saja, tapi ayah dan juga Rasi menyambut Teresa yang baru saja turun dari lantai atas. Setelah menghabiskan beberapa menit untuk mandi dan menyiapkan diri, sedikit ragu masuk ke dalam ruang makan. Sang adik yang sedang bermain dengan bonekanya melihat kedatangan Teresa.
Turun dari kursinya dan menghampiri Teresa, berbeda dengan wajah tertekuk kemarin. Rasi justru tersenyum lebar, “Kakak, duduk di samping Rasi hari ini ya?!” Menarik tangan Teresa begitu saja, mendekat ke meja makan. Wajah Teresa menunduk saat mendekati sang ayah. Laki-laki itu masih sibuk dengan koran miliknya.
“Duduklah, setelah itu kita sarapan bersama. Ibumu sudah memasak khusus untuk hari ini,” Sosok tegas itu tersenyum tipis, tidak ada raut kasar dan menyeramkan lagi. Teresa mengangguk, mengikuti arah tarikan Rasi. Mereka duduk bersama.
Ayah dan ibunya tersenyum, tidak ada pandangan jijik lagi, Rasi kembali berceloteh ria di depannya seperti dulu. Tanpa menyadari Teresa mulai terbuai dengan hal-hal yang Ia inginkan sejak dulu. Gadis itu tersenyum lebar.
Mungkin saja, Bibi Amari di atas sana menceritakan semua kisah Teresa pada Tuhan, jadi Tuhan mengabulkan keinginan Teresa.
.
.
.
10 tahun usianya. Teresa hidup hampir tanpa kasih sayang orangtuanya. Tumbuh menjadi sosok yang pendiam dan pemalu. Saat dia mengira bahwa penderitaannya akan berakhir. Saat kaki itu bisa Ia gerakan dengan leluasa, sempurna. Bahkan dia tidak terlihat seperti menggunakan kaki palsu.
Teresa menguasainya dengan mudah, mungkin saja kedua orangtuanya tidak akan pernah sadar tentang bakatnya selama ini. Jika Rasi memang terlahir dengan kondisi sempurna serta paras yang rupawan seperti Ibunya. Meskipun wajah mereka sama-
Beda halnya dengan Teresa, gadis itu mendapatkan kejeniusan serta kemampuan olah tubuh yang diturunkan dari sang Ayah. Sosok tegap yang dulunya pernah memiliki profesi sebagai guru bela diri.
Kegesitan, kelincahan walau kondisinya seperti ini. Semua pelajaran itu Ia pelajari dalam satu malam. Teresa jenius, namun sayang. Kedua orangtuanya hanya mencari kepintaran dan kecantikan mereka pada diri Rasi. Bukan dirinya.
Teresa sempat memikirkan hal itu selama beberapa tahun ini. Melihat perubahan sikap semua keluarganya, mungkin saja hidupnya akan berubah sekarang. Menjadi lebih baik, bersama mereka.
Bolehkah Teresa berharap walau hanya sebatas impian kecil saja?
.
.
.
.
Hari itu juga-
Dibawah guyuran hujan, untuk yang kesekian kalinya. Suara raungan tangis Teresa serempak turun, membasahi tubuh, pipi dan bumi. Hujan menjadi saksi bagaimana sakit hatinya gadis kecil itu. Harapan yang Ia impikan dulu, hancur seketika dalam satu hari.
Saat ketiga orang itu memberikannya harapan besar, serta kasih sayang yang melimpah dalam satu hari. Tapi hari itu juga Teresa tidak menyangka, akan menjadi mimpi buruk untuknya.
“KALIAN MENINGGALKANKU DI SINI!! KENAPA!! AYAH!! IBU!! RASI!!” Berteriak, menangis, bahkan meraung bak orang gila. Kedua tangan mungil itu mengikis tanah tempatnya berpijak sekarang. Duduk dengan lemas, membiarkan dress cantik yang Ia gunakan kotor terkena air hujan dan debu.
Rambut yang tadinya tertata manis, dengan beberapa hiasan di kepala hancur, terurai akibat tarikan dan jambakan yang dilakukan oleh adiknya sendiri. Perih dari besi yang menusuk kakinya kembali datang.
“KALIAN MEMBOHONGIKU!!!” Berteriak mengambil batu kecil, melemparkannya entah kemana. Meraung terus menerus.
21 Desember, pukul 8 malam. Langit tanpa bintang, mendung menutupi angkasa, hujan jatuh mengguyur seluruh Jakarta. Tangisan Teresa menyatu dengan tetesan air bening membasahi tubuhnya. Tidak ada tempat hangat, rumah yang mewah atau kasih sayang kedua orangtuanya.
Dia sendiri. Harapannya hancur lagi dan lagi.