PART 9 - GANTI RUGI.

1747 Kata
Mereka tumbuh bersama. Murni dan Nilam adalah contoh baik untuk dua saudara kandung yang saling menyayangi satu sama lain. Murni yang selalu mengalah pada sang adik dalam hal apapun juga, membuat Nilam sangat kehilangan sekali. Tidak pernah ada pertengkaran diantara mereka sejak mereka tumbuh bersama. Murni dan Nilam tahu mereka anak yatim piatu. Jadi mereka selalu berusaha menjadi kakak dan adik yang selalu rukun. Murni yang giat bekerja di kota, tak jarang mengirimi uang untuk keperluan sang adik. Sekalipun Murni tahu hidup Nilam ditanggung paman dan bibiknya, tapi Murni tahu diri. Ia sudah bekerja, jadi ia ikut membantu meringankan beban pamannya yang mencari uang hanya dengan bertani, dan membuka usaha sembako kecil-kecilan di samping rumah. "Nilam, ibu turut berduka cita atas kepergian Murni." Rokayah, ibu dari Elang kekasih Nilam mengusap punggung calon menantunya dengan penuh kasih sayang. Sejak tadi ia menatap bagaimana kekasih putranya itu berusaha tegar dalam kesedihannya. "Terima kasih bu." Nilam kembali mengusap basah pipinya dari air mata yang semakin banyak tumpah hari ini mengiringi kepergian sang kakak tercinta. Semua mimpi mereka untuk tumbuh bersama dan selalu bersama musnah sudah. Ia tak akan lagi melihat tawa canda dari sang kakak. Pun kebaikan Murni yang selama ini membuatnya bangga memiliki kakak yang tidak hanya cantik tapi penuh kasih sayang. Rumah Nining dipenuhi para pelayat. Mereka semua menyayangkan kisah Murni, karena berita Murni akan menikah sudah tersebar luas di kampung. "Kamu sudah memberi kabar pada Elang, nak?" tanya Rokayah lagi. Nilam menggeleng. Ia tak sempat memikirkan sang kekasih. "Gak usah bu, nanti saja. Elang pasti sedang sibuk." Seingat Nilam, Elang pasti baru sampai di kota. "Tapi Elang harus ada untuk menemani kamu di saat seperti ini Nilam." Rokayah menatap mata sembab milik Nilam. Ia sudah berusaha menghubungi putranya. Sudah berulang kali Elang ditelepon. Bahkan sejak pagi, tapi tetap gak tersambung. Rokayah sudah ada di rumah Nining sejak jenazah Murni datang untuk dikebumikan. Membantu Nining menyiapkan semua perihal pemakaman Murni. Ia dan Nining adalah teman dekat. Bahkan mereka sudah setuju ketika Elang bermaksud melamar Nilam tahun depan. Miris, seharusnya keluarga ini bahagia karena kehadiran calon menantu yang kabarnya anak orang kaya. Tapi kini, lelaki itu masih kritis di rumah sakit. Rokayah ikut berdoa, semoga kekasih Murni bisa selamat. "Elang pasti sedang sibuk mencari tempat kost bu. Gak apa-apa, nanti setelah dia ada waktu, pasti menghubungi Nilam." "Ya sudah, kamu yang sabar ya sayang. Ikhlaskan kakakmu, biar langkahnya lapang di sana." "Iya bu." Nilam menatap foto sang kakak. Masih terngiang di telinganya ketika kakaknya bercerita tentang calon suaminya yang bernama Restu. "Dia orangnya baik, tampan pula." Walau Nilam tidak melihat wajah kakaknya saat itu, tapi ia yakin Murni sedang jatuh cinta pada calon suaminya itu. Ah tepatnya mereka saling mencintai. Karena tidak mungkin terjadi pernikahan jika keduanya tidak saling cinta. Semula Nilam heran ketika mendengar dari mulut kakaknya perihal Restu. Apalagi kabar pernikahan kakaknya yang serba mendadak. Seingatnya selama ini Murni selalu mengelak ketika ia bertanya tentang kekasihnya. Pasalnya Nilam tak mau melangkahi kakaknya dalam menikah. Dan ia begitu bahagia ketika mendapat kabar Murni bukan hanya punya kekasih, tapi sudah ada yang mau melamarnya menjadi seorang istri. "Dia seorang pengusaha, Nilam. Rumahnya besar, perusahaannya juga banyak." "Lalu kakak ketemu dimana sama dia?" Sebutlah Nilam penasaran dengan kisah cinta sang kakak. "Saat kakak bekerja, kami kenalan dan perkenalan kami terus berlanjut sampai tahap pacaran. Dan tiba-tiba dia mengajak kakak menikah." Layaknya dongeng cinderella, Nilam menyangka itulah yang tengah dialami Murni. Dengan posisi berasal dari keluarga biasa, tiba-tiba memiliki kekasih dan akan menikah dengan lelaki yang kaya raya. Cinta memang tak bisa ditebak kemana ia menetap. Tidak pada si kaya juga si miskin. Jika semua sudah tersambung, maka pernikahan adalah tujuan akhir. Sayang semua sirna, sayang cinta sang kakak terbawa ke alam kubur. Mata milik Nilam kembali berembun. "Kak, kakak pergi tinggalin aku sendiri. Bukankah kakak berjanji akan terus temani aku? Aku kini sendiri kak." Ia membelai foto sang kakak dengan penuh air mata. Semua terlalu mengejutkan baginya. Seperti mimpi buruk di dalam tidurnya. Nilam berharap ketika ia bangun, sang kakak akan berdiri di depannya dan mereka berpelukan. Sekuat hati Nilam meyakini, ini nyata. Kepergian sang Kakak sudah menjadi takdir yang kuasa. Kesedihan terus melanda Nilam, hingga hari-harinya ia habiskan di tempat tidur. Bahkan Nining dan Gani sudah beberapa hari ini tidak membuka tokonya. Mereka masih dalam keadaan berkabung. Hingga suatu hari mereka kedatangan tamu yang tidak mereka duga. Nilam dipanggil Nining ke luar, menemani untuk menyambut tamu yang merupakan orang tua dari calon suami Murni. Pak Subrata dan istrinya Elsi. "Bagaimana keadaan nak Restu Pak? Maaf kami belum sempat menengok. Karena di sini masih dalam suasana berkabung." Gani berusaha memulai pembicaraan. Ia tak menyangka calon besannya datang kemari. Ke rumahnya yang jauh dari kata mewah. Bahkan penduduk desa semua menggeleng ketika sebuah mobil mewah parkir di depan rumah Gani. Mungkin mereka bertanya siapa gerangan yang bertamu, pejabat dari manakah, hingga mobilnya sangat menyilaukan sekali. Tapi pertanyaan itu terjawab ketika mereka tahu jika tamu Gani adalah calon besan yang gagal menjadi besan. Mereka tak menyangka kekayaan calon mertua Murni sangatlah jauh dari bayangan orang kampung. Mobil yang terparkir mirip dengan mobil yang dimiliki para artis papan atas dan sering mereka lihat di sinetron di televisi. Tak aneh, pemandangan mobil mewah itu menjadi hiburan anak-anak kampung. "Restu sudah melalui masa kritisnya. Kini sedang dalam masa pemulihan." Subrata menjawab dengan tersenyum hangat. Ia tak menyangka Tuhan masih berbaik hati menyelamatkan nyawa putranya, sedang nyawa calon menantunya tak selamat. Mungkin memang Restu tak berjodoh dengan Murni sang kekasih. "Syukurlah kalau memang ia sudah berangsur pulih." Gani menghela napas lega. Ternyata hanya mereka yang kehilangan Murni. Mungkin memang sudah takdir Murni seperti ini. Nining dan Nilam saling tersenyum singkat. Sekalipun mereka tengah berduka, mereka berusaha menampilkan senyum bak tuan rumah yang bersikap ramah pada tamunya. Sayang mereka tidak tahu jika tamunya kali ini menyimpan niat yang akan membuat sang tuan rumah terkejut luar biasa. Keheningan terjadi beberapa saat kemudian. Elsi dan Subrata saling pandang, membuat tanya dibenak ketiga pasang mata si pemilik rumah. "Hmmm begini Pak Gani, ada yang mau saya sampaikan pada Pak Gani dan keluarga perihal putra kami." Kembali Subrata bicara yang kali ini terdengar serius. Saat bicara, matanya menerawang sekeliling rumah yang terlihat sangat jauh dari miliknya di kota. Rumah yang mereka masuki sejak tadi bisa dikatakan sangat jauh dari kata mewah. Luasnya saja mungkin hanya sebesar garasi rumah mereka. Ternyata benar, Murni berasal dari kalangan biasa. Berbeda dengan mereka. Sayang gadis itu harus pergi, padahal Subrata dan istrinya sangat berharap pada gadis itu. Jujur, sebenarnya Subrata tak tega. Tapi mendengar vonis dokter tentang putranya, membuat Subrata mau tak mau mengikuti arahan istrinya. Semua ini demi putranya. "Ya silahkan pak." Gani dan yang lain menatap Subrata dengan serius. Mereka merasa ada yang penting sekali yang akan disampaikan tamunya ini. "Kami ingin meminta bantuan pada Pak Gani selaku wali dari Murni." Gani dan Nining yang kini saling tatap. "Bantuan pak? Apa ... apa yang bisa kami bantu pak?" Apakah tidak salah? Bukankah mereka orang berpunya? Tidakkah aneh meminta bantuan pada orang miskin seperti kami? "Seperti yang kita ketahui, keluarga besar kami sudah mempersiapkan pesta pernikahan besar-besaran untuk putra kami. Gedung sudah dipesan, katering juga sudah kami bayar. Rencana sudah rampung hampir sembilan puluh persen." Subrata tampak ragu, tapi lirikan sang istri membuatnya kembali tersenyum, walau dengan hati getir. "Kami tidak bisa membatalkan begitu saja pesta yang sudah dirancang dengan baik oleh putra kami." Kening Gani melipat. "Tapi kan Murni sudah meninggal Pak, dan sudah pasti pesta itu batal." "Tidak bisa Pak, putra kami harus tetap menikah." Ini suara Elsi yang menjawab. "Tapi-" Gani tak mampu berkata-kata. "Pesta itu sudah kami siapkan matang-matang dan butuh dana yang tidak sedikit. Restu sudah teramat bahagia ketika ia akan menikah. Dan saya gak mungkin membiarkan Restu sendiri di dalam kehancuran hatinya." Gani mengangguk. "Saya mengerti Pak, Bu. Tapi saya kan tidak mungkin meminta Murni bangkit dari kubur untuk kembali melanjutkan pesta pernikahan dengan nak Restu." Gani semakin bingung. Orang kaya kok aneh. Bagaimana mungkin pesta lanjut jika calon mempelai wanita sudah dikubur. "Murni memang tidak akan bisa bangun lagi Pak. Tapi Pak Gani masih memiliki satu keponakan lagi kan?" Elsi menatap Nilam dengan pasti. Gadis cantik yang semakin ia tatap semakin cantik walau tanpa polesan make up. Gadis ini sama seperti Murni. Sama-sama polos. Sama-sama mewarisi kecantikan alami. Kening Gani, Nining dan Nilam mengerut. Mulut Gani sudah hampir membuka ketika kembali terdengar suara dari Elsi. "Nilam yang akan menggantikan posisi Murni, menikah dengan Restu putra saya." Dengan cepat Nilam menggeleng. "Gak, ibu pasti bercanda." Akhirnya Nilam bisa bersuara juga. "Saya tidak bercanda sayang. Kamu yang akan menikah dengan Restu putra saya. Kamu yang akan menjadi mempelai wanita di pesta pernikahan yang akan terjadi satu bulan mendatang. Elsi menatap wajah gadis di depannya yang tampak pucat pasi. Yah, gadis ini yang akan cocok menjadi menantunya. Tinggal diberi polesan sedikit, ia akan sama dengan gadis kota. "Tidak!" Nilam bahkan bangkit dari duduknya dengan mata menyalang. "Ibu gak bisa seenaknya mengatur saya untuk menikah dengan putra ibu." Melihat Nilam yang histeris, tak membuat Elsi getar. Ia tetap bersikap anggun, ciri khas orang kalangan atas. "Saya bisa melakukannya sayang. Dan kamu harus setuju, atau ...." Kepala Elsi menoleh kepada Gani. "A-atau apa?" Tubuh Nilam mendadak dingin. Ia tahu ada yang tidak beres, berkenaan kedatangan calon mertua mendiang kakaknya ini. "Kalian harus membayar kerugian saya menyelenggarakan pesta itu. Uang gedung, katering, gaun pengantin dan masih banyak lagi." Nilam menggeleng sambil menatap Paman dan Bibiknya. Gani dan Nining pun tak kalah khawatir. "Be-berapa kami harus mengganti bu?" tanya Nining dengan jantung berdebar. "Satu Milyard sudah saya keluarkan untuk biaya pernikahan Restu dan Murni. Jadi kita berdua akan sama menanggung semua kerugian karena pembatalan ini. Dan kita bagi dua saja. Jadi masing-masing harus bisa menanggung sebesar lima ratus juta." Bicara seolah uang yang disebutkan hanya recehan, tak memperhatikan bagaimana pias wajah si pemilik rumah. "Li-lima ratus juta?" tanya Nilam dengan tangan gemetar. Ia saling pandang dengan Paman dan Bibiknya. Dari mana mereka bisa uang sebanyak itu. "Bu, kami gak mungkin punya uang sebanyak itu. Kami sedang berkabung. Kematian kakak saya sudah membuat kami hancur." "Justru itu, kita berdua sama ganti rugi. Kalau kamu gak mau menggantikan Murni menjadi menantu saya, maka terpaksa saya pakai jalur hukum." Elsi berkata setenang mungkin, sementara Subrata menghela napas panjang. Ia menjadi menyesal mengikuti kemauan istrinya. Apalagi ketika melihat raut wajah ketiga orang di depannya. "Jalur hukum? Jalur hukum apa Bu?" tanya Nilam dengan mata berkaca. "Pamanmu akan kami laporkan ke polisi karena tidak mau ganti rugi uang saya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN