Hal. 10 Teresa Oriel (To Much Pain)

1887 Kata
Eits! Sebelum baca ada baiknya jika ingin up setiap hari, bolehlah kakak TAP LOVE DI SAMPING EPISODE dulu yaa. Satu Love kalian sangat berarti buat penulis/akuu :)  Thankyouuu :* Halaman 10 . . . Selama dua tahun menjalani hidup tanpa kehadiran Bibi Amari di sampingnya. Teresa tumbuh menjadi gadis kecil yang tidak dianggap, hidup di dalam rumah besar keluarganya sebagai sosok tak terlihat. Kamar yang berada di pojok rumah lantai atas, sementara Rasi kini mempunyai kamar khusus yang sangat besar. Gadis kecil itu sering sekali mengajak teman-temannya ke rumah untuk bermain. Sementara Teresa, dia tetap mengurung diri di dalam kamar. Sudah lelah meminta belas kasihan agar kedua orangtuanya sedikit saja mau menoleh pada Teresa. Dia lebih suka berdiam diri di kamar, seperti biasa meringkuk di pojok ruangan. Tidak ada yang menghampirinya bahkan hingga keesokan hari. Terbiasa tidur di lantai, Teresa takut tidur di kasur empuk itu. Begitu banyak trauma yang Ia dapatkan dari kejadian dua tahun lalu. Merasa takut dengan kasur yang nyaman dan empuk, membuatnya terlelap bahkan tidak bisa melihat atau mendengar teriakan minta tolong Bibi Amari malam itu. Kalau saja dia masih meringkuk di sudut ruangan, tetap terjaga, pasti setidaknya sang Bibi bisa diselamatkan. Takut hujan dan petir, setiap hujan turun dengan derasnya ditambah sambaran petir tiada henti, Teresa selalu berteriak di ruangannya. Meringkuk, memeluk bantal guling, tubuhnya gemetar, dan anehnya tidak ada air mata yang mengalir dari pelupuknya. Sudah hampir dua tahun Teresa hampir tidak pernah menangis sama sekali. Takut akan kegelapan, semenjak hari itu, tidak sedetik pun Teresa pernah mematikan lampu kamarnya. Lampu yang membantu Ia terjaga dan tidak pernah tidur dengan lelap, semua hal yang terkait dengan kematian Bibi Amari. Bahkan ketakutannya melihat kolam renang, hanya melihat tempat itu saja sudah mengingatkannya lagi dan lagi. Tubuh besar Bibinya yang mengambang di sana tanpa nyawa. “Ugh, Bibi.” Memeluk lututnya, hari ini pun Teresa menghabiskan waktunya di dalam kamar. Sudah hampir dua tahun merayakan ulang tahun sendiri. Berusaha keras menguatkan diri, tanpa ada siapapun yang mendorong Teresa untuk terus hidup, kecuali kalimat terakhir sang Bibi. Kenapa Bibinya bisa pergi secepat itu? Hal yang masih membuat Teresa bingung, kematian Bibi Amari yang sangat mendadak, bagaimana mungkin wanita itu bisa ada di area kolam renang dini hari saat hujan turun dengan deras? Aneh, tentu saja. Tapi kasus itu langsung ditutup entah karena apa. Ayah dan ibunya mengklaim kalau kematian sang Bibi terjadi karena Bibi Amari tidak sengaja mengambil sesuatu di tempat itu dan terpeleset jatuh tanpa ada siapapun yang tahu. Sangat aneh. . . . Tak sengaja mendengar suara langkah kaki berlari mendekat ke arah kamarnya. Pintu kamar tiba-tiba terbuka cepat, diiringi dentum keras yang membuat Teresa kaget. Tubuh gadis itu berjengit, masih dalam posisi meringkuk. Keningnya tertekuk saat melihat beberapa teman-teman Rasi masuk ke kamarnya, “Wuah, ini jadi kamar kita malam ini?! Kalau di kamarmu tidak ada balkonnya, Rasi. Di sini ada!” Seorang gadis yang tidak Ia kenal, seenaknya masuk dan berjalan menuju balkon, seolah tidak melihat keberadaan Teresa di dalam sana. Bahkan beberapa gadis langsung naik ke tempat tidur, berguling di sana, dan tertawa. Teresa masih diam di tempatnya, melihat semua reaksi gadis-gadis itu. Sampai akhirnya saat sosok Rasi muncul dari balik pintu, masuk ke dalam kamar dengan angkuh. Mencondongkan tubuhnya seolah tidak merasa salah sama sekali, tepat saat kedua manik gadis itu menangkap sosok Teresa tengah meringkuk di sudut ruangan. Berjengit aneh, menatap Teresa dengan pandangan jijik. “Kakak, sedang apa di sana?” Tiba-tiba saja bertanya seperti itu, “Kakak, yang seharusnya bertanya, kenapa kau tiba-tiba masuk ke kamarku?” tanya Teresa kembali. Satu dengusan dapat Teresa dengar, gadis itu berjalan masuk dan duduk santai di tempat tidur. Beberapa gadis baru menyadari keberadaan Teresa, mereka seolah terbiasa dan tidak kaget. Justru mendekati Rasi dan menatap Teresa rendah. “Dia kakakmu? Kakak yang kakinya pincang kan?” Seorang gadis berambut ikal menatap Teresa, menahan tawa mereka kompak. “Ini kamarku, Rasi. Jangan sembarangan masuk begitu saja,” Mencoba bangkit, Teresa memperbaiki pakaiannya kembali, kebetulan hari ini dia menggunakan celana pendek, lelah menahan panas udara di luar, dan hampir beberapa otot-otot kakinya menegang. Sesuai perkiraan Teresa, bisa Ia lihat bagaimana semua gadis-gadis kecil itu menatap kakinya dengan wajah kaget dan jijik. “Wah ternyata benar-benar kaki palsu!!” Mereka sama sekali tidak takut, cenderung mengejek. Rasi mengendikkan bahunya, mendengus sinis, “Well, lebih tepatnya ini rumah milik ayah dan ibuku, jadi tidak masalah kalau aku bisa masuk kemana pun sesuka hati.” Manik Teresa menyipit, tidak mengerti maksud Rasi. “Apa maksudmu? Ini juga rumahku, kau tidak bisa seenaknya saja masuk ke sini.” Mengabaikan ucapan Teresa, Rasi justru bangkit dari posisinya. Berjalan mendekati sang kakak, diikuti beberapa teman-temannya. Siapa yang menyangka sosok manis dan polos Rasi dulu berubah drastis menjadi gadis angkuh dan sombong. Gadis kecil yang selalu menanyakan keberadaannya, gadis yang ikut membela saat Teresa hampir dipukul sang ibu. Kali ini mereka saling berhadapan, Tubuh Teresa yang jauh lebih tinggi dari Rasi tidak membuat gadis itu takut. Menatap remeh, dengan kedua tangan bersidekap di depan d**a, “Coba kuingat sekali lagi, kapan terakhir Kakak merayakan ulang tahun bersama ayah dan ibu? Apa mereka pernah memberikan kejutan padamu, atau sekedar hadiah? Oh, jangan lupakan badut-badut lucu yang mengajak kita semua bermain di taman. Kakak pernah mendapatkannya?” Satu pertanyaan telak, sanggup membuat Teresa bungkam. Manik dengan shape cat eyes itu mengalihkan pandangan ke arah lain, wajahnya merengut, tidak bisa menjawab. Tidak pernah, cukup satu jawaban itu saja yang sudah mewakili semua pertanyaan Rasi. Enggan menjawab, tawa semua gadis-gadis di depannya menggema. “Haha, berarti dia bukan kakakmu, dong?!” Menahan semua ejekan yang ditujukan padanya. Teresa masih berdiri, mengatur semua emosinya, menatap Rasi dengan topeng datar. Semua ejekan itu seolah tidak mempan bagi Teresa. Dia pernah mengalami hal yang lebih buruk dari sekedar ejekan belaka saja. Masih berdiri tanpa ekspresi, “Lalu kenapa? Apa kalian ada masalah? Kalau kalian ingin tidur di sini, silahkan. Aku tidak akan melarang,” Berjalan melewati Rasi, tidak peduli lagi. Sekilas tapi pasti dapat Teresa lihat bagaimana raut wajah adiknya nampak tak terima, bukan reaksi itu yang Rasi inginkan! Dia ingin melihat Teresa menangis, memohon atau memperlihatkan raut wajah memalukan di depannya dan teman-teman! Bukan wajah datar tanpa ekspresi!! Berbalik cepat mencengkram pundak Teresa. “Kakak, mau kemana?!” tukasnya keras, mereka kembali berhadapan. Kedua manik Teresa menatap tangan kecil Rasi di pundaknya, bergerak cepat mencengkram tangan itu balik. Kali ini cukup kuat, “Ugh!” Rasi reflek meringis, kekuatan mereka jauh berbeda. “Le-lepas!!” Berusaha melepaskan tangan sang kakak dari tangannya, bahkan menjauhkan tubuh mereka. Kenapa dia yang harus merengek di sini?! Di depan sana, wajah Teresa masih nampak datar, melihat bagaimana wajah Rasi nampak kesakitan entah kenapa sudah cukup membuat Teresa puas. Menyeringai tipis dan singkat, tubuh Rasi menegang. Maniknya mengerjap tak percaya, apa yang baru Ia lihat tadi? Kakaknya tersenyum dengan seringai? Melepaskan cengkraman tangannya, Teresa kembali memasang senyuman kecilnya. “Silahkan gunakan kamarku sesuka hati kalian, aku akan tidur di ruang tamu.” ucap gadis itu santai, berjalan keluar dari kamar. Meninggalkan Rasi yang masih memeluk tangannya, merasakan sakit karena cengkraman sesaat Teresa. “Ka-kau tidak apa-apa, Rasi? Kenapa reaksi kakakmu tidak seperti yang kau kira?” “Iya, kupikir dia akan ketakutan!” Justru mereka yang dibuat takut oleh Teresa, “Kau lihat tadi pandangannya? Sekilas tapi entah kenapa menakutkan sekali! Aku sampai tidak bisa bergerak!” “Ah, aku juga melihatnya!!” Ternyata tidak hanya Rasi saja yang merasakan. Napas gadis kecil itu terengah, detak jantungnya masih terdengar jelas. Tubuh itu hampir saja lemas dan jatuh sebelum beberapa temannya menopang Rasi. ‘Raut apa itu tadi? Aku tidak pernah melihat seringai kak Tere sebelumnya,’ batin Rasi bingung. . . . . Berjalan turun dari lantai atas, perlahan melangkah kakinya menuju ruang tamu. Menguatkan hati dan melihat kolam renang yang terletak tak jauh dari posisi Teresa sekarang. Tidur di ruang tamu? Mana mungkin bisa Teresa lakukan, berjalan menuju gudang kecil, Teresa lebih memilih membaringkan tubuhnya di sana. Lebih baik dibandingkan tidur di sofa empuk, “Bibi, Tere kangen.” bisik gadis itu parau. Tidak ada yang tahu bagaimana menderitanya batin Teresa sekarang. Perlahan semua perasaannya terkikis, batin, psikis, semua mental gadis itu seolah hancur. Untuk apa sebenarnya Teresa hidup? Jika tidak ada siapapun yang mengharapkan keberadaannya? . . . Satu dentingan kaca membentur lantai kembali terdengar kencang, berada di dalam ruangan. Mark melempar vas bermotif bunga di dekatnya. Napas Mark terengah saat kembali mengingat perjanjiannya dengan laki-laki itu, sudah hampir dua tahun, dan dia hanya menerima setengah dari uang yang telah dijanjikan! “SIALAN!! KAPAN DIA MENGIRIM UANG LAGI PADAKU?!” racaunya keras, menatap sosok Sofia yang masih diam di depan kaca rias. Menggunakan make up untuk pertemuan hari ini. “Kau mau kemana sekarang?!” Wanita itu mendengus sekilas, “Tentu saja pergi ke pesta, aku berniat mengajak Rasi. Tapi karena sedang ada teman-temannya di sini, aku sendiri saja ke sana.” jawabnya enteng, seolah terbiasa dengan sifat meledak suaminya. Tidak menyadari raut wajah Mark perlahan berubah kembali. Berjalan mendekati Sofia, tanpa aba-aba menghancurkan setengah make up yang ada di atas meja. “Kau masih bisa memikirkan pesta dengan keadaan kita seperti ini?!” raung Mark sekali lagi, melihat bagaimana wajah Sofia nampak panik, mengambil make up mahal yang tercecer di lantai. “Apa yang kau lakukan?! Ini aku beli dengan harga mahal?!” “Jawab pertanyaanku!” Menatap sang suami sengit, Sofia berdiri kembali, dengan napas terengah, “Ini keputusan yang kau ambil kan?! Kita bahkan sampai mengambil nyawa, Bibi! Sudah dua tahun, dan laki-laki itu hanya memberikan seperempat uang pada perusahaanmu, kau ingin aku melakukan apa?! Stress dan ikut gila?!” Mengeluarkan semua kekesalan yang tertumpuk. “Aku bahkan sudah tidak peduli lagi, apa gadis pincang itu ingin hidup atau mati saja di sini!!” Mark mendecih sekilas, “Bukannya kau juga senang menerima uang itu?! Jangan menyebut nama wanita tua itu lagi, dia sudah lama mati! Bantu aku mendapatkan cara agar dia memberikan semua uang secara full!” Bersidekap di depan d**a, Sofia berbalik dan kali ini menendang make up yang masih tercecer di lantai. Menahan kekesalan sekali lagi, “Aku tidak peduli seperti apapun rencanamu, temukan laki-laki itu, bicara padanya, tagih uang yang Ia janjikan pada kita! Jangan tarik aku lagi dengan semua masalahmu, Mark!!” Mengepalkan kedua tangannya, mengambil satu vas lain. “Sialan!!” Melemparnya entah kemana, Mark hampir gila karena harus menunggu selama dua tahun!! Menyembunyikan rahasia tentang perusahaannya, berusaha sekeras mungkin untuk mengambil bukti bahwa dia telah menggunakan kayu-kayu illegal untuk proyeknya. Hanya uang itu yang Ia perlukan sekarang, investasi masa depan, dan sebagai uang penutup mulut bagi orang-orang yang mengetahui rahasianya. Sofia tak tahan lagi, wanita itu bergegas mengambil tas yang masih tergantung di dekat pintu. “Aku tidak ingin ikut campur lagi dengan permasalahanmu, Mark! Setidaknya biarkan aku menjernihkan pikiran hari ini!” tukas Sofia cepat, tanpa menunggu balasan Mark, wanita itu berjalan keluar dari kamar. Meninggalkan sang suami yang masih diam, menatap kepergiaannya. Wajah laki-laki itu memerah, berniat melempar sesuatu lagi. “SIAL-” Sebelum dering handphone mengusik konsentrasinya, mendecih sekilas. Bergerak cepat, mengambil benda itu, melihat pesan yang tertera di sana. Selama hampir dua tahun menunggu kepastian. “Akhirnya,” Apa yang Ia inginkan tadi dikabulkan oleh Tuhan. Senyuman mengembang di wajah Mark. Maniknya berkilat senang, membaca semua pesan di sana, dibarengi sebuah seringai tipis yang perlahan nampak. Satu pesan terakhir adalah permintaan sosok diseberang sana, sanggup membuat amarahnya hilang begitu saja. Laki-laki itu mengacak rambutnya yang berantakan, mengusap wajahnya sekuat mungkin sebelum akhirnya duduk di tempat tidur, tertawa sekali lagi. Kali ini lebih keras, dua tahun menunggu, dan menjadi pembunuh hanya untuk mendapatkan uang. Semuanya bisa Ia dapatkan besok, satu rencana kembali terlintas dalam pikirannya. Mark menatap nyalang, “Saatnya mengucapkan selamat tinggal, Teresa.” Hanya karena uang semata laki-laki itu tidak berpikir dua kali untuk membuang putrinya sendiri. Besok, haruskah mereka menyiapkan salam perpisahan? Atau memberikan moment yang paling menyenangkan di hidup Teresa, sebelum membuang gadis itu selamanya dari hidup mereka.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN