5. Keputusan

1005 Kata
Dengan jantung berdegup kencang, aku mengekori Bara menyusuri koridor demi koridor sebuah Rumah Sakit International. Salah satu rumah sakit termewah di kota ini. Ini untuk pertama kalinya aku akan menemui lelaki yang mungkin saja sebentar lagi akan menjadi suamiku. Aku mendesah, meratapi nasibku yang begitu buruk. Bara berhenti di depan sebuah kamar yang bertuliskan VVIP. Aku mengernyit dan berpikir jika sahabat Bara ini sudah pasti adalah orang kaya. Terlihat dari kamar perawatannya saja yang sudah setara dengan golongan kelas atas. Mengetuk pintunya sekali sebelum akhirnya Bara membuka pintu bercat putih itu. Ia melangkah masuk tapi diurungkan lagi. Mungkin ia teringat jika ada aku yang mengekorinya. Lebih tepatnya ia memaksaku. Menolehkan kepala ke belakang menatapku. "Ayo...!" ajaknya dan aku mengangguk. Semakin berdebar jantungku kala kaki ini melangkah masuk. Aku terdiam di samping pintu setelah menutupnya kembali. Terlihat seorang lelaki tergolek tak berdaya di atas ranjang. Aku tak bisa melihat wajahnya karena tubuh Bara menghalangi pandanganku. Bara sedang berdiri di sisi ranjang tepat di sebelah kepala Ben. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan karena aku sendiri pun sibuk dengan pemikiranku sendiri. Hingga tiba-tiba terdengar Bara memanggilku. "Sifa ... Kemarilah!" Aku menurut, mendekat ke arah ranjang dan berdiri di samping Bara. Hal pertama yang aku lihat adalah tatapan tajam dari Ben. Sampai-sampai membuatku merinding. Ya, lelaki yang sedang terbaring dengan selimut yang menutupi d**a hingga seluruh kakinya, dengan mata tajamnya menatapku intens. Tampan. Satu kata yang mewakili bagaimana rupa wajah Ben. Akan tetapi aku sedikit takut kala menatap matanya. Kualihkan pandangan ke sembarang arah demi menghindari kontak mata dengannya. "Si ... inilah Ben," kata Bara dan aku hanya tersenyum kikuk. "Hai ... aku Sifa," ucapku memperkenalkan diri. Tak ada reaksi apapun dari Ben dan itu membuatku menghela napas. Sebenarnya, seberapa besar rasa frustrasi Ben akibat kecelakaan yang menimpanya. Hingga lelaki itu hanya diam tanpa ekspresi. "Ben, aku telah berbicara banyak hal pada Sifa. Dan sesuai janjiku padamu. Aku akan membantumu, Ben." Bara memejamkan matanya. "Sifa akan menikah denganmu. Dia akan menemanimu. Mewarnai hari-harimu. Dan aku yakin Sifa adalah wanita yang tepat untuk mengembalikan semangat hidupmu. Bangkitlah kembali, Ben. Demi aku." Aku mendengar semua kata yang Bara lontarkan. Dan apa tadi dia bilang? Hei ... Aku belum memberikan persetujuan pada Bara untuk mau menikah dengan Ben. Tapi kenapa lelaki itu seolah tanpa beban mengatakan hal demikian. Aku tersenyum sinis. Berbicara dalam hati. Baiklah, jika itu maumu. Maka aku akan pergi dari hidupmu Bara. Tak peduli siapa Ben. Dan bagaimana sifat Ben. Aku tak mengenalnya sama sekali. Dan mungkin aku akan bersikap gila dengan memilih menikah bersama orang yang sama sekali aku tak kenal apalagi cinta. Sungguh rumit memang. Dan aku tentu saja sangat sedih karena pernikahan dengan Bara yang kuharap bisa mendatangkan bahagia, nyatanya tak ada sama sekali. Justru hanya duka dan kekecewaan yang kuterima. Aku harus siap berpisah dari Bara demi menjalani kehidupan baru bersama Ben nantinya. "Mas ... bisa kita bicara sebentar. Di luar." pintaku pada Bara. Dan lelaki itu mengangguk. Kami berdua meninggalkan Ben dan keluar kamar. Aku memilih duduk di salah satu kursi ruang tunggu pasien. "Kenapa kau memutuskan sepihak, Mas? Bahkan aku belum mengatakan padamu jika aku setuju menikah dengan Ben. Lalu kenapa kau seenaknya sendiri mengatakan pada Ben jika aku akan menikah dengannya?" "Si ... Kau sudah lihat sendiri bagaimana kondisi Ben. Dan aku yakin kau tak akan menolak untuk membantuku." "Mas ...." "Ayo lah, Si. Di mana hati nuranimu jika melihat Ben yang seperti patung tanpa ekspresi. Bahkan ia mengatakan pada dokter ingin disuntik mati daripada ia harus menanggung derita seorang diri. Ben ... Dia tak ada sesiapa di dunia ini. Ben tak punya keluarga. Dia sebatang kara. Argh ... entahlah Si, kata apalagi yang harus aku ungkapkan kepadamu agar kau mau mengerti posisiku." Hening. Di antara kami tak ada lagi yang bersuara. Aku memejamkan mata. Dia memaksaku. Ya, Bara memaksaku untuk mengambil keputusan yang tidak ingin aku lakukan. "Baiklah, Mas. Jika itu maumu. Aku setuju mengikuti keinginanmu. Aku akan menikah dengan Ben. Tapi...." "Tapi apa, Si?" tanyanya penasaran dengan menatapku dalam. "Ceraikan aku dulu, baru aku akan menikah dengan Ben." "Itu tidak mungkin, Si. Aku akan menceraikanmu. Tapi tidak sekarang. Pernikahan kita baru satu minggu. Apa kata keluarga kita nanti jika tahu aku menceraikanmu." "Lantas ... Kau ingin aku bersuamikan dua orang lelaki, begitu?" tanyaku cukup lantang. Lelaki di hadapanku ini mengusap wajahnya. "Ini hanya sementara, Si. Jika tiba waktunya nanti pasti aku akan melepaskanmu. Tapi ... tolonglah Ben dulu, Si. Kumohon!" "Kau ini egois, Mas." Aku berusaha sekuat tenaga menahan emosi yang ingin meledak sekarang juga demi menghadapi keegoisan Bara. Kuhela napasku lalu kutatap intens wajahnya. "Baiklah, Si. Aku akan menceraikanmu. Tapi tolong ... jangan sampai papa tahu akan perceraian kita." "Baiklah. Aku setuju." Kata itu terlontar dari mulutku setelah sekian detik berpikir. Aku pun juga tak ingin mamaku tahu akan apa yang terjadi pada nasib pernikahanku dengan Mas Bara. Mas Bara ... pria itu menatapku. Ia duduk bersimpuh di bawahku lalu menggenggam tanganku. Dicium punggung tanganku. "Terimakasih, Si. Aku minta maaf jika tak mampu menjadi suami yang baik buatmu untuk satu minggu pernikahan kita." Aku menunduk. Dalam hati berkata, dasar lelaki aneh. Bagaimana mungkin ia meminta pada istrinya agar menikah lagi dan rela menceraikanku yang baru satu minggu dia nikahi. Baiklah, Mas. Kita akan memulai semua. Aku akan lihat bagaimana hubungan kita bertiga kedepannya nanti. Apakah kau sanggup melihatku bersama Ben. Oh ... ataukah sebenarnya kau sudah memiliki kekasih lain sehingga kau memberikanku pada Ben. Dalam hati aku terus saja berucap. Dan mengenai perceraian yang tadi kuminta, Mas Bara pun mengabulkannya. Kami kembali masuk ke dalam kamar perawatan Ben. Di hadapan lelaki itu, lelaki yang akan menjadi suamiku. Mas Bara mengucap kata talak dan itu artinya secara agama aku dan Mas Bara resmi bercerai. "Si, aku akan mengatur semuanya. Perceraian kita akan aku urus dengan pengacaraku. Dan untuk pernikahan antara kau dengan Ben, aku juga yang akan mengatur semuanya." "Terserah kau saja." Aku tak lagi mau berkata-kata. Semua terasa sangat rumit karena detik ini juga rasaku pada Mas Bara telah berubah. Entah, apakah aku jadi membenci pria itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN