Bab 2. Pertemuan Pertama

1160 Kata
Setelah menghubungi Hendry, satu jam kemudian datang kendaraan roda empat yang terlihat mewah berwarna hitam masuk ke halaman rumah Gunawan. Rumah yang sebenarnya peninggalan kedua orang tua Senja. Tubuh Gunawan ditarik keluar dari mobil. Kedua tangan diikat ke belakang, sedangkan mulutnya ditutup lakban hitam. Senja dan Anita berteriak histeris, tubuh Gunawan didorong hingga jatuh terjerembab. Kemudian, kedua lelaki berbadan besar itu memegang lengan Senja. Menarik paksa. "Jangan bawa Senja! Jangan ...!" Anita berlari, berusaha menarik Senja dari cengkraman lelaki bertubuh besar itu. Tubuh Anita justru terpelanting jauh, didorong kasar salah satu anak buah Hendry. "Tante, aku gak apa-apa. Tante dan Paman harus pergi dari sini! Pergi jauh. Pergi ...!" Teriakan Senja sudah tidak terdengar lagi. Ia dipaksa masuk ke dalam mobil, lalu kendaraan yang ditumpanginya itu meninggalkan Anita dan Gunawan yang menangis histeris. Anita menoleh, melihat suaminya yang mengeluarkan air mata. Kedua tangan mengepal kemudian melayang, menampar pipi Gunawan. Nyeri, yang dirasakan Gunawan. Namun, ia pasrah. "Kamu lihat, Mas! Kamu lihat! Gara-gara perbuatanmu, Senja menggadaikan hidupnya dinikahi tua bangka itu. Semua ini salahmu. Aku sudah sering bilang, jangan berurusan sama Tuan Hendry! Jangan! Tapi, kamu, kamu tetap egois. Masih saja berurusan dengan lelaki kejam itu. Kenapa, Mas? Kenapa kamu gak pernah memikirkan keselamatanku dan Senja? Kenapa?" Segala amarah yang dipendam Anita, diluapkan pada lelaki yang kedua tangannya masih terikat. Jauh dari lubuk hati Gunawan, ia pun tak ingin kalau Senja menikah dengan Hendry, lelaki yang sering kali mempermainkan banyak wanita. Lelaki yang sering kali melakukan banyak kejahatan dan berbuat semena-mena. Gunawan tak dapat membayangkan jika gadis yang ia jaga dan dianggap selayak anak sendiri, harus menikah dengan lelaki jahat bernama Hendry Abraham. Melihat suaminya menangis tersedu-sedu. Hati Anita tak tega. Dengan kasar, ia membuka lakban hitam yang menutupi mulut Gunawan. "Aku minta maaf, Anita. Aku minta maaf. Aku juga gak nyangka kalau Tuan Hendry menginginkan Senja." Tangisan Gunawan menyayat hati. Tapi, dia tidak berdaya dan tidak punya kekuatan untuk melawan Hendry apalagi sekarang Gunawan sudah terlilit utang sangat besar. Mungkin jika Gunawan punya banyak uang untuk melunasi utang-utangnya pada Hendry, Senja tidak akan dibawa mereka. "Kamu emang b******k, Mas. Jahat!" Anita terus saja mencaci maki Gunawan. Hatinya sungguh bimbang. Satu sisi ia bahagia karena suami yang dicintai sudah pulang dengan selamat. Tapi, sisi lain ia sangat bersedih dan khawatir akan keselamatan Senja yang saat ini berada dalam genggaman Hendry. "Malang sekali kamu, Senja. Maafkan Tante, Senja. Maafkan Tante." *** Mulut Senja sudah ditutup lakban hitam karena ia tak pernah berhenti berteriak dan meronta. Kedua lelaki berbadan kekar itu membawa Senja ke dalam rumah yang sangat besar nan mewah. Tapi, bagi seorang Senja, rumah besar itu selayak neraka jika Hendry benar-benar menjadikannya seorang istri. "Hei, siapa gadis itu?" Sebuah suara membuat kedua lelaki yang menggelandang Senja menoleh ke belakang. Lalu, setengah membungkuk, mereka memberi hormat pada seorang pemuda berusia 27 tahun. Ethan Abraham, anak tunggal Hendry Abraham dari istri pertama. Lelaki itu berwajah tampan, memiliki tinggi tubuh tegap, berpakaian rapi dan memiliki kedua alis tebal. "Siapa lelaki ini? Apakah dia adalah anaknya Tuan Hendry?" batin Senja bertanya-tanya sambil terus berusaha meronta. "Maaf, Tuan Muda. Gadis ini adalah calon istri tuan besar." "Apa?" Ethan terkejut, sebelah alisnya terangkat. "Papah mau nikah lagi? Tua bangka gila! Sudah tua bukannya ingat mati. Nafsu saja yang diikuti," gerutu Ethan yang samar-samar terdengar di telinga Senja. Tampaknya ia pemuda yang baik. Terlihat tidak suka dengan kelakuan Hendry. "Mohon maaf, Tuan Muda. Kami hanya menjalankan perintah tuan besar. Kami permisi." Ethan tak dapat menyalahkan kedua anak buah papanya. Mereka hanya diperintahkan. Ethan dan Hendry selalu saja berbeda pendapat dan pemikiran. Bahkan Ethan yang tiada lain anak tunggal Hendry, tidak mau mengikuti jejak bisnis papanya. Ia lebih memilih membuka usaha sendiri. Usaha yang legal, usaha yang aman, dan tentunya usaha yang tidak merugikan banyak orang, meskipun keuntungan yang Ethan dapatkan tidak sebesar keuntungan bisnis hitam milik Hendry. Kedua lelaki berbadan besar itu meneruskan langkah menuju salah satu kamar yang berada di ruang bawah tanah. Ethan menghela napas berat. Mau sampai kapan Ethan membiarkan kejahatan yang dilakukan papanya? Sudah berapa banyak wanita yang dinikahi Hendry? Lalu, dicampakkan begitu saja. Beruntung, hasil pernikahan Hendry dengan wanita lain tak pernah memiliki anak lagi. Hanya Ethan, anak kandung Hendry dari pernikahan pertama. Entah mengapa, melihat sorot mata gadis itu, Ethan merasa iba. Tidak dapat membayangkan jika gadis yang usianya masih muda itu menjadi b***k nafsu Hendry. Ethan menggelengkan kepala, ia lantas masuk ke dalam kamar. *** Tengah malam, Ethan berdiri di pintu balkon, menghisap rokok dalam. Kedua matanya tak juga terpejam. Bayangan gadis yang ditemuinya beberapa jam lalu memenuhi pikiran. Sepertinya gadis itu terpaksa berada di tempat ini. "Apakah dia dijadikan sebagai penebus utang atau jangan-jangan memang sengaja diculik papa? Astaghfirullahalazhim sampai kapan tua bangka itu berada di jalan yang salah?" Ethan mematikan puntung rokok ke atas asbak, berjalan cepat keluar kamar, menemui gadis yang belum diketahui namanya di ruang bawah tanah. Kunci yang selama ini ia simpan tanpa sepengetahuan Hendry berhasil membuka pintu. Senja terkesiap. Gadis itu duduk di atas ranjang, kedua tangan dan kaki diikat. Tapi, mulut tidak ditutup lakban hitam lagi. Ethan mengulas senyum, menutup pintu dan mengunci kembali. Rasa takut menguasai Senja. Namun, sebisa mungkin ia menyembunyikannya. Ethan memasukkan kedua telapak tangan ke dalam saku celana, bibir tersenyum melihat kecantikan alami yang terpancar dari raut wajah gadis itu. "Hai, namaku Ethan. Nama kamu siapa?" Tanpa ragu, Ethan memperkenalkan diri. Senja mengerutkan kening sebelum menjawab. Ethan mengangkat kedua alis, berusaha bersikap tenang dan ramah. "Kamu jangan takut. Aku gak mungkin memakanmu. Kalau aku boleh tau, namamu siapa?" "Senja." "Senja? Nama yang bagus. Tapi, sayang, gadis muda dan cantik sepertimu, mau-maunya dinikahi lelaki tua bangka seperti papaku." Sengaja, Ethan memancing amarah gadis itu. Biasanya jika orang sudah diliputi emosi, maka dia akan lepas kendali dan bercerita yang sebenarnya. "Aku juga gak mau dinikahi papahmu, setan!" teriak Senja penuh emosi. Terlonjak, Ethan mendengar panggilan Senja untuknya. "Ethan! Namaku Ethan bukan setan, Senja." Senja melengoskan wajah ke arah lain sambil berkata, "Aku gak peduli. Ethan atau setan bagiku gak penting!" kilah Senja, intonasi suaranya masih terdengar ketus. Ethan mengeluarkan kedua tangannya dari saku celana, berjalan mendekati Senja, lalu duduk di sisi ranjang. "Terus, kenapa kamu ada di sini?" Tatapan keduanya begitu dekat. Senyum Ethan tak pernah lepas dari wajah, membuatnya terlihat semakin tampan. "Terpaksa dan dipaksa," jawab Senja mengalihkan pandangan ke arah lain. Dia tidak mau menganggumi ketampanan pemuda yang baru dikenalnya meski hanya dalam hati atau pikiran. "Jadi sebenarnya kamu gak mau dinikahi sama papaku?" Ethan meyakinkan jawaban tegas dari Senja. "Enggak mau. Aku gak mau dinikahi tua bangka itu. Aku ada di sini karena terpaksa dan dipaksa." Senja kembali menoleh. Sorot mata semakin tajam. Bukannya takut, tatapan Senja justru membuat jantung Ethan berdebar-debar tak menentu. Lelaki itu merunduk sejenak, melipat bibir, lalu kembali memandang wajah putih milik seorang gadis bernama Senja. "Oke, aku percaya kamu ada di sini karena terpaksa dan dipaksa. Aku juga percaya kamu enggak mau dinikahi papahku. Tapi, Senja, kalau aku yang menikahimu bagaimana? Apa kamu mau?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN