Hanya dengan acara sederhana dan singkat, pernikahan keduaku dengan seorang lelaki bernama Ben Adriel Dachi telah selesai dilangsungkan. Dilaksanakan di rumah sakit, tepatnya di dalam kamar rawat inap Ben. Dan disaksikan oleh suami pertamaku, Bara Raditya. Serta dua orang lelaki yang aku baru tahu merupakan sopir pribadi Ben dan juga orang kepercayaan Ben.
Kuhela napasku saat semua telah usai. Ya, aku resmi menjadi seorang istri dari Ben. Lelaki dingin dan lumpuh yang kini terbaring di atas ranjang rumah sakit. Satu per satu meninggalkan kamar rawat inap Ben. Dan kini, di ruangan VVIP di mana Ben dirawat, hanya tertinggal kami bertiga.
Aku duduk di salah satu sofa yang berada di pojok kamar. Bara menatapku dengan pandangan yang aku sendiri tak tahu apa artinya. Yang jelas lelaki itu kini menghampiriku dan duduk di sampingku.
"Sifa, sekarang kau telah menjadi istri Ben. Kuharap kau bisa membantunya. Mengembalikan semangat Ben yang hilang entah ke mana. Aku berharap banyak padamu Sifa. Dan satu hal lagi, mulai hari ini kau akan pindah ke rumah Ben. Barang-barangmu yang ada di apartmenku, akan diambil oleh Paman Ridwan."
Ucapan Bara terdengar sangat jelas di telingaku. Oh, jadi sekarang dia mengusirku. Batinku berteriak tidak terima dengan semua perlakuannya. Tapi aku bisa apa selain menurut. Lagi pula beberapa hari ini setelah Mas Bara menalakku dan kami tak lagi ada hubungan suami istri, aku memang masih tinggal di rumahnya. Dokumen perceraian sudah aku tandatangani juga setelah pengacara Mas Bara mendatangiku beberapa hari yang lalu.
"Terserah kau saja, Mas." Hanya itu kata yang terlontar dari mulutku. Rasanya sudah sangat malas menghadapi semua sikap egois Bara. Dan memilih diam agar aku tak semakin sakit hati.
Ketukan di pintu kamar membuatku juga Bara sama-sama mendongak. Sementara Ben, lelaki itu bersandar pada sandaran ranjang, ikut menolehkan kepala menatap pada di mana letak pintu berada.
Begitu pintu terbuka, seorang lelaki paruh baya yang aku tahu bernama Paman Ridwan, yaitu seseorang yang menjadi sopir pribadi Ben, masuk ke dalam kamar lalu menghampiri Bara.
"Apa den Bara sudah siap?" tanyanya.
Bara mengangguk. "Sudah Paman. Kita berangkat sekarang saja," jawab Bara yang justru membuat keningku mengernyit. Memangnya mereka mau pergi ke mana? Hei, untuk apa juga aku penasaran dan ingin tau. Itu bukan urusanku. Dan apapun yang terjadi pada Bara aku akan menulikan telinga dan membutakan mata. Rasa sakit hati yang teramat sangat pada lelaki yang telah membuangku itu, tak bisa aku enyahkan begitu saja.
"Sifa ...!" panggilnya.
Kulihat Bara kini sudah berdiri menjulang di sisi tubuhku.
"Ya," jawabku singkat.
"Tak apa kan kau kutinggal di sini. Jika kau membutuhkan sesuatu, kau bisa menelpon atau meminta bantuan pada Paman Ridwan."
Aku mengangguk lemah. Dan menatap kepergian Bara dan juga Paman Ridwan.
Hening. Itulah situasi dan kondisi kamar rawat inap Ben setelah kepergian mereka berdua. Kulirik lelaki yang baru beberapa jam lalu menikahiku. Dia sudah berbaring setengah duduk di atas ranjang dengan mata terpejam. Aku tak tahu harus berbuat apa sekarang. Rasanya sungguh bosan. Ingin menonton televisi tapi aku tak berani. Takut jika akan mengganggu waktu istirahat Ben.
Memilih meraih ponsel milikku dan mencari posisi ternyaman duduk di sofa sambil berselancar di dunia maya. Membuka sosial media dengan sesekali berkirim chat dengan teman-temanku.
Ini adalah weekend. Dulu sebelum menikah dengan Bara, aku terbiasa menghabiskan waktu weekend untuk sekedar berjalan-jalan pergi ke pusat perbelanjaan atau pergi makan dengan taman satu tempat kos. Tapi kini, aku tak tahu lagi bagaimana nasibku ke depan. Kurang dari satu bulan sudah menikah dengan dua orang pria. Dan kini masa depanku tergadaikan pada seorang pria bernama Ben.
***
Entah berapa lama aku tertidur, yang jelas saat aku terbangun karena mendengar suara pintu yang dibuka oleh dua orang suster yang masuk ke dalam kamar perawatan Ben.
"Selamat sore," sapa salah satu suster kepadaku.
"Sore, Sus," jawabku.
"Kami akan memeriksa Bapak Ben dulu, ya."
"Silahkan suster." Aku mempersilahkan.
Kutegakkan punggungku lalu merapikan rambutku. Memperhatikan dari tempatku duduk, di mana dua orang suster tersebut sedang melakukan visit rutin pada pasien.
Samar terdengar di telinga saat suster menanyakan beberapa keluhan pada Ben. Lelaki itu mau menjawab meski dengan jawaban-jawaban yang singkat. Hingga tanpa sadar telingaku ini menangkap pertanyaan yang suster lontarkan pada Ben.
"Mbaknya itu siapa, Pak? Adiknya, ya? Kok baru terlihat?" tanya salah seorang suster membuatku memicingkan mata dan menajamkan pendengaranku.
"Dia bukan adik saya. Dia istri saya," jawab Ben.
Mulutku menganga mendengar jawaban lelaki itu. Jadi, Ben mengakuiku sebagai istri. Rasanya aku tak percaya. Bahkan baru beberapa jam yang lalu dia menikahiku.
Ah ya, suster memang tidak tahu tentang pernikahanku dengan Ben tadi. Karena pernikahan itu dilakukan secara tertutup meski sebelumnya sudah mengantongi izin dari management rumah sakit. Namun, aku yakin jika baik Ben juga Bara menjadikan acara sakralku tadi menjadi acara tertutup yang tidak diketahui oleh orang lain. Apalagi kamar yang Ben tempati adalah ruang VVIP yang tak bisa sembarang orang bisa menjamahnya.
"Saya kira Pak Ben masih bujang dan belum memiliki istri." Suster berucap lagi. Aku hanya menggelengkan kepala. Melihat Ben yang tersenyum tipis menanggapi pernyataan suster.
Setelah kegiatan suster selesai, keduanya pamit undur diri. Lagi-lagi tinggal aku berdua bersama Ben. Rasanya canggung sekali hanya berhadapan dengan lelaki itu. Aku pun juga tak tahu akan melakukan apa setelah ini. Hanya diam membisu dengan sesekali melirik lelaki yang seolah tak menganggap keberadaanku di sini. Kuhela napasku. Lalu menjatuhkan tubuh di sandaran sofa. Ben melirikku sekilas.
"Sebentar lagi Paman Ridwan akan menjemputmu," kata Ben membuatku kini menatapnya. Dia berbicara denganku? Tanyaku dalam hati. Jelas saja dia berbicara denganku karena di tempat ini hanya ada kami berdua. Aku memilih diam tak menjawab.
Tapi, pertanyaan yang tiba-tiba bercokol di dalam pikiranku, pada akhirnya membuatku bisa membuka mulut untuk bertanya.
"Untuk apa Paman Ridwan menjemputku?"
"Memangnya kau mau tetap berada di sini?" tanyanya balik.
Aku mendengus.
Kembali Ben berkata, "Sebenarnya aku tak keberatan jika kau masih ingin berada di sini. Tapi ... Kau butuh mandi dan beristirahat. Sementara baju gantimu tidak ada di sini. Besok-besok sebaiknya kau membawa baju ganti saat berada di sini menemaniku."
Aku terpaku dalam diam menatap Ben yang ternyata bisa juga berbicara panjang dan lebar. Aku kira Ben adalah lelaki dingin super arogan yang bahkan menyapaku saja tidak mau. Bahkan lelaki yang bernama Ben itu melakukan interaksi denganku hanya saat di mana acara pernikahanku tadi berlangsung. Selebihnya dan sebelumnya, kami tak pernah saling mengenal apalagi bertegur sapa. Sungguh aneh memang. Entah hubungan seperti apa yang akan aku jalani bersama Ben nantinya.
#######
Note :
Menjawab salah satu tanya dari reader mengenai masa iddah seorang janda yang boleh menikah lagi.
Dalam cerita ini, Sifa dengan Bara belum pernah melakukan yang namanya hubungan suami istri. Jadi, saya berpedoman pada informasi berikut.
Masa iddah bervariasi jenisnya. Masa idah sudah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai pijakan pengaturan Hukum Islam di Indonesia. Berikut adalah aturan mengenai masa iddah sebagaimana yang dikenal di Indonesia.
Pertama-tama harus ditegaskan bahwa bagi seorang istri yang putus pernikahannya tanpa sempat sebelumnya melakukan hubungan suami istri dengan mantan suaminya dan pernikahannya putus bukan karena kematian suaminya, maka tak berlaku masa iddah. Artinya, setelah terjadi perceraian, maka istri berhak untuk langsung menikah lagi.
Sementara jika pernikahan tersebut putus karena kematian suami, maka berlaku masa iddah 130 hari, meskipun belum pernah berhubungan suami istri.
Lebih lanjut, masa iddah bagi seorang janda menurut Pasal 153 Ayat (2) KHI adalah sebagai berikut:
- Apabila pernikahan putus karena perceraian, masa iddah bagi janda yang masih haid ditetapkan tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari. Dan bagi janda yang tidak haid ditetapkan 90 hari.
- Apabila pernikahan putus karena cerai mati atau cerai hidup, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. - Sementara masa iddah bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid.
- Apabila istri ditalak satu atau talak dua oleh suami lalu suaminya meninggal, maka masa iddahnya menjadi empat bulan sepuluh hari setelah suaminya meninggal dunia.
- Bagi perkawinan yang putus karena cerai hidup, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
- Sedangkan bagi perkawinan yang putus karena cerai mati, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
Sumber: Beragam Masa Iddah dalam Kompilasi Hukum Islam