Bab 3. Melarikan Diri

1271 Kata
"Apa? Menikah denganmu?" Senja meyakinkan pendengaran. Ethan tersenyum ramah, duduk di sisi ranjang, memandang wajah gadis yang memiliki kecantikan alami. "Itu pun kalau kamu mau. Aku tau, kita baru bertemu. Kamu pasti gak kenal siapa aku. Yang perlu kamu ketahui, aku enggak seperti papahku. Jalan kami sangat bertolak belakang. Dia menjalani bisnis hitam. Sedangkan aku, hanya pengusaha kain tekstil. Tapi, aku yakin kalau kamu gadis yang baik. Paling tidak, setia ketika menjadi istriku nanti. Bagaimana? Apa kamu mau aku nikahi? Atau lebih memilih dinikahi papahku besok siang?" Senja terkejut mendengar pilihan yang diucapkan Ethan. Mereka saling memandang satu sama lain. Senja menyelami kedua bola mata Ethan, mencari kesungguhan kata-katanya. Sedangkan Ethan, menikmati wajah cantik yang ada di hadapan. Sadar, mereka saling memandang. Senja memalingkan muka ke arah lain. Baru saja Ethan hendak bicara lagi, terdengar suara pintu yang akan dibuka. Ethan dan Senja membeliakkan kedua mata. Pemuda itu menempelkan jari telunjuk ke depan bibir, lalu beranjak menuju dinding yang depannya terdapat rak buku. Kemudian, Ethan seperti menekan tombol, dinding terbuka, tubuh Ethan masuk. Lalu, posisi rak buku kembali seperti semula. "Senja, calon istriku. Ternyata kamu kamu belum tidur. Kenapa, Sayang? Apa kamar ini membuatmu tidak nyaman?" Hendry masuk kamar, bertepatan dinding yang dimasuki Ethan kembali ke posisi semula. Senja terdiam, tidak ada ekspresi yang dia tunjukkan. Hanya terlihat bernapas lega. Sebab, Hendry tidak memergoki Ethan berada di dalam kamar ini. Lelaki yang usianya lebih setengah abad itu, berdiri angkuh. Menelisik penampilan Senja dari ujung rambut hingga ujung kaki. Meski tanpa polesan make-up wajah, Hendry dapat memastikan kalau gadis itu memiliki kecantikan natural. Senja tak membalas ucapan Hendry. Ia memalingkan muka ke arah lain. Jijik, membayangkan dirinya menjadi istri lelaki kejam itu. Kedua mata Senja terpejam sejenak, suara Ethan beberapa menit lalu kembali teringang. Apa mungkin lebih baik menikah dengan Ethan dari pada dinikahi Hendry? Paling tidak, Ethan usianya tidak terlalu jauh dengannya dan tidak menjalankan bisnis hitam yang digeluti Hendry. Tapi, apa mungkin benar, kalau Ethan tidak seperti Hendry? Bukankah mereka ayah dan anak? Bagaimana kalau Ethan sama jahatnya seperti Hendry? Hendry melangkah, duduk di samping tubuh Senja. Sebelah tangan Hendry menjawil dagu gadis itu. "Kamu sangat cantik, Senja. Aku gak sabar ingin memilikimu seutuhnya. Kalau badanku sedang tidak lelah, ingin sekali malam ini kita bercinta." Bisikan Hendry membuat bulu kuduk Senja meremang. Stamina tubuh Hendry sedang berkurang. Setelah melakukan penukararan antara Gunawan dan Senja, Hendry kelelahan usai melakukan pertemuan dengan pembisnis yang datang dari China dua jam lalu. Tubuh Hendry setengah membungkuk, mencengkram dagu Senja, mengangkat agar menatapnya. "Besok jam 10 siang, kita akan menikah. Aku harap sekarang kamu istirahat. Aku gak mau riasan pengantinmu besok tidak bagus. Paham?" Sangat kasar, Hendry menghempaskan dagu Senja. Hendry dan dua ajudannya keluar kamar. Perlahan, tangisan Senja pecah. Kini, masa depannya akan hancur. Sebentar lagi Senja dijadikan b***k nafsu Hendry, setelahnya akan dicampakkan bagai sampah. "Sungguh malang nasibku, Tuhan," rintih, Senja menangisi nasib yang menimpanya. Dinding yang sebelumnya dibuka Ethan, terbuka kembali. Senja tidak terkejut, sudah tahu siapa yang datang menghampiri. "Senja, kenapa kamu nangis? Apakah Papah menyakitimu?" Ethan memegang kedua bahu Senja, menelisik tubuh Senja, apakah ada luka atau tidak? "Eng-enggak. Dia gak nyakitin tubuhku." Ethan bernapas lega. Kedua pundaknya menurun, menatap iba gadis di depannya. "Senja, tadi aku sudah katakan, menikahlah denganku. Kita akan pergi dari sini. Aku janji, akan membawamu keluar dari tempat ini, Senja." Ethan kembali memegang bahu Senja yang berguncang karena menangis. Rasa iba memenuhi hati Ethan, padahal mereka baru bertemu hitungan jam, tapi Ethan merasa seperti sudah lama mengenalnya. Gadis itu mendongakkan kepala, menyusuri wajah pemuda tampan yang duduk di dekatnya. Memang, raut wajah Ethan terlihat lebih lembut dari pada Hendry. Bahkan Senja dapat melihat kasih sayang dari sorot matanya. "Senja, kalau kamu gak mau aku nikahi, gak masalah. Tapi kalau kamu mau, aku bisa mengajakmu pergi dari tempat ini. Bagaimana?" sambung Ethan, menyeka lelehan air mata Senja menggunakan sapu tangan yang diambil dari saku celana. "Ya udah kalau kamu gak mau." Tak kunjung mendapat tanggapan dari Senja, Ethan pun beranjak. Ethan tak bisa memaksa kehendaknya. Meski hatinya mulai merasakan getaran cinta. Lucu memang, baru pertama kali bertemu, tapi sudah merasakan cinta. Apa mungkin ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama? "Tunggu!" Suara Senja menghentikkan langkah Ethan yang sudah berada di depan pintu. Ethan membalikkan badan, menunggu kalimat Senja. Ia sengaja tidak bertanya, ingin tahu apa yang ingin Senja katakan. "A-aku mau kamu nikahi. Asalkan bawa aku pergi dari sini." Senyum Ethan seketika mengembang sembari menganggukkan kepala. "Kamu bersiaplah! Satu jam lagi, kita akan pergi." Ethan tak menunggu tanggapan Senja, ia berlalu keluar kamar. Mempersiapkan segalanya agar Hendry dan anak buahnya tidak mengetahui kepergian Ethan dan Senja. Satu jam kemudian, Senja tersentak, mendengar suara pintu terbuka. Lalu, muncul seorang lelaki mengenakan pakaian serba hitam, masuk ke dalam kamar. Senja berusaha mengenali wajah lelaki yang tertutup masker itu. "Siapa kamu?" "Aku Ethan. Diamlah! Kita harus bergerak cepat, selagi semua orang yang ada di rumah ini terlelap. Cepat!" Ethan berhasil melepaskan tali yang mengikat kedua tangan dan kedua kaki Senja. Gadis itu berusaha menggerakkan kakinya, turun ke ranjang, dan berjalan mengendap-endap bersama pemuda yang akan menikahinya. Mereka keluar rumah lewat jalan belakang. Di sana terdapat pintu yang menghubungkan ke jalan utama. Ethan dan Senja tetap berwaspada. Setelah masuk ke dalam mobil yang sebelumnya dipersiapkan Ethan di gerbang belakang rumah, kendaraan pun melaju cepat. Ethan sudah merencanakan kepergian keduanya. Senja dan Ethan bernapas lega ketika kendaraan yang mereka tumpangi sudah menjauh dari rumah megah bak istana milik Hendry Abraham. "Kita mau kemana? Apa kamu akan membunuhku?" Pertanyaan Senja membuat pemuda yang duduk di balik kemudi menoleh seraya menyunggingkan senyum manis. "Aku gak mungkin membunuh calon istriku. Kamu tenang aja, kita akan keluar kota. Tepatnya daerah puncak Bogor. Di sana aku akan menikahimu," jawab Ethan menoleh sekilas. Senja menelan saliva, pipinya bersemu merah, memalingkan muka, malu. Perjalanan mereka cukup melelahkan. Sampai di halaman sebuah Villa, Ethan kembali berkata. "Kita akan menikah sirri dulu. Yang penting kamu udah aku nikahi. Kalau kamu udah aku nikahi, papah gak akan berani menikahimu," kata Ethan, sebelum turun dari mobil. Senja menganggukkan kepala. Masuk ke dalam villa, kedatangan keduanya disambut seorang wanita berhijab yang senyumnya mirip dengan Ethan. "Mah, ini Senja. Senja, ini mamahku." Senja meraih telapak tangan wanita itu, lalu mencium punggung tangannya takzim. "Saya Senja, Tante." "Jangan panggil tante. Panggil mamah aja, Senja. Sebentar lagi kan kalian menikah." Senja tersenyum bahagia, mendapat sambutan yang ramah dari calon ibu mertua. Pukul 10 pagi, Senja sudah dirias dan mengenakan pakaian kebaya pengantin yang disiapkan ibu kandung Ethan. Tepat pukul sebelas siang, semua orang berkumpul. Senja yang tidak memiliki keluarga lagi selain Gunawan dan Anita, memilih dihadiri wali hakim. Ethan berpenampilan sangat rapi. Mengenakan jas hitam dan kemeja putih serta celana bahan hitam. Sepasang calon pengantin duduk berdampingan. Sonia, ibu kandung Ethan duduk di sisi Senja. Akad nikah pun segera dimulai. Acara itu tidak mewah namun terkesan sakral. Hanya dihadiri sekitar sebelas orang. Ijab qobul berjalan lancar. Senja masih tidak menyangka, secepat ini melangsungkan pernikahan dengan lelaki yang baru dikenalnya. "Ethan!" Suara bariton itu terdengar penuh amarah. Semua orang yang berada di dalam ruangan menoleh ke sumber suara. Ethan, Sonia, dan Senja terkejut melihat kedatangan Hendry. Langkah kaki lelaki yang telah memiliki banyak istri itu dipenuhi emosi. "Kita pulang, Senja!" titah Hendry, mencengkram lengan Senja dengan kuat. "Lepasin tangan istriku, Pah! Senja sekarang telah sah jadi istriku. Kami sudah menikah." Ethan berhasil menarik Senja ke belakang tubuhnya. "Apa? Kalian sudah menikah?" "Iya. Aku dan Senja sudah menikah beberapa menit lalu. Lihat pakaian kami, kami baru saja melangsungkan pernikahan. Kenapa? Papah mau marah? Mau pukul aku? Silakan!" Kepala Ethan mendongak, menantang Hendry. "Lancang kamu, Ethan. Anak kurang ajar."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN