PART 8 - KEHILANGAN.

1638 Kata
Nilam menatap sebuah mobil sedan yang bisa dibilang mewah sudah menunggunya di depan. Kebingungan masih menerpa seiring dengan lemas tubuhnya. "Kita ikut mobil itu Nilam," ajak Gani pada keponakannya. Nining sang Bibik ikut juga ke dalam mobil dengan wajah kalut. Pagi-pagi pintu rumah mereka sudah diketuk orang dan mengabarkan kecelakaan yang menimpa Murni dan calon suaminya. Rasa khawatir kian merajai perasaan Nilam. Bagaimana bisa berita ini datang dengan mengejutkan sekali. Seminggu yang lalu, sang kakak mengabarkan jika ia dilamar seorang lelaki untuk menjadi istrinya. Kakaknya mengatakan lelaki itu orang baik dan mau menerima kakaknya yang hanya berasal dari keluarga yang tidak punya. Murni memang sudah empat tahun ini mengadu nasib ke ibukota. Dengan hanya berbekal ijazah SMA, kakaknya bekerja dimana saja. Terkadang menjadi pelayan minimarket atau pelayan restoran. Murni bahkan berjanji akan mengajak Nilam ke kota untuk bekerja. Sayang itu hanya tinggal janji, Murni tidak mengizinkan adiknya ikut ke kota, hingga Nilam harus berdiam diri di rumah setelah lulus SMA. Murni mengatakan kota Jakarta tidak baik untuk gadis sepolos Nilam. Hingga berita dilamarnya sang kakak membuat Nilam bahagia. Bagaimana tidak, kekasihnya Elang pun tidak sabar meminangnya. Jadilah Nilam pun dilarang bekerja oleh Elang. Ia hanya berdiam diri di rumah, membantu Bibiknya berdagang sembako di samping rumah. Gani dan istrinya membuat warung sembako untuk menyambung hidup. "Paman, memang Kak Murni kenapa?" Sejak tadi suara Nilam tak bisa keluar, hanya air mata yang terus keluar membayangkan nasib sang kakak. Gani menatap keponakannya dengan raut wajah sama khawatir. Gani duduk di depan supir, sementara Nilam di belakang bersama Bibiknya. "Semalam mobil mereka kecelakaan. Paman belum tahu bagaimana keadaan mereka." "Ta-tapi Kak Murni selamat'kan Paman?" isak itu terus keluar. Mereka hanya tinggal berdua. Nilam gak bisa bayangkan akan kehilangan kakaknya. "Kita berdoa saja, semoga Kakakmu tidak apa-apa." Nining ikut bersedih, membayangkan nasib keponakannya yang satu. Pikiran mereka hanya satu, tabrakan pasti banyak darah dan kalau mereka baik-baik saja, seharusnya mereka sudah sampai di rumah, paling tidak mengabari lewat ponsel. Perjalanan kali ini diisi keheningan, walau sesekali terdengar Nilam dan Nining saling mengusap pipinya yang basah. Mereka bahkan saling menggenggam jari, sekedar menguatkan dan berharap semua akan baik-baik saja. Sayangnya ketika mereka tiba, semua jauh dari baik-baik saja. Gani, Nilam dan Nining dibawa lelaki yang menjemput mereka ke depan sebuah ruangan dan bertemu sepasang suami istri yang mereka tidak kenal. Tapi dari raut wajah sang wanita yang Nilam perkirakan usianya tak jauh dari usia sang bibik, wanita itu terlihat sedih sekali. Wajahnya sudah sembab dan air mata terus mengalir dari kelopak matanya. Ya Tuhan semoga semua selamat. Doa tetap Nilam ucapkan di dalam hati, sekalipun hatinya ikutan menangis. "Tuan, Nyonya. Ini keluarga dari Nona Murni." Supir yang membawa Nilam mengangguk pada kedua orang yang tak lain orang tua dari Restu. Elsi dengan wajah sembab mengangguk. "Kami orangtua Restu dari Jakarta." Subrata mengambil alih pembicaraan, karena istrinya tak henti terisak sejak dari rumah. "Bagaimana keadaan mereka pak? Keponakan saya dan calon suaminya tidak apa-apa kan? Mereka selamat 'kan Pak." Gani bertanya dengan mata merah. Subrata menggeleng pelan. "Maaf Pak, tapi ... Murni meninggal di tempat." "Kakak!" Jeritan Nilam terdengar kencang dan diiringi isak tangis menyayat hati. "Kakak gak mungkin meninggal Bik, Kak Murni gak boleh tinggalin aku." Nilam menggeleng yang langsung dipeluk Nining. "Sabar Nilam, sabar." Kedua wanita itu menangis bersamaan. Elsi yang mendengar raungan Nilam, ikut juga menitikkan air mata. "Lalu dengan calon suaminya?" Masih dengan berusaha menahan sedih tiada terkira, Gani kembali bertanya. "Restu masih berjuang di dalam sana. Kami belum tahu pasti." "Bik, aku mau melihat Kak Murni." Nilam terus terisak. Sekian lama tak berjumpa, rasa rindunya seakan terhempas mendengar berita duka ini. Terbayang wajah sang Kakak yang selalu berkata akan terus menemaninya. Mereka hanya tinggal berdua, Nilam gak akan sanggup kehilangan lagi. "Kakakmu di sebelah sini." Subrata dan Elsi membawa Nilam ke sebuah ruangan. Nilam menatap tubuh yang terbujur kaku dan tertutupi kain putih. Kak Murni, ini bukan kakak'kan? Kakak pasti lagi bercanda. Bukankah kakak akan menikah tahun ini, supaya aku bisa ikutan menyusul menikah dengan Elang? "Nilam, bukalah nak." Nining menyentuh lengan keponakannya. "Bik, ini bukan kak Murni." Nilam menggeleng pelan dengan cucuran air mata. "Kamu harus tabah ya nak." Inginnya Nilam menolak semua kejadian ini, tapi dengan sangat terpaksa tangannya terulur. Dengan tangan gemetar, ia membuka kain penutup itu. Dan tampaklah wajah sang kakak yang terpejam erat dalam keabadian. "Kak Murni," isaknya memenuhi ruangan. Ia memeluk tubuh yang kaku itu. "Kakak jangan tinggalkan aku Kak, aku sama siapa? Aku gak mau sendiri." Nilam kembali meraung memeluk tubuh sang kakak. Nining berusaha melepaskan pelukan Nilam yang kian erat pada jenazah Murni. "Nilam, tabah nak. Kita harus ikhlas." "Bik, aku gak mau pisah sama kakak. Kakak gak boleh pergi." Nilam masih berusaha menolak sekuat tenaga. "Kita harus segera menguburkan Murni, Nak. Kasihan kakakmu." Elsi yang melihat tak kuasa menahan tangis. Ia pun menyesali karena harus kehilangan calon menantu. Seharusnya sebulan lagi mereka menikah. Tapi kini, calon menantu kesayangannya sudah tiada. Belum lagi nasib putranya yang masih berjuang melawan maut. Adakah yang lebih menyakitkan ketika satu-satunya putra yang sangat ia miliki kini masih berusaha diselamatkan tim dokter di dalam ruang operasi? Elsi menyesali keputusannya yang terlalu memaksa sang putra untuk segera menikah. Masih teringat beberapa bulan lalu ketika putranya datang ke rumah membawa seorang wanita. "Mama, ini kenalkan namanya Murni. Dia calon menantu yang Mama inginkan." Elsi saat itu hanya terpaku. Beberapa waktu lalu ia masih bertengkar dengan putranya karena putranya masih saja susah move on dari mantan kekasihnya. Usia sudah semakin beranjak, tapi Restu masih belum mau menikah. Ibu mana yang tidak khawatir. Tapi saat melihat putranya membawa seorang gadis ke dalam rumah yang menurutnya cantik dan terlihat malu-malu, Elsi langsung bangkit. "Siapa namamu sayang?" Mata Elsi berkilat bahagia. Senyum kebahagiaan tak lagi bisa ia sembunyikan. Tak peduli ketika melihat putranya memutar bola matanya, Elsi sudah sangat bahagia, ketika ada seorang gadis masuk ke dalam istananya. "Aku Murni Tante, aku-" "Eh jangan panggil Tante, panggil Mama dong. Sini duduk sayang." Sekali lagi tak mempedulikan putra tunggalnya, Elsi merangkul Murni ke dalam rumah. "Bik, cepat ambilkan minum buat tamu." Elsi kembali memfokuskan pada kekasih Restu. Hingga mereka pun saling berbincang. "Restu! Kamu keterlaluan, kalian pacaran sudah enam bulan tapi kenapa merahasiakan semua dari Mama! Pake acara gagal move on sama mantan kamu yang dulu. Keterlaluan kamu!" Saat itu Elsi memukul putranya dengan gemas diiringi senyum Murni. Elsi bahkan tidak perduli jika ia terlihat lebih menyayangi Murni daripada putranya sendiri. Pantas Restu tak mau dijodohkan selama ini. Ternyata ia punya kekasih di luar sana yang seolah disembunyikan. Ah, serasa itu baru kemarin. Yah, baru kemarin Elsi menyiapkan semua. Gaun pengantin, hotel tempat resepsi, dan segala sesuatu untuk acara besar sang putra. Ia bahkan tidak peduli ketika tahu kekasih Restu kali ini beda dari yang biasa. Murni hanya anak yatim piatu yang berasal dari kalangan ekonomi lemah. Bahkan Elsi terharu mendengar kisah Murni dan adiknya Nilam. Murni bercerita jika ia hanya berdua dengan Nilam setelah orangtua mereka kecelakaan, dan adiknya ikut paman dan bibiknya di kampung. "Nanti kalau kamu nikah sama Restu, ajak adik kamu ke Jakarta. Biar bekerja sama Restu." "Iya terima kasih Ma." Baru tadi Elsi melihat sosok Nilam. Gadis yang sangat cantik, sama seperti Murni. Keduanya sama-sama cantik walau mereka berasal dari keluarga yang tidak mampu. Rasa sedih gadis itu sama seperti dirinya. Elsi kembali menyeka air matanya, membiarkan jenazah calon menantunya dibawa pihak keluarga. Gagal sudah ia memiliki menantu. Gagal sudah harapannya untuk segera memiliki cucu yang akan meramaikan rumah besarnya. Ia sendiri masih harus menunggu kabar dari putranya. Padahal ia sudah bersyukur karena sudah akan memiliki menantu. Berita pernikahan putranya sudah ia sebar ke teman dan sahabat. Karena Elsi bangga putranya akhirnya melenggang ke jenjang pernikahan. Ia bukan tipe wanita di luar sana yang memandang keturunan dan status. Melihat putranya mau menikah saja, bahagia tidak terkira di dalam hatinya. Ia bahkan sudah membayangkan jika istananya akan ramai oleh tangis bayi setahun ke depan. Tapi semua sirna dalam sekejap. Ketika pihak keluarga Murni mengurus pemakaman Murnia, maka Elsi dan Subrata kembali memfokuskan akan operasi putra tunggal mereka. Semoga Restu selamat Ya Tuhan, aku tidak akan minta apa-apa. Aku tidak akan meminta dia untuk cepat-cepat menikah. Yang penting putraku selamat. Pintu ruang operasi terbuka. Seorang lelaki berjubah putih keluar dari sana. "Bagaimana dengan putra kami dok?" Subrata bergegas bangun. Sementara Elsi masih terus mengusap pipinya yang basah. "Kritisnya sudah lewat." "Ya Tuhan, syukurlah." Elsi dan Subrata bernapas lega. "Tapi ada yang harus saya sampaikan pada Bapak dan Ibu. Bisa ke ruangan saya sebentar?" "Baik dok." Dalam perjalanan ke ruang dokter Elsi berbisik. "Pak, bagaimana jika Restu tahu calon istrinya gak selamat? Aku takut." Tiba-tiba kekhawatiran Elsi kembali timbul. "Restu pasti akan tabah Ma." "Semoga tidak ada apa-apa ya Pak, aku takut ada imbas dari kecelakaan ini pada putra kita." "Huss, jangan berpikir yang tidak-tidak. Kita akan dengar apa keputusan dokter dulu." Mereka masuk ke dalam ruang kerja Dokter. Bagai tersambar petir ketika Elsi mendengar vonis dokter. Dokter yang baru saja mengoperasi Restu memberitahu hasil kesehatan Restu selanjutnya. "Ya Tuhan Restu." Isak tangis itu kembali hadir di wajah Elsi. "Anak kita Pa." Subrata mau tak mau ikutan bersedih. "Semua sudah suratan Ma, kita masih bisa mengupayakan kesembuhan Restu dengan terapi. Dokter tadi berkata seperti itu kan?" Subrata memapah istrinya yang melemas saat keluar dari ruang dokter. Elsi memandang wajah suaminya dengan mata berkaca. "Tapi Restu butuh pendamping Pa," isaknya. "Siapa yang mau bu dengan kondisi putra kita seperti itu? Wanita mana yang mau menjadi istrinya dan merawat dengan tulus putra kita bu." Sepasang suami istri itu terdiam dalam pikiran yang bercabang antara kesehatan sang putra dan fakta lain tentang putra mereka. Elsi meraih telapak tangan suaminya. Tiba-tiba terbersit sebuah ide di kepalanya. "Aku tahu siapa yang bisa menolong kita Pa, aku tahu siapa yang bisa menggantikan posisi Murni sebagai calon menantu kita." Subrata melipat kening. "Siapa Ma?" "Nilam, adik kandung Murni."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN