"Ayo Rani minum obatmu, Abang tak mau kalau sakitmu tambah parah." pinta Dani pada Rani yang masih berkonsentrasi menggambar. Rani mendelik kesal pada Dani dan kembali berkonsentrasi pada gambarnya.
"Rani!?"
"Abang sudahlah, jangan memperlakukanku layaknya anak kecil. Aku bisa sendiri kok." balas Rani.
"Justru kalau kau tak diingatkan, kau akan lupa." sahut Dani sambil menghampiri Rani dengan membawa segelas air hangat dan obat Rani.
"Dokter Hira sudah bilang padamu, kau harus menghabiskan obatmu supaya kau sehat, ini ambillah." kata Dani sambil menyodorkan satu tablet obat pada Rani.
Rani menghela napas dan menerima obat itu lalu meminumnya. "Tidurlah, supaya obatnya mudah bekerja."
"Iya Abang." Rani lalu meletakkan obatnya di meja dan membaringkan tubuhnya di ranjang. Dani tersenyum melihat Rani yang menurutnya dia lalu mengecup pucuk kepala gadis itu.
"Selamat malam Rani,"
"Malam Abang," Dani lalu mematikan lampu dan menutup pintu kamar Rani. Begitu dia mendengar langkah kaki Dani yang berjalan meninggalkannya, Rani bingkas berdiri dan berjalan menuju balkon kamarnya secara perlahan takut kalau Dani tahu.
Setelah dia sampai, Rani lalu turun dengan menggunakan dahan pohon yang berada di dekat balkonnya. Setelah dia sampai di bawah, gadis itu tersenyum lebar dan menjulurkan lidahnya mengejek sang Kakak yang tak sadar kalau dia sudah berada di luar.
Rani secepatnya pergi dari tempat itu. Rasanya senang sekali bisa membebaskan diri dari kakaknya yang sister complex itu tapi rasa senangnya langsung menjadi kesal mengingat sang kakak yang selalu menganggapnya adalah seorang adik yang kekanak-kanakan.
Padahal Rani menganggap dirinya sudah bukan anak kecil lagi. Dia kuat, tak ada yang sanggup melawannya. Dia mengumpat kasar saat kembali mengingat sifat kakaknya.
Saking kesalnya dia menendang kaleng bekas yang di sampingnya. Kedua mata Rani mengikuti arah kaleng yang melayang itu dan membulatkan matanya melihat kaleng itu mendarat dengan keras di kepala seorang pria.
Begitu keras bunyi yang di timbulkan membuat Rani menggigit bibirnya. 'Pasti sakit sekali.' batin Rani.
Dia lalu buru-buru menghampiri si pria yang mengusap kepalanya. "Paman, apa kau tak apa-apa?" tanya Rani merasa bersalah.
"Aku minta maaf karena menendang kaleng itu, sungguh aku tak sengaja mengenai kepala Paman," lanjutnya meminta maaf.
"Kau," Rani yang menundukan kepalanya mengangkat wajahnya dan terkejut melihat Karma menatapnya dengan pandangan datar.
'Hah? Dia lagi? Oh Tuhan, takdir apa yang kau berikan padaku. Kenapa aku selalu menyakiti pria ini?'
"Kenapa kau berada di sini? Ini sudah tengah malam loh, tak baik seorang gadis berkeliaran di tengah malam seperti ini." Rani memutar matanya bosan, dia pergi dari Abangnya yang selalu mengomel hanya untuk kembali diomeli oleh seorang pria yang baru dikenalnya beberapa hari.
Walau dia memakai nada datar tapi dari perkataan yang dilontarkan oleh Karma Rani tahu bahwa dia diomeli. "Paman, apa Paman tak apa-apa?" tanya Rani.
"Tak apa-apa kok," balas Karma datar.
"Apa tak sakit?"
"Sakit,"
"Kenapa ngomongnya datar terus?"
"Kenapa? Aneh ya?" Rani gemas dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Karma. Ingin rasanya memukul pria ini tapi Karma tak mempunyai salah apa-apa. Dia akan disalahkan jika memukul pria yang di depannya ini.
"Ya iyalah aneh, tak ada orang lain sepertimu, memangnya ada orang yang kalau kepalanya terantuk benda keras cuma bilang sakit tanpa meringis kesakitan."
"Aku tak merasa aneh, justru kamu yang aneh,"
"Aku?!"
"Iya, mana ada gadis yang keluyuran tengah malam begini."
"Hei asal kau tahu ya..."
Krrukkk
Perkataan Rani terhenti, wajahnya memerah. Sial, kenapa perutnya itu tak bisa berkompromi di saat seperti ini. Mana besar lagi suaranya, bikin malu saja. Karma menghela napas berat tanpa berniat menertawakan gadis yang kini merunduk malu di depannya.
Rani menyeruput ramen dengan enaknya. Siapa sangka dia akan ditraktir oleh Karma yang berada di sampingnya juga memakan ramennya, "Terima kasih atas makanannya. Paman, ini enak sekali." puji Rani pada pemilik sekaligus koki di restoran Ramen yang buka saat malam hari
"Terima kasih Nona, kalau mau anda bisa menambah lagi." balas si pemilik.
"Tidak aku sudah puas kok, makasih ya Paman." Rani lalu berahli pada makanannya.
"Kembali ke topik, kenapa kau keluyuran tengah malam begini? Kau tak takut ya dimarahi sama a..."
"Abangku?"
"Ya, Abangmu." Rani membuang napas kasar dan menatap Karma yang menatapnya.
"Justru itulah, Abangku itu tak memperbolehkan aku keluar dari tadi hanya karena aku sakit flu ringan, makanya aku menyelinap keluar dari rumah. Bosan tahu seharian cuman di rumah terus." celetuk Rani pada Karma.
"Orang yang kau sebut Abang itu, apa dia adalah laki-laki yang memanggilmu di rumah sakit kemarin?" Rani melebarkan matanya.
"Kau mengenal Abangku?" Karma menggeleng.
"Aku hanya mendengar kau dipanggilnya saja, oh ya aku heran mendengarmu memanggilnya dengan sebutan 'Abang' kalian punya hubungan khusus?"
"Ya, dia kakak laki-lakiku."
"Kakak laki-laki? Harusnya kau panggil dia Ni-chan,"
"Sudah kebiasaan dari kecil, aku dulu tinggalnya di Indonesia sama Abang aku tapi setelah umurku 13 tahun Kakekku datang menjemput kami untuk tinggal di Jepang." balas Rani menjelaskan.
"Tunggu, kalau kau ada di sini. Siapa yang menjaga Sherly?" tanya Rani sadar bahwa Sherly tengah berada di apartement Karma sendirian.
"Selama pintu apartementku terkunci dan hanya aku dan Sherly yang tahu password di apartemen kami, aku jamin dia tak akan apa-apa." terang Karma santai.
"Dia sedang apa sekarang?"
"Tidur, aku tak tega meninggalkan dia kalau dia belum tidur."
Rani bernapas lega mendengar penuturan Karma. Karma pun memperhatikan dengan seksama raut wajah Rani yang awalnya cemas menjadi lega. "Sepertinya kau sangat perhatian sama Sherly ya, walau kalian baru berkenalan beberapa hari,"
"Kenapa? Memangnya salah?" Karma menggeleng.
"Malahan aku berterima kasih sama kamu, berkat kamu dia bisa merasakan kasih sayang." Rani kembali menyeruput mie ramennya dan mengunyah lalu menelannya.
"Sudah lama ya Ibu Sherly meninggal?"
"Ya, dia meninggal setelah dia melahirkan Sherly," ujar Karma.
"Kalau dia masih hidup, pasti kalian akan jadi keluarga bahagia." kata Rani sambil memikirkan bagaimana Sherly dan Karma bahagia bersama dengan Ibu Sherly.
"Ya, seharusnya." gumam Karma tanpa sadar.
"Cepat habiskan makananmu, aku akan mengantarmu pulang." Rani menunjukan raut wajah protes.
"Kalau mau pulang, pulang saja sana, aku mau jalan-jalan dulu." deliknya tak mau menuruti perintah Karma.
"Tak ada jalan-jalan, kau harus pulang, memangnya baik ya seorang gadis berkeliaran di tengah malam ini. Lihat sudah mau jam satu pagi," kata Karma sambil memperlihatkan jam tangannya.
Rani berdecak kesal, kenapa dia harus bertemu dengan Karma. Rencananya jadi berantakan karena pria ini langsung menyuruhnya pulang, harusnya dia lari saja ya waktu itu.
Sial. Sekarang dia harus menuruti perintah Karma jika tidak mungkin saja dia akan menelpon Dani.
"Stop," Karma memberhentikan langkahnya mendengar ucapan Rani yang saat ini gelagatnya aneh. Dia celingak-celinguk di depan rumahnya sendiri.
Rumah dalam keadaan gelap, hanya satu lampu yang dinyalakan yaitu di teras. Bagus, itu artinya Abangnya itu sudah tidur. Rani bersorak dalam hatinya dan kembali menatap pada Karma."Kau bisa pulang sekarang,"
"Kenapa?"
"Pokoknya pulang saja, aku takut nanti kalau Abangku tahu aku pulang sama kamu nanti dia ngamuk besar, dia 'kan sister complex."
"Tapi," Rani mengibas-ngibaskan tangannya memberi isyarat pada Karma agar pulang secepatnya.
"Aku akan baik-baik saja, terima kasih sudah mengantarku pulang." Akhirnya dengan sedikit paksaan, pria berumur 30 tahunan itu menurut dan pergi.
Rani tersenyum dan kembali ke kamarnya melalui pohon sama seperti saat dia turun. Kembali ke kamar untuk beristirahat agar paginya dia bisa beraktivitas seperti biasa.