Belenggu 19

1508 Kata
Dari atas tempat tidur Daryl memperhatikan Lizzie merapikan rambutnya di depan cermin. Lizzie tersenyum saat kedua matanya bertemu kontak dengan tatapan Daryl lewat kaca di depannya. “Kau sudah mau pulang?” tanya Daryl. “Iya, aku sudah terlalu lama keluar rumah.” Lizzie memutar tubuhnya melihat Daryl di atas kasur. Pria itu berada di bawah selimut tanpa selembar pakaian. “Aku lelah menunggu Lizzie. Aku ingin ini segera berakhir.” “Sedikit lagi kau sabar menunggu,” mohon Lizzie lewat tatapannya. Daryl menghela nafas, beringsut untuk bangun dan bersandar di punggung ranjang. “Aku selalu cemburu memikirkanmu disana." Daryl mengeluh. “Aku mencintaimu Daryl. Jangan pernah cemburu pada Negan.” ucap Lizzie beranjak dari duduknya untuk mengecup bibir Daryl. “Aku ingin kau bicara dengan Enid, ingatkan dia siapa aku untukmu. Aku tidak ingin melihatnya menatap dan menganggapku remeh.” ujar Lizzie meraba rahang Daryl mesrah. Jarak wajah mereka sangat dekat bahkan ujung hidung mereka sudah saling bersentuhan. Nafas Lizzie terasa panas di permukaan kulit Daryl hingga membuat tubuh pria itu meremang. “Baiklah,” balas Daryl memagut lembut bibir Lizzie. Mencecapnya lalu menekan tengkuk Lizzie untuk memperdalam ciuman itu. Tak ingin Daryl kembali b*******h Lizzie segera menarik bibirnya dari pagutan Daryl. "Lizzie," mohon Daryl. “Aku harus pulang,” bisik Lizzie menatap Daryl yang sudah berselimut hasrat. “Kau bisa pulang setelah ini.” Daryl mencoba menahan Lizzie. "Daryl, kita sudah bersenang tadi," "Aku ingin mengulangnya," "Berhenti mengangguku, aku harus pulang." Daryl mendesah panjang melepas tangan Lizzie. "Aku mencintaimu," ucap Lizzie dan sekali lagi memberikan ciuman di bibir Daryl. "dan jangan lupa mengenai gadis itu." tekan Lizzie. “Baiklah, nanti aku bicarakan ini dengan Enid." Lizzie mengangguk, "aku pergi." pamit wanita itu. "Hati-hati di jalan Lizzie." Daryl menyibak selimut dari tubuhnya setelah Lizzie meninggalkanya, berjalan menuju kamar mandi dan langsung masuk ke dalam kotak kaca. Ia membasuh seluruh tubuhnya disana dengan air shower yang mengalir deras. Ia menyambar handuk untuk mengeringkan wajah dan punggungnya, kemudian melilitkan di pinggul lalu kemudian mengambil handuk kecil dari tempatnya digantung. Menggosokkan pada kepala untuk mengeringkan rambutnya, ia melakukan itu sembari berjalan menuju ruang ganti. Melepas begitu saja handuknya di lantai, menyambar pakaian dari gantungan tanpa memilih. Daryl berpakaian dan mengatur penampilannya di depan cermin berukuran raksasa dalam ruangan itu. Daryl bersiul berjalan menuju kamar Enid. Tanpa mengetuk pria itu langsung masuk. Enid sedikit terkejut di atas tempat tidurnya, dan kembali gadis itu bewajah masam. "Aku ingin bicara serius denganmu." “Mengenai kekasihmu?Kau ingin memarahiku untuknya?” tanya Enid membuka mulutnya tetapi pandangan gadis itu lurus kedepan. Daryl menarik kursi meja rias dan duduk. “Kenapa membuatnya marah?” “Aku yakin kekasihmu sudah menjelaskannya,” gumam Enid dengan ketus. "Dan kau yang memulai masalah ini." tukas Daryl. Tak mau disalahkan Enid membawa tatapannya pada Daryl. Menatap pria itu sinis. "Aku yang mencari masalah dengannya? Baiklah, bagaimanapun aku akan tetap salah di matamu karena kau percaya dengan apa yang dikatakan kekasihmu." ucap Enid. Daryl mengulurkan tangan mengambil dagu Enid membawa untuk menatapnya. “kau tahu dia sangat penting dalam hidupku. Jadi mulai sekarang kau harus menjaga ucapanmu dan tundukkan kepalamu di depannya.” Enid menepis tangan Daryl, “tidak akan,” katanya sinis. “Jangan membuatku marah Enid.” “Kau ingin memukulku? Bahkan kau bisa membunuhku tapi jangan berharap aku menundukkan kepala untuknya. Kalian sudah mengambil kebebasanku, merusak masa depanku. Dan jangan harap aku memperlakukannya hormat termasuk kamu.” tegas Enid. Daryl terpaku mendengar setiap kata yang dilontarkan Enid. Sorot kemarahan dan perasaan sakit hati terlihat jelas di raut wajah gadis itu. Satu, dua menit mereka terdiam di tempat itu. “Aku memperigatkanmu demi kebaikanmu, karena aku tidak akan pernah ikut campur jika dia menyakitimu.” ucap Daryl. Pria itu yakin Enid akan takut dengan intimidasi Lizzie. Enid tidak akan berani menyentuh kekasihnya. Enid menyeringai, lalu berbaring membelakangi pria itu. Daryl mengerti kenapa Lizzie kesal melihat Enid. Gadis ini sangat tidak menghargai orang yang sedang berbicara dengannya. Tapi, Daryl tidak ingin mempermasalahkan itu. Ia lebih memikirkan kesehatan kandungan Enid. Gadis ini sudah terlalu lama murung. Dan itu akan mempengaruhi perkembangan janin dalam kandungannya. “Aku sering mendengar wanita hamil punya keinginan. Maksud aku mengidam. Apa kau bukan salah satu dari wanita itu?” tanya Daryl hati-hati. Mungkin Enid menginginkan sesuatu tetapi karena keadaan mereka sedang tidak baik, gadis itu memendamnya. “Aku ingin kau pergi dari sini,” jawab Enid pelan. Daryl membuang nafasnya kasar. Dia masih Enid. Gadis ini masih sangat menjengkelkan seperti biasa. Daryl benar, jika diam gadis itu bukan karena takut tetapi ... sebuah pembangkangan. “Katakan jika kau menginginkan apapun itu. Aku akan memenuhinya.” Daryl beranjak dari tempat duduknya. “Mungkin jalan-jalan keluar rumah? Atau kau ingin berbelanja? Atau, atau terserah apa yang kau inginkan. Katakan segera sebelum aku berubah pikiran." ucap Daryl. “Aku ingin kau pergi.” ucap Enid. Daryl mengedikkan bahunya.”Baiklah,” ucap Daryl membawa langkahnya menuju pintu. "Kau akan rugi jika mengabaikan tawaranku. Selagi aku bermurah hati aku akan penuhi apapun itu." ucap Daryl dari depan pintu. “Daryl.” panggil Enid. Daryl mengulum senyum dan langsung memutar tubuh melihat Enid di ranjang. “Iya?” “Kau bersungguh-sungguh dengan ucapanmu?" "Tentu saja." "Kalau begitu antarkan aku ke panti tempatku dibesarkan." pinta Enid. Tiba-tiba saja ia merindukan ibu panti. Perempuan keibuan disana terkadang menjadi tempatnya bersandar saat ia berada dalam kesedihan. Daryl tampak memikirkan permintaan Enid. “tidak dengan sekarang,” tolak Daryl. “Kau bilang akan memenuhi semua keinganku." Ucap Enid mengingatkan ucapan pria itu. “Aku bisa memberikan yang lain, mungkin berbelanja atau sebagainya.” “Memangnya untuk apa aku berbelanja. Aku tidak menginginkan uangmu.” Daryl menarik nafas dalam-dalam kemudian berujar. “Aku akan pikirkan,” kata Daryl, lalu meninggalkan Enid. Enid menarik nafas panjang mengingat kata-kata Daryl supaya patuh dengan Lizzie. Ia mendengus kecil. Tidak akan, bahkan sekalipun nyawanya taruhannya. Dia tidak akan menundukkan kepalanya di depan Lizzie. Enid menguap lalu ia menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Semenjak mengandung Enid sering di serang rasa ngantuk. Enid turun dari tempat tidur. Berjalan ke arah jendela kamar, menatap indahnya air kolam renang dari dinding kaca kamarnya. Tiba-tiba saja dalam pikirannya ingin berenang disana. *** “Kau dari mana saja Lizzie?” tanya Ny. Materson dari tempatnya bersantai. Lizzie baru saja tiba di rumah. “Lizzie dari rumah Mami, Ma.”jawab Lizzie. Ny. Materson menarik sudut bibirnya miring, alasan itu lagi. Sekarang ini Lizzie sering menemui ibunya terutama saat wanita ini dinyatakan hamil oleh dokter. “Sepertinya kau sering berkunjung ke sana,” Lizzie gugup. “M-mami saat ini kurang sehat,” gumamnya. Ny. Materson sedikit tercengang. Ia memang jarang berkomunikasi dengan ibunya Lizzie. “Ibumu sakit?” tanya Ny. Materson. “Tidak parah, Mami merasa kesepian dan aku diminta datang.” jawab Lizzie berbohong. Ny. Matersson mengangguk. “Baiklah, bagaimana denganmu? Kau masih mual?” tanya Ny. Materson. “Masih, tetapi tidak sesering hari-hari kemarin,” jawab Lizzie. Wanita itu memang sangat total menjalani lakonya. Ia mendengar dari Daryl bahwa Enid mengalami mual-mual di waktu-waktu tertentu, pagi dan sore hari. Lemah, dan sering buang-buang air ludah. Enid benci bau parfum dan Enid tidak suka makan ikan di masa ngidamnya. Dan Lizzie melakukan hal yang sama. Tetapi, tentu lebih manja. Ia memanfaatkan kehamilan pura-puranya untuk mendapatkan perhatian Negan dan ibu mertuanya. “Jaga dirimu, jangan terlalu lelah.” pesan Ny. Materson. “Baik Ma.” Lizzie naik ke lantai atas meninggalkan ibu mertuanya di ruang keluarga. Seperti keinginan Enid, Daryl akhirnya setuju mengantarkan Enid ke panti asuhan tempatnya dibesarkan. Mereka baru saja tiba halaman panti. Enid melengkungkan bibirnya melihat tempatnya berlindung dan menjalani hidup selama kurang lebih tujuh belas tahun. “Terima kasih, Daryl.”ucap Enid melihat pria disampingnya. Daryl mengedikkan bahu. Enid segera turun dari mobil dan menutup kembali pintu. “Enid.” sapa seorang perempuan paruh baya, menyambutnya dengan senyum lembut, dia ibu panti. “Ibu,” Enid memeluk perempuan itu, merasakan sedikit kehangatan seorang ibu. “Kita sudah lama tidak bertemu, bagaimana keadaanmu?” tanya ibu panti melirik sebentar pria yang sedang berjalan ke arah mereka. “Maaf Ibu, akhir-akhir ini aku sibuk dengan diriku sendiri. Maaf jarang berkunjung.” jawa Enid. “Itu tidak masalah. Kau datang bersamanya?” Daryl tersenyum tipis, mengulurkan tangan untuk mengenalkan dirinya pada ibu panti. “Daryl,” ucap pria itu. “Saya kepala panti disini,” balas Ibu panti menerima jabatan tangan Daryl. Ibu panti melihat Enid dengan sedikit heran dan tanya. Siapa pria tampan bersamanya itu. Jika dilihat dari penampilan sepertinya bukan pria dari kalangan seperti mereka. Enid mengerti dengan tatapan Ibu panti. “Dia ---” “Saya suaminya.” Balas Daryl sontak membuat Enid terkejut begitupun dengan ibu panti. “Suaminya? Kau sudah menikah Enid?” tanya ibu panti. Wajah Enid merona dan ia tampak sangat gugup melihat Daryl di sisinya. “Maaf baru bisa berkunjung, aku dan Enid sudah menikah.” jawab Daryl menggantikan Enid. Ibu panti sedikit terkejut mendengarnya, ia memperhatikan Enid dengan seksama lalu beralih pada Daryl. "Selamat atas pernikahanmu Enid." ucap Ibu panti. "ayo masuk dan bertemu adik-adikmu." ajaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN