Pagi telah datang, cahaya matahari mulai menerobos masuk melalui celah gorden tebal dan mengenai wajah Azel yang sedang tertidur tenang. Namun semakin lama, cahaya itu mulai mengganggu tidurnya.
Mata indahnya mulai mengerjap-ngerjap pelan, tangan halusnya mengucek mata dengan perlahan. Lalu Azel bangun dan meregangkan tubuhnya.
"Hoaam... Tidur habis nangis memang the best, walau nyesek." Ucapnya.
Azel diam sejenak, menatap kosong ke depan. Hingga beberapa saat kemudian ia tersadar bahwa Zavier tidak ada di sampingnya.
"Dia tidur dimana?" Tanyanya dalam hati. "Atau tidur sama gue tapi udah bangun duluan?" Pikirnya.
Azel berdecih kesal. Kenapa dirinya harus peduli. Ia pun melirik jam di dinding kamar yang sudah menunjukkan pukul 7 pagi.
"Harusnya gue bisa bangun lebih pagi lagi, seenggaknya di rumah mertua gue bisa bangun lebih awal, aih." Kesalnya pada diri sendiri.
Azel beringsut turun dari atas tempat tidur, dan berniat keluar untuk menyapa mertuanya di bawah sana.
"Masa iya Zavi-- Aaaaa!" Pekiknya kaget ketika kakinya tidak sengaja menginjak sesuatu.
Azel langsung menutup mulutnya tak percaya, dia telah menginjak jari Zavier.
Dan Zavier, ia terlihat menahan rasa sakit dengan meniup-niup tangannya. "Bisa lebih hati-hati gak sih?" Ujarnya.
Azel mendelik kesal dan berlalu begitu saja. Ia masih marah karena semalam Zavier telah membentaknya.
Zavier hanya diam melihat reaksi yang istrinya itu tunjukkan kepada dirinya. "Apa dia tidak ingin meminta maaf? Yang benar saja," ucapnya.
Lalu ia melirik jam di dinding, akhirnya memutuskan untuk turun dan pergi ke ruang olahraga dimana terdapat beberapa alat gym di sana. Dengan melakukan olahraga, Zavier berharap itu akan berhasil mengurangi rasa stressnya. Ia barus sadar dan merasakan perubahan yang Sharllote tanyakan.
"Pernikahan? Untuk siapapun, tolong jangan terburu-buru." Gumamnya dalam hati seraya meraih handuk kecil dan pergi keluar dari dalam kamar.
Sedangkan di sisi lain, tepatnya di dapur sana terlihat Azel yang sedang menikmati roti isi keju dan nuttela coklat, sembari menunggu salah seorang asisten rumah tangga membuatkan smoothies untuk dirinya.
"Zel, Bunda sama Ayah mau pergi sebentar yah," Ujar Nathalie yang sudah siap dengan jaket dan celana joggingnya.
"Bunda mau ke mana?" Tanya Azel.
"Mau lari-lari dikit di taman komplek sana, gak lama kok." Jawab Nathalie.
Azel mengangguk paham.
"Kalau gitu Bunda berangkat yah,"
"Hati-hati Bunda!" Ujar Azel seraya melambaikan tangannya dan Nathalie pun pergi.
Tak berselang lama, Zavier masuk ke dapur. Keduanya beradu tatap, namun di detik kemudian kembali saling membuang pandangan.
Smoothies yang Azel minta sudah selesai dibuat, dan gadis itu mulai menikmatinya.
"Makasih ya Bi," ucap Azel.
"Iya, Non." Balas si Asisten rumah tangga tersebut.
Lalu Zavier, pria itu sedang meneguk segelas air mineral. Kemudian membuka kulkas dan mengambil satu botol air.
"Bi Wiwik, nanti tolong buatkan saya sandwich, jangan pake daging, telor aja." Ucap Zavier yang kemudian berlalu.
Kini Azel mengetahui nama asisten rumah tangga yang membuatkannya banana smoothies.
"Bi Wiwik udah lama kerja di sini?" Tanya Azel.
Bi Wiwik menganggukkan kepalanya sembari mulai membuat sandwich untuk tuan mudanya.
"Sudah hampir 10 tahun, karena pegawainya bukan Bibi saja jadi pekerjaannya tidak terlalu berat." Ucap Bi Wiwik.
Azel mengangguk paham. "Bibi tinggal di sini?"
"Iya, sebulan sekali Bibi pulang, tapi kalau mau pulang ya Bibi tinggal ijin. Soalnya Nyonya dan Tuan itu baik orangnya. Gak jauh kok, masih di Ibu kota."
Azel semakin penasaran. "Keluarga Bibi? Suami Bibi gak keberatan? Suami Bibi pasti kangen,"
Bi Wiwik terkekeh pelan. "Suami Bibi sudah meninggal setahun yang lalu, jadi Bibi pulang buat liat cucu sama anak aja Non,"
Raut wajah Azel berubah menjadi sendu, ia menyesal telah melontarkan pertanyaan itu. "Maaf ya Bi, aku gak tahu... Maaf kalau udah gak sopan, mulut aku kadang suka bawel," sesalnya.
Bi Wiwik yang sudah selesai membuat Sandwich hanya tertawa pelan.
"Non Azel santai saja, Bibi gak pa-pa kok." Ucapnya sembari menyimpan sandwich yang sudah dipotong menjadi dua itu di atas piring kecil.
Ketika Bi Wiwik hendak mengantarkan sandwich tersebut pada Zavier, tiba-tiba saja hujan turun.
"Ya tuhan, cucian! Aduh, Non maaf... Bisa tolong antarkan sandwich ini ke Den Zavier?" Tanyanya ragu.
Azel mengangguk. "I-iya, Bibi angkat jemurannya aja."
Bi Wiwik pun berlalu. Dan Azel terlihat sangat tertekan, entahlah, ia selalu merasa seperti itu jika sedang berhadapan dengan suaminya yang sangat menyebalkan.
Azel mengekuk smoothies miliknya dan memakan sisa roti dan mengunyahnya dengan kasar.
"Lah, gue kan gak tahu tuh orang ada dimana," Bingungnya.
Namun ketika melangkah keluar dari dapur, ia mendengar suara yang meresahkan telinganya. Otaknya langsung melayang jauh ke awan dengan penjabaran serta visualisasi yang tidak-tidak.
Ugh!
Ahgh!
Embh!
Azel berjalan ke arah pintu yang tertutup rapat. Jaraknya tidak jauh dari dapur ke arah kiri.
"Anjrit, Zavier lagi ngapain?!" Pekiknya dalam hati.
Tangannya terangkat memegang knop pintu dan,
Ceklek.
Pintu pun terbuka.
Malu. Azel malu dengan otaknya sendiri. Ia telah berpikiran yang macam-macam dan ternyata pada kenyataannya, Zavier sedang melakukan olahraga. Pria itu sedang mengangkat barbel yang entah seberat apa.
"Ini sandwichnya." Ucap Azel sembari menyimpan roti isi itu di atas meja samping botol minum.
Azel mengedarkan pandangannya. Dari dalam sana ia dapat melihat ke arah halaman samping rumah yang menunjukkan kolam ikan, karena dindingnya terbuat dari kaca. Udara pagi yang segarpun masuk karena Zavier membuka 4 kacanya, ia sengaja tidak memasang kaca permanent.
Dan di samping kanannya dilapisi cermin, membuat Azel dapat melihat pantulan dirinya yang masih acak-acakan dengan piyama unicorn berwarna pink.
Saking sibuknya memuji design gym yang berada di rumah suaminya itu, Azel tidak sadar bahwa Zavier sedang berdiri tepat di sampingnya.
Ekhem!
Deheman itu berhasil menyadarkan dirinya.
Azel langsung berbalik dan, "Uh! Ya! Kebiasaan banget lepas baju!" Ujarnya kaget.
Zavier tidak peduli, ia berjalan ke arah meja dan meneguk air minum, lalu meraih sandwich miliknya. Kemudian duduk di kursi yang ada di sana dan mulai menikmati sarapannya itu.
"Hujannya gede, Bunda kehujanan gak yah?" Ucap Azel yang entah sejak kapan berdiri di dekat dinding kaca yang terbuka.
Zavier terdiam. "Is she worried about my mom? Sedekat itu dan secepat itu mereka akrab?" Gumamnya dalam hati.
Lalu Azel melihat ke arah Zavier. "Taman komplek jauh gak?"
"Lumayan." Jawab Zavier.
Azel berjalan menjauh dari kaca dan hendak pergi dari ruang gym tersebut, namun tiba-tiba saja kilatan cahaya terpantul.
DUARRR!!
Refleks Azel menjatuhkan tubuhnya sembari menutupi area kepalanya dengan kedua tangan. Petir itu lebih kencang dari yang dirinya dengar ketika di hotel.
Deg deg deg deg...
Detak jantungnya dua kali lebih cepat. Kakinya terasa lemas dan kepalanya terasa pening. Ingatan buruk 4 tahun yang lalu kembali berputar dalam kepalanya.
Zavier yang awalnya hanya diam langsung menghampiri sang istri yang tak kunjung berdiri.
"Hey, Azel... Azel, kamu kenapa?" Tanya Zavier khawatir ketika Azel sulit untuk dibawa berdiri.
Keringat membasahi pelipis gadis itu. Tanpa basa basi, Zavier langsung memangku tubuh Azel dan membawanya lari ke kamar.
*****
Setelah beberapa menit berlalu dan keadaan Azel sudah mulai kembali normal, Zavier kembali memberinya minum. Saking paniknya sampai-sampai Zavier masih belum mengenakan kaos atau apapun yang menutupi tubuh bagian atasnya yang indah.
"Makasih," ucap Azel setelah minum.
Zavier mengangguk seraya menyimpan gelasnya di atas meja samping tempat tidur.
"Ini udah ketiga kalinya aku liat kamu shock kayak gini, are you okay?" Tanya Zavier.
Azel menganggukkan kepalanya pelan. "Heem, don't you worry."
Zavier menggelengkan kepalanya, ia tak percaya.
"Kalau gak ada apa-apa, kamu gak akan separah itu tidap ada petir. Tell me, everything." Ucap Zavier.
"I told you, there is nothing." Kata Azel.
Zavier menangkup wajah Azel dan menatap kedua mata indah itu.
"Kita sudah menikah. Suka tidak suka, kita harus mulai mengenali sati sama lain." Ucap Zavier.
Azel menjauhkan tangan Zavier dari wajahnya. "I'm okay, tadi... Tadi cuma kaget aja,"
Zavier benar-benar tidak tahu harus membujuk Azel dengan cara apa agar ia mau bercerita.
"Okay? Kamu bilang okay?"
Azel menganggukkan kepalanya, namun Zavier dapat melihat keraguan di sana.
"Jantung kamu, saking kencengnya sampai aku bisa ngerasain." Ucap Zavier. "Kamu bilang itu baik-baik aja?" Lanjutnya.
Azel terdiam.
"Kaki kamu, tadi kaki kamu sampai gak bisa berdiri apalagi jalan." Ujar Zavier.
Azel masih diam.
"Keringet kamu bahkan sampe sejagung-jagung Zel, kamu masih mau bilang baik-baik aja? Cuma kaget?" Zavier kembali bertanya.
Azel menundukkan wajahnya.
Zavier meraih tangan kanan Azel dan menggenggamnya. "Look at me," pintanya.
Azel mengangkat wajahnya dengan perlahan dan menatap manik mata yang berhasil membuatnya lupa diri dengan intens.
"We got merried. I'm your husband, kamu tanggung jawab aku. Bantu aku melakukan kewajiban aku dengan ceritain semua hal yang penting, rasa takut, trauma ataupun yang lainnya." Ucap Zavier meyakinkan.
Ia yakin ada yang tidak beres. Entah apa hal apa yang terjadi yang berkaitan dengan suara petir sampai-sampai Azel harus sepanik itu.
Azel terdiam, seketika dirinya tertarik kembali pada ingatakan 4 tahun yang lalu. Dibawah guyuran hujan, dan kilatan-kilatan kecil. Azel remaja yang berusia 15 tahun sedang berteduh di sebuah halte. Ia baru saja pulang dari kerja kelompok. Azel menilak untuk dijemput karena akan ada orang yang datang menjemputnya, teman lelakinya. Keduanya saling menyukai satu sama lain.
Dan tak lama kemudian, seorang anak laki-laki datang dengan mengendari sebuah motor. Azel cukup terkejut karena remaja laki-laki itu seusia dirinya, belum cukup umur untuk menaiki kendaraan.
Remaja laki-laki itu tersenyum pada Azel, dan tanpa diketahui jika dari arah yang berlawanan terlihat mobil yang hilang kendali karena jalanan yang licin. Lalu,
BRAKH!
"VANOOO!!" Pekik Azel menerikan namanya.
Karena sepi, tidak ada banyak orang yang berada di sana. Azel langsung mengeluarkan ponselnya dan menekan 111 untuk meminta bantuan polisi.
Saat sedang berbincang bersama polisi, ia dapat melihat tangan Vano bergerak. Azel hendak berlari menghampiri teman lelaki yang hendak menyatakan perasaannya itu, namun tiba-tiba saja sebuah kilat menyambar pohon besar nan tinggi.
Azel memekik keras karena kaget dan jeritannya semakin menjadi ketika reruntuhan pohon itu terjatuh menimpa Vano.
Tepat di depan matanya, Vano kehilangan nyawa.
Andai dirinya menolaj untuk dijemput. Mungkin remaja lelaki itu masih hidup hingga sekarang. Dan sejak kejadian itu, Azel shock dan harus menjalani terapi dan konsul dengan psikolog. °° Flashback off°°
Zavier terkejut karena Azel yang sedari tadi diam tiba-tiba saja menangis dengan menggenggam erat tangannya. Tangisannya terdengar sangat pilu. Ia tidak tega.
Zavier langsung menarik tubuh Azel ke dalam pelukannya.
"A-aku gak bisa Za .... Aku--..."
"It's alright... It's okay, tenang... Tenang, jangan dipaksakan." ucap Zavier. Ia tidak ingin memaksa Azel untuk bercerita. Zavier akan menunggu sampai Azel sendiri yang siap untuk berbagi dengan dirinya.
Zavier melepaskan pelukannya dan menangkup wajah Azel. "That's okay, tenang..."
"A-aku mau sembuh... Aku benci hujan, aku benci..." Racaunya.
Zavier yang menyukai hujan terlihat kebingungan.
"Hey listen, calm down... Tarik nafas pelan-pelan lalu buang," Ujar Zavier.
Azel menurut dan melakukannya beberapa kali.
Zavier mengikat rambut Azel asal, yang penting tidak terlalu mengganggu.
Lalu ia kembali menggenggam tangan sang istri dengan erat.
"Lebih baik kamu istirahat, sore nanti kita ke rumah orang tua kamu. Kamu harus baik-baik saja," Ucap Zavier.
Azel menganggukkan kepalanya dan mulai berbaring.
Zavier menarik selimut hingga menutupi setengah tubuh Azel. Azel terlihat diam menatap Zavier yang duduk di sampingnya.
"Close your eyes," Ucap Zavier.
"Terima kasih," Ucap Azel. Bagaimana tidak, untuk kesekian kalinya Zavier membantunya menenangkan diri. Bahkan Zavier benar-benar menyebutnya sebagai tanggung jawab. Azel tersentuh dengan hal itu.
Zavier menganggukkan kepalanya.
Azel menarik tangan sang suami untuk mendekat, terus mendekat hingga jarak diantara wajah mereka hanya tinggal sekepalan tangan.
Tangan kanan Azel terangkat dan menekan tengkuk Zavier lalu mencium bibirnya dengan kaku, iya masih belum pandai dalam hal itu.
Apakah Zavier terkejut? Tentu saja. Namun itu hanya terjadi diawal, akhirnya Zavier mengambil alih kegiatan itu. Ia mulai memperdalam ciuman yang terjadi diantara keduanya.
Azel terlihat memejamkan mata dan tangannya mengalung di leher Zavier.
"Emh..." Desah Azel pelan disela ciumannya.
Seketika Zavier tersadar dan menyudahi ciumannya.
Azel terlihat kecewa.
"Sesuai perjanjian, aku gak akan maksa kamu untuk melakukan hubungan suami istri. Jadi aku gak mau hilang kendali." Ucap Zavier yang kemudian berdiri dari duduknya.
Ia memandang Azel sebentar. "Tidurlah," ucapnya yang kemudian berlalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang berkeringat setelah berolahraga.
Dan Azel, ia terlihat diam dengan memegangi jantungnya. Lalu memegang bibirnya yang terlihat sedikit membengkak karena pagutan sebelumnya yang terjadi cukup lama.
"A-apa iya gue mulai suka? Ah masa gitu aja baper, no Azel. Aish... But i love that kiss. Oh god, kenapa otakku ini..." Racaunya dalam hati. "b**o! Malah minta dicium duluan, untung laki lo gak nolaaak." Lanjutnya.
Azel menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya dengan perlahan, lalu ia memutuskan untuk kembali memejamkan mata karena kakinya dan tubuhnya juga terasa lemas.
*****
Bersambung...
Semoga suka...
Jangan lupa untuk komentar biar Didit semangat dan yaaa ajak yang lainnya juga yah buat baca huhuy...