[Bon Me, 1350 Massachusetts Ave, Cambridge, MA 02138-3846.]
Tempat Ranjiel dan Vierra berada kali ini tidak begitu jauh dari Universitas Harvard, dan merupakan restoran yang paling banyak direkomendasikan oleh teman-teman Ranjiel yang sudah lebih dulu menempuh pendidikan di Harvard. Di tempat ini menyediakan masakan makanan sehat, makanan cepat saji, Asia, Vietnam, ada juga makanan yang sesuai untuk vegetarian.
Ranjiel dan Vierra duduk di bagian pojok, tidak begitu jauh dari dinding yang terbuat dari kaca. Mereka menatap ke luar, menikmati pemandangan di depan sana dan sesekali membicarakan hal-hal ringan.
Vierra yang lebih banyak membahas tentang dirinya yang ingin menjadi seorang dokter, lalu bekerja di rumah sakit untuk menolong banyak orang. Sedangkah Ranjiel yang memutuskan untuk menempuh pendidikan serta mendapatkan banyak gelar dari Harvard.
“Gue suka ama impian lo, Vier.” Ranjiel yang sudah mendengar semua keinginan Vierra memberikan komentar singkat dan juga jelas.
Vierra menatap, ia mengedipkan matanya beberapa kali. Mendengar Ranjiel yang menyukai impiannya jelas membuat Vierra sangat bangga. Ia merasa Ranjiel mendukungnya, dan hal itu membuat Vierra merasakan indahnya kehidupan.
“Lo harus buktiin kalo lo bisa,” ucap Ranjiel lagi.
Vierra yang mendengar itu mengangguk, ia kemudian mengacungkan jari kelingkingnya. “Kita janji saling dukung, kan?”
Ranjiel awalnya cukup bingung dengan cara Vierra, ia juga langsung kaget kala Vierra meraih tangannya, dan menautkan jari kelingking mereka.
“Janji?” Vierra menatap Ranjiel.
Ranjiel yang mendapatkan pertanyaan itu akhirnya mengangguk. “Ya … kita saling dukung, dan saling bantu.”
Vierra mengangguk, dan Ranjiel diam. Pemuda itu merasa situasi mereka memang sedikit canggung, bisa saja itu karena dirinya meminta Vierra menjadi diri sendiri.
Vierra sadar dengan pikiran Ranjiel. “Kalo mau, gue bisa jadi bayangan Lia kok, Jiel.”
Ranjiel yang mendengar hal itu kaget. “Lo kenapa musti ngomong gitu?”
“Gue merhatiin mata lo, dan gue tau kalo lo belom bisa move on.”
Ranjiel meraih gelasnya, ia kemudian meminum air yang ada di dalam sana hingga habis. Pembicaraan mereka mulai tak nyaman, dan itu hanya karena Vierra membahas masalah Lia.
“Lo bisa bohongin semua orang, tapi lo nggak akan bisa mohong ama cewek yang bener-bener cinta ama lo.” Vierra masih memandangi Ranjiel.
Ranjiel menatap Vierra. “Gue nggak ada rasa lagi ama dia. Kalo emang ada, gue udah lama balikan, dan gue juga nggak akan buka hati buat lo.”
Vierra menghela napas. “Udah gue bilang lo bisa bohongin banyak orang, tapi lo nggak bisa bohongin gue.”
Ranjiel yang tidak ingin berdebat dengan Vierra hanya diam, ia menatap gadis itu, dan menunggu Vierra bisa berpikir dengan jernih. Sedangkan Vierra yang diperhatikan seperti itu menjadi salah tingkah, ia tak menyangka jika Ranjiel tidak bereaksi sama sekali.
“Udah selesai?” tanya Ranjiel.
Vierra menela cepat minuman yang baru saja ia teguk, gadis itu kemudian merasa bingung karena Ranjiel berdiri lalu mencondongkan tubuh ke arahnya.
“Vier, gue buka hati buat lo bukan karena gue mau kehadiran lo ngapusin masa lalu gue ama Lia. Gue nerima lo, karena gue yakin lo orang yang cukup dewasa buat nyikapin satu hubungan. Dan yang paling penting … gue buka hati buat lo, karna gue mau lo bisa bikin gue jatuh cinta.” Ranjiel tersenyum, ia kemudian kembali berdiri tegap.
Vierra yang mendengar ucapan Ranjiel menatap ke arah lain, ia merasa sangat gugup. ‘Mampus … padahal gue juga nggak tau dia itu udah move on ato belom. Mana bisa gue baca dia, aduh … kirain Ranjiel bakalan ngomong pakek acara menggebu-gebu, terus biar gue percaya dia bakalan nyium gue.’
“Vier, lo kok diem aja?”
Vierra yang mendengar namanya dipanggil oleh Ranjiel langsung saja sadar, ia menatap Ranjiel, dan merasa gugup. ‘Seharusnya gue nggak ngomong seenak jidat. Astaga … gue harus ngomong apaan ini? Mana udah asal ngomong, sekarang nggak tau mau bilang apa.’
“Lo kesambet?” tanya Ranjiel lagi.
Vierra menggelengkan kepalanya, ia kemudian menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan-lahan. “Gu-gue baik-baik aja. Ng-nggak … nggak kesambet kok, teneng aja.”
Ranjiel yang mendengar jawaban dari Vierra hanya mengangguk, ia kemudian menatap jam pada tangannya, dan menghela napasnya pelan.
“Kenapa, Jiel?” tanya Vierra.
“Kita balik aja sekarang,” balas Ranjiel.
Vierra hanya mengangguk, mereka kemudian membayar makanan, lalu meninggalkan tempat itu sesegera mungkin. Saat berada di luar, Ranjiel yang melangkah lebih dulu dari Vierra berhenti, ia menatap gadis yang ada di belakangnya, lalu meraih tangannya, dan membawanya melangkah bersama.
Vierra yang mendapatkan perlakuan seperti itu merasa aneh, tapi … ia juga tak bisa membohongi jika dirinya sangat bahagia dengan keadaan saat ini. Rasanya … rasanya ia merdeka karena Ranjiel mulai melakukan hal-hal kecil untuk mengikat kenangan bersamanya, dan hal itu jelas saja sesuatu yang membahagiakan, dan mendebarkan bagi Vierra.
“Kita mau ke mana lagi?” tanya Vierra saat sudah ada di parkiran.
Ranjiel langsung saja melepaskan pegangan tangannya, ia merogoh saku, dan mengeluskan kunci mobilnya. “Masuk, Vier. Bagusan juga pulang, gue males keluar lama-lama.”
Vierra hanya bisa mengangguk, ia kemudian masu ke dalam mobil Ranjiel, dan duduk dengan tenang.
…
Ranjiel dan Vierra kini sedang terbaring di ruang tengah, mereka baru saja tiba, dan melepaskan penat pada tubuh masing-masing. Tidak ada yang bicara, yang ada hanya helaan napas.
Vierra menatap langit-langit ruangan, lalu matanya juga segera terpejam. Kakinya terasa sedikit pegal, begitu pula dengan tangannya. Gadis itu kembali membuka mata, lalu ingat jika beberapa hari lagi mereka akan segera melakukan aktivitas sebagai mahasiswa baru.
“Jiel, lo masuk fakultas apa?” tanya Vierra setelah terdiam cukup lama.
Ranjiel yang mendengar pertanyaan itu menghela napas, kemudian ia menatap Vierra yang berbaring di sampingnya. “Kedokteran, biar bisa barengan ama lo.”
Vierra yang mendengar hal itu langsung saja terpaku, ia menatap Ranjiel, lalu mereka beradu pandang.
“Gue serius,” ujar Ranjiel agar Vierra yakin dengan kemauannya.
“Nggak bohong sama sekali?”
“Nggak kok.”
“Kok bisa mau masuk fakultas yang sama?”
Ranjiel menghela napas. “Karna gue juga udah lama ngerencain buat milih fakultas itu lebih dulu.”
“Alasannya apa?”
“Gue suka aja.” Balas Ranjiel dengan sangat enteng.
Vierra merengut. “Gue kira biar deket dan bisa sama-sama ama gue.”
“Kalo Cuma buat main-main, gue nggak akan kuliah di sini. Ngapain gue jauh-jauh ke negara orang, padahal di Indo juga banyak tempat kuliah.”
Vierra yang mendengar hal itu kemudian mengangguk, ia kemudian kembali diam, dan menatap langit-langit ruangan.
“Vier, kalo misalnya dalam tiga bulan ini gue nggak bisa jatuh cinta ama lo, jangan pernah ngebuat kuliah lo berantakan. Kadang cewek suka ngelakuin hal bodoh, dan juga nggak mau lo jadi kayak begitu. Lo paham, kan, maksudnya gue gimana?”
Vierra hanya diam, dan ketika ia ingin menjawab, ada seseorang yang secara tiba-tiba menekan bel pada pintu.
“Gue bukain dulu,” ujar Ranjiel. Pemuda itu langsung saja duduk. Berdiri, dan melangkah pergi.
‘Jiel, gue nggak tau. Tapi kalo emanng waktunya itu udah dateng, dan lo nggak bisa nerima gue apa adanya, mungkin gue nggak akan bisa bertahan. Tapi … gue bakalan coba sebisa gue buat tetep ngelanjutin apa yang udah gue mulai.’ Vierra juga segera duduk, ia memerhatikan Ranjiel yang baru saja membuka pintu. ‘Gue mohon lo bisa jatuh cinta ama gue, karna cinta bertepuk sebelah tangan itu bener-bener nggak enak.’