"Rani," Rani menggumam ketika Chinami memanggil namanya. Dia tengah mengikat rambut panjangnya dikucir satu.
"Bukankah dia tampan?" tanya Chinami sambil terus memandang seorang pemuda. Rani kembali menjawab dengan gumaman membuat sahabatnya itu mencebik kesal.
"Kau dengar tidak?"
"Iya aku dengar,"
"Kalau begitu lihat pemuda itu," Rani yang sibuk merapikan rambutnya memandang arah pandangan Chinami. Seorang pemuda tengah bermain basket di lapangan.
Dia penuh banyak keringat menandakan dia sudah lama bermain basket. "Bukankah dia menggiurkan?"
"Kau ingin memakannya?" Chinami menatap kesal pada Rani yang menatapnya polos.
"Dia seksi Rani, sekali-kalilah kau itu perhatikan lawan jenismu. Banyak sekali karya Tuhan yang indah." kata Chinami sambil terus menatap si pemuda sambil tersenyum.
Rani memutar matanya bosan dan kembali sibuk dengan rambutnya. "By the way, kok kamu tak berkelahi lagi? Tak ada lawan?"
"Kalau lawan sih ada, malah banyak yang menantangku tapi 'kan aku sudah bilang sama kamu kalau aku sudah diperingatkan sama Wataru-sensei kalau ada satu kasus lagi aku dikeluarkan."
Chinami hanya ber oh ria tanpa memandang Rani. Sekilas dia melirik Rani, Chinami mengkerutkan dahi melihat penampilan Rani yang rapi. Entah ada apa.
"Rani, kok penampilan kamu rapi sekali? Tumben," Rani terkekeh pelan setelah dia melihat penampilannya.
"Iya, kakekku pulang dari Itali, rencana aku mau bertemu dengan dia sehabis pulang sekolah nanti." Chinami tersenyum dan kembali menatap pada si pemuda pujaannya.
"Selamat datang Wynne-san, senang bisa bertemu dengan Anda." kata seorang pria tua sambil menjabat tangan Karma. Dia juga tersenyum ramah pada Karma.
"Saya juga senang bisa bertemu dengan anda Kazuha-san," balas Karma dengan datar. Karma lalu dipersilakan duduk dan disuguhi kopi oleh sekertaris Tuan Ikabayashi Kazuha.
"Bagaimana dengan kerja sama kita Wynne-san, apa anda menyetujuinya?" tanya Ikabayashi setelah berbasa-basi.
"Tentu saja, hanya saja ada satu yang membuatku ragu. Untuk mengerjakan proyek kerja sama kita, kita membutuhkan seseorang untuk mendesain proyek kita." Ikabayashi menganggukan kepalanya perlahan, mengerti dengan maksud Karma.
"Bagaimana jika cucuku saja yang mendesain proyek kita, dia itu pandai menggambar. Dengan ini kita tak perlu susah mencari seseorang untuk mendesain," Karma menganggukan kepalanya mengerti.
"Kalau begitu di mana cucu anda? Saya ingin berkenalan dengan dia," pinta Karma. Suara tawa wibawa Ikabayashi menggema di ruang kantornya yang luas.
"Sabarlah, dia akan datang sebentar lagi." Suara pintu terbuka menginterupsi keduanya.
"Kakek," ucap suara seorang gadis berjalan menghampiri keduanya. Karma membalikkan tubuhnya menatap datar si gadis yang terkejut melihatnya.
"Kau," ucap keduanya serempak. Rani terkejut melihat Karma berada di ruangan kakeknya begitu juga Karma tapi dia masih mempertahankan pandangannya yang datar.
"Kalian sudah saling kenal ya? Wah bagus sekali," keduanya sama-sama menatap pada Ikabayashi yang tersenyum. Dia mendekati Rani dan merangkul pundak gadis berusia 15 tahun itu.
"Ini cucuku yang kedua, namanya Rani Jaya Putra. Dialah orang yang aku bicarakan tadi denganmu Wynne-san." Rani menatap Kakeknya dengan heran tak tahu apa yang si pria tua ini maksud.
"Aku harap kau bisa bekerja sama dengan baik dengan cucuku, Wynne-san."
"Hah? Apa yang Kakek maksud?"
"Tidak, aku tak mau." tegas Rani mempertahankan keputusannya. Setelah Karma pergi dan Ikabayashi menjelaskan pada Rani. Dugaan Ikabayashi tepat, Rani menolak mentah-mentah.
"Ayolah Rani, lagi pula tak ada ruginya 'kan kau membuat desain untuk proyek kerja sama kami." rayu sang kakek.
"Tapi Kakek, aku ini mau menjadi seorang mangaka bukan seorang desainer."
"Hitung-hitung cari pengalaman Rani, dari pada kamu menggambar tanpa tujuan," Rani menghela napas dan bangkit dari tempat duduknya. Apa boleh buat dia harus mengambil pekerjaan tersebut, tanpa mengatakan kalau Rani sudah setuju, dia bergerak menjauh dari Ikabayashi dan mengambil tasnya.
"Kau mau kemana?" tanya Ikabayashi melihat Rani bergerak menjauh darinya.
"Pulang,"
"Tapi setuju ya dengan proyek itu," Rani lagi-lagi membuang napas kasar dan mengancungkan jempolnya pada si Kakek setuju dengan permintaan Ikabayashi.
Setelah itu dia pergi keluar dari ruangan kerja Ikabayashi, sekertaris Tuan Ikabayashi yang melihat Rani baru keluar dari ruangan bosnya menunduk hormat singkat pada Rani.
Gadis itu berjalan menuju lift. Dia segera masuk begitu pintu terbuka. Rani menekan lantai 1 dan menunggu. Lift berhenti di lantai 5, tanda seseorang tengah menunggu lift di lantai 5.
Rani yang awalnya sibuk dengan smartphonenya mendadak memusatkan perhatian pada orang yang baru saja masuk.
"Aku pikir kau sudah pulang," ucap Rani pada Karma yang diam sejak pria itu masuk.
"Aku punya urusan penting jadi..." perkataan Karma terpotong merasakan lift itu berguncang. Rani juga terkejut merasakan guncangan tersebut.
Rani tampak kehilangan keseimbangan saat guncangan itu terjadi. Beruntung Karma segera menahan tubuh Rani hingga dia tak terjatuh.
Guncangan akhirnya berhenti. Rani bernapas lega dan memandang Karma yang sekarang sangat dekat dengannya. Aroma jeruk dari Rani tercium oleh Karma karena sangat dekat dengan gadis itu.
Awalnya keduanya sama-sama diam memandang lekat sebelum akhirnya Rani melepaskan diri dari kedua tangan Karma yang menopang tubuhnya.
"Terima kasih," sebagai jawaban Karma hanya menggumam. Pria itu lalu menekan tombol bantuan di lift tersebut. "Halo, kami terjebak di lift sekarang tolong keluarkan kami."
"Percuma saja kau meminta tolong, tombol itu sudah rusak dari lama." kata Rani santai. Dia, yang awalnya berdiri kini sedang duduk manis tanpa ada raut wajah ketakutan atau cemas sama sekali.
"Kau tak takut ya?" Rani menaikkan sudut bibirnya, tersenyum sinis pada Karma.
"Lalu apa? Kau akan menjadi pahlawan bagiku dengan cara mengusap rambutku sambil berkata semuanya akan baik-baik saja. Heh, kau salah besar Paman."
"Semakin aku mengenalmu, semakin kau terlihat aneh."
"Aneh? Kau yang aneh pria muka datar," ejek Rani. Karma lalu ikut duduk di samping Rani.
"Serius, kalau orang lain berada di posisi kita mungkin saja dia akan histeris."
"Kau juga tak histeris,"
"Kau salah besar, aku memang tak menunjukan raut wajahku tapi sungguh sekarang aku merasa panik." kata Karma dengan nada datar. Rani menghela napas berat.
"Aku mengidap penyakit Urbach-Wiethe."
"Penyakit apa itu? Baru dengar nama penyakit yang begitu," Rani menatap kesal pada Karma yang menatapnya innocent.
"Penyakit yang kuderita ini tak bisa membuatku takut. Aku memang bisa menangis, cemas, khawatir, senang, sedih tapi tidak untuk takut." Karma mengangguk mengerti.
"Jadi itu sebabnya kau berani melakukan sesuatu,"
"Ya seperti itulah."
"Halo, apa ada orang di dalam lift?" Rani sontak terkejut mendengar suara dari speaker yang terdapat di lift.
"Tolong, kami berada di dalam lift. Kami terjebak di sini." Rani kemudian mengumpat kasar, dia baru sadar bahwa tombol pembantu sudah lama rusak jadi percuma saja meminta bantuan.
Lift kembali bergoyang kali ini lebih dashyat. Rani dan Karma sama-sama terjerembab jatuh. Rani jatuh lebih dulu diikuti Karma yang jatuh menimpa Rani.
Beruntung Karma menyangga tubuhnya dengan sikut kedua lengannya sehingga dia tak benar-benar menimpa Rani. Tapi sekarang jarak di antara mereka sangat tipis.
Ditambah dengan posisi mereka sekarang. Bibir keduanya pun hampir bersentuhan. Wajah Rani memerah melihat wajah Karma sangat dekat dengannya di tambah dengan ekspresi Karma yang masih sama yaitu datar.
Mereka berdua tak sadar pintu telah terbuka menampakan keduanya yang tak merubah posisi mereka. "What the f**k!? Hei kau pria p*****l singkirkan tubuhmu di atas tubuh adikku!?"
Rani dan Karma sama-sama menoleh. Mata Rani membulat melihat Dani menatap keduanya dengan penuh amarah atau lebih tepatnya menatap Karma. "Abang."