"Zio, kamu gimana sih, Mami kan udah nyuruh kamu ketemu sama anak temennya Mami kemarin. Kamu kenapa malah nggak dateng dan bikin dia nunggu berjam-jam?!" omel Ely ketika mereka sedang makan malam.
Zio hanya menghela napas sambil melanjutkan makannya.
"Mami, stop menuntut Zio, dia berhak atas hidupnya sendiri," ucap Fabrio, papinya.
Zio bersorak dalam hati, papinya ini memang the best sekali, selalu mendukung apa yang
Zio mau dan tak menuntut aneh-aneh seperti maminya.
"Kalo Zio nurut dari awal, Mami nggak akan menuntut Zio sampai sekarang lamanya," ujar Ely, lalu wanita itu meletakkan sendok dan garpunya di atas piring.
"Pokoknya Mami atur lagi pertemuan kalian. Malam ini!" ucapnya terdengar mutlak tanpa bantahan.
Namun Zio tetaplah Zio. Sampai kapan pun ia tidak akan menuruti permintaan aneh Ely yang selalu menjodoh-jodohkannya.
"Zio nggak bisa, ada janji," ucapnya santai.
"Janji apa? Sama siapa?" tanya Ely sewot.
"Sama pacar," ucap Zio dengan penuh penekanan.
Baik Ely maupun Fabrio sama-sama terkejut dengan ucapan Zio. "Kamu punya pacar?"
tanya mereka bersamaan.
Zio mengangkat bahunya acuh. Pria itu meneguk sisa minuman yang ada digelasnya lalu
berdiri. "Zio pulang malem, atau mungkin nggak pulang," ucapnya sebelum ia pergi meninggalkan meja makan.
"Tunggu Zio," ucap Ely, menahan. "Kamu beneran punya pacar? Siapa? Salah satu anak temennya Mami atau Papi?"
Zio melirik Maminya. "Baik Mami ataupun Papi nggak kenal sama dia. Dia nggak ada hubungannya sama kolega Mami sama Papi."
"Maksud kamu?" tanya Fabrio bingung.
"Dia bahkan lebih baik dari perempuan yang selalu Mami kenalkan sama Zio dengan paksa," ujar Zio lalu pria itu benar-benar pergi menuju kamarnya.
Zio menutup pintu lalu mendengkus pelan. Ia berharap cara tadi ampuh untuk meredakan sang mami yang terobsesi untuk menjodohkannya. Zio duduk di atas kasur, tangannya terulur untuk mengambil ponselnya yang tergeletak di atas bantal. Jempol tangannya menyentuh aplikasi chatting lalu membuka roomchat dengan Raya.
Fabrizio : Lagi ngapain?
Send.
Zio mengetuk-ngetuk pinggiran ponselnya dengan telunjuknya, menunggu Raya membalas chatnya.
Raya : Baru selesai mandi, hehe.
Fabrizio : Pacarku baru mandi jam segini? Bagus sangat, Sayang.
Raya : Hehe. Baru selesai sama kerjaan, jadi baru sempet mandi.
Zio tersenyum. Hanya dengan mengirim pesan-pesan singkat seperti ini dengan Raya sudah membuatnya bahagia tidak karuan.
Zio tidur terlentang, mengangkat kedua tangannya hingga ponselnya tepat di depan
wajahnya.
Fabrizio : Aku bisa ke sana jam berapa?
Raya : Aku nggak tau. Besok Ibu nggak kerja katanya, pasti bakal tidurnya malem.
Fabrizio : Jam 9? Jam 10?
Raya : Jam 10, mungkin.
Fabrizio : Oke. Aku ke sana jam 10. Kamu sudah makan?
Raya : Udah.
Fabrizio : Mau aku bawain apa nanti?
Raya : Nggak usah, Kak, hehe.
Tiba-tiba saja, entah dorongan dari mana Zio menekan tombol voice note. Lalu berucap,
"Kakak sayang sama kamu, Raya!"
Send.
***
Memikirkan pesan suara yang dikirim Zio tiga jam lalu masih membuat Raya tersipu sampai sekarang. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus lalu jantungnya berdebar kencang seperti ia habis lari marathon. Raya bahkan masih senyum-senyum sendiri memikirkannya.
"Tenang, Raya," ucapnya pada dirinya sendiri.
Raya mengembuskan napasnya perlahan sebelum ia melangkahkan kakinya keluar kamar dan berjalan ke dapur. Gadis itu menuangkan air ke dalam gelas sambil melirik kecil ibunya masih menonton televisi sambil sesekali tertawa.
"Kenapa belum tidur, Bu?" tanya Raya, ia melirik jam dinding. "Udah jam 10 lebih, lho."
"Aduh, ini lagi seru, lagian Ibu juga belum ngantuk," ucap Aneu tanpa mengalihkan perhatiannya dari televisi, lalu tertawa lagi karena lucu. Acara yang sedang wanita itu tonton adalah semacam acara talkshow komedi.
Raya mengangguk meskipun ibunya tidak melihatnya. Kembali ke kamarnya lalu menaruh gelas di atas nakas. Tepat saat itu, ponselnya berbunyi. Zio meneleponnya.
"Ini udah jam 10 lebih, aku udah di depan rumah kamu," ujar Zio langsung, bahkan sebelum Raya berbicara.
"Di depan rumah?! Aduh nanti kalo ketahuan ibu gimana? Ibu belum tidur, masih nonton tv," ujar Raya panik.
"Belum tidur? Terus gimana? Nggak, aku parkir agak jauhan, kok."
Raya menggigit bibir bawahnya, berharap seperti itu ia bisa mendapatkan ide. Zio bisa saja langsung masuk kerumahnya melalui balkonnya karena rumahnya tidak mempunyai gerbang. Tapi, apakah itu bisa?
Tok, tok, tok..
Raya menoleh kaget ketika ada yang mengetuk pintu balkonnya.
"Buka pintunya, Ray," ucap Zio berbisik ditelepon.
Raya menaruh ponselnya tanpa mematikan sambungannya, bergegas membuka pintu balkon.
"Kok bisa langsung di sini?" tanya Raya heran.
"Ya aku tinggal jalan aja. Lagian rumah kamu nggak ada gerbangnya, anugerah sekali buat
aku," ujar Zio sambil terkekeh, ia menaruh kantong plastik berisi makanan di atas meja.
Raya mengutuk dirinya sendiri. Ia merasa bodoh, padahal baru saja ia berpikiran demikian.
"Ibu masih belum tidur?" tanya Zio yang kini sudah duduk.
Raya duduk di samping Zio, lalu mengangguk. "Bawa apa?"
Resikonya malam ini adalah mereka harus saling berbisik saat berbicara.
"Martabak."
Raya menoleh, matanya terlihat berbinar. "Mau," ucapnya terdengar merengek manja.
Zio terkekeh, ia membuka plastik itu lalu membuka kotak martabaknya. Martabak coklat dan keju sangat menggiurkan. Raya langsung mengambilnya masing-masing satu potong di kedua tangannya dan melahapnya.
"Pelan-pelan, ini masih banyak kok," ucap Zio.
Raya mengangguk. Rasanya sudah lama ia tidak makan martabak seperti ini. "Udah lama banget aku pengen martabak kayak gini, tapi nggak pernah bisa beli," ujar Raya sesaat setelah menelan martabaknya.
"Sekarang ada aku. Kamu mau kapan pun bilang aja sama aku."
Raya tersenyum manis. "Makasih."
"Ibu kamu lagi apa sih? Kok belum tidur?"
"Lagi nonton acara komedi gitu." Raya melahap martabaknya lagi. "Kalo kakak kayaknya udah tidur."
"Kakak?" Zio pura-pura tidak tau.
Raya mengangguk. "Kakak tiri aku, namanya Kak Dela, umurnya beda 2 tahun sama aku."
Zio mengangguk mengerti. Ia menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman.
Tangannya terulur untuk mengusap noda coklat yang ada di sudut bibir gadis itu. Zio menahan diri. Menahan untuk tidak menyentuh itu dengan bibirnya. Bibir Raya yang terlihat manis apalagi sekarang terlihat mengilap karena s**u dan mentega.
Mereka saling menatap. Tatapan hangat yang memancarkan cinta yang begitu dalam.
Tanpa sadar Zio mendorong dirinya mendekati Raya. Matanya masih menatap manik mata indah Raya sampai akhirnya ia memiringkan kepalanya lalu bibirnya menyentuh bibir mungil gadis itu dan matanya terpejam.
Tangan kiri Zio yang bersih ia letakan di punggung Raya, menarik tubuh mungil gadis itu mendekat ke arahnya. Dapat Zio rasakan jika Raya terkejut karena tindakannya. Ia melumatnya lembut. Rasanya manis karena s**u dan cokelat. Ia menarik pelan kedua tangan Raya untuk meletakannya di lehernya.
***