Happy Reading.
Daffi menatap Devan dengan tatapan mengejak. Sepertinya adiknya kali ini benar-benar tidak mau lagi menjalankan perjodohan ini.
"Kamu bisa liat sendiri kan? Clara benar-benar sudah tidak mau sama kamu, jadi jangan salahkan aku jika sebentar lagi aku akan mengurangi saham di perusahaanmu," ujar Daffi.
Devan membelalakkan matanya tidak percaya dengan ucapan pria yang usianya satu tahun di atasnya itu. "Daf, tolong jangan seperti ini. Aku sudah berusaha membujuk Clara agar tidak membatalkan perjodohan ini, tapi kamu liat sendiri kan kalau Clara yang tidak mau sama aku lagi?"
"Ya, tentu saja dia tidak mau karena kamu tidak pernah menganggapnya sebagai wanita. Kamu juga berhubungan dengan wanita lain saat menjadi tunangannya, jadi jangan salahkan Clara kalau dia memutuskan semuanya. Ku harap Paman Ari Abimanyu dan Tante Ika menerima keputusan ini. Sekarang pulanglah, aku masih banyak pekerjaan!" Setelah mengatakan hal itu, Daffi pergi dari hadapan Devan dan berjalan ke arah ruang kerjanya.
Devan memandang vas bunga di atas meja dengan d**a yang bergemuruh. Tangannya mengepal di kedua lututnya. Tentu saja semua ini karena kecerobohannya karena dia tidak ingat jika perusahaan Daffi adalah penyumbang saham terbesar di perusahaannya. Dia terlalu terbuai dengan cinta untuk Elina sampai melupakan semuanya terutama Clara.
***
Berita tentang berakhirnya hubungan Clara dan Devan sudah tersebar di kalangan keluarga mereka. Tentu saja orang tua Devan dan keluarganya Clara juga kecewa karena putusan sepihak Clara. Mereka tidak menyangka jika Clara akan mudah mengambil keputusan itu. Maka dari itu orang tua Devan mengundang Clara hari ini ke rumah kediaman mereka untuk menanyakan kejelasan di antara mereka.
Clara tengah duduk bertiga dengan kedua orang tuanya Devan saat ini. Suasana sedikit tegang. Sedangkan Devan sekarang sedang berada di kantornya.
“Clara, apa keputusan kamu nggak terlalu gegabah, Nak? Maksudnya, kenapa nggak di pikirin lagi dengan matang-matang soal ini?” tanya ibu dari Devan.
“Iya, Nak. Kalau memang alasan kamu Devan dengan wanita, itu kan mungkin cuma teman biasa aja. Kamu pasti salah paham sama Devan, Nak.” Ayah Devan juga menyahut, berharap Clara masih bisa memaafkan Devan dan berharap jika pertunangan itu kembali di lanjutkan.
“Iya, Tante tahu gimana Devan. Nggak mungkin dia ada main di belakang kamu.” Mama Devan berbicara lagi.
“Maaf, Om, Tante. Aku benar-benar nggak bisa lanjutin ini. Aku pikir kalau di paksakan juga nggak akan baik buat kami. Coba Tante dan Om pikir, kalau cuma teman biasa apa mungkin mereka akan berciuman? Rasanya nggak mungkin kan?” tanya Clara sambil menatap kedua orang itu secara bergantian.
“Ah, itu pasti salah paham. Kamu pasti salah paham sama Devan dan temannya,” ucap ayah Devan lagi.
"Cih, salah paham kok bobok bareng!" batin Clara.
Dia tidak akan mengatakan jika Devan dan Elina sudah tidur bersama. Biarlah mereka tahu sendiri seperti apa anaknya itu.
“Om akan ajari Devan dengan baik. Om yakin kalau Devan nggak akan
berani berbuat yang aneh-aneh di luaran sana,” ucap Abimanyu.
Clara tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya. “Maaf Om, Tante. Aku nggak mau lagi sakit hati karena perbuatan anak Om dan Tante.”
“Apa itu karena kamu sudah menemukan laki-laki lain? Semalam Tante sudah tanya Sama Devan, kamu sudah ada pengganti Devan?” tanya Ibu Devan, berharap jika berita yang dia dengar adalah salah.
Clara membenarkan posisi duduknya. Rasanya sedikit tidak nyaman ditanya seperti itu. Apalagi tatapan wanita itu tajam terhadapnya dan dengan raut wajah yang kecewa.
“Clara, tolong jawab Tante!” desak Ika.
“Iya, benar, Tante. Saya memang sudah jalan dengan yang lain dan itu karena anak Tante yang nggak pernah mencintai saya. Jadi, saya pikir untuk apa saya sia-sia membuang banyak waktu sama Devan? Di masa depan aku juga nggak tau apakah hubungan ini berhasil apa nggak, sekarang aja Devan sudah sama yang lain, kan? Jadi, saya minta maaf, Tan, Om. Untuk masalah keluarga saya, akan saya sendiri yang uruskan,” ujar Clara kemudian berdiri.
Clara merasa tidak ada gunanya lagi berada di sana sehingga keluar dari rumah itu dengan hati yang terasa sakit.
Clara ingat pengorbanannya untuk Devan, waktu dan tenaga yang dia keluarkan untuk bisa menemani Devan dengan baik, menjadi pasangannya yang bisa mengerti pria itu, mencintainya dengan sepenuh hati. Akan tetapi, ternyata semua itu hanyalah sesuatu hal yang sia-sia. Devan tidak pernah sedikit pun mencintainya.
“Apa yang kamu pikirkan, Clara. Jangan lagi pikirin dia. Kamu berhak bahagia mulai dari sekarang, kan? Life must go on,” ujar Clara menyemangati dirinya sendiri.
Tepat pada saat Clara akan pergi ke halte bis, seseorang menekan klakson mobilnya. Clara terkejut saat melihat siapa yang menghampirinya.
“Pak Arka?” gumam Clara saat melihat pria itu setelah jendela di turunkan. “Bapak ngapain di sini?” tanya Clara.
“Ada urusan di sekitar sini. Kamu lagi apa? Masuk!” perintah Arka.
Clara tanpa pikir panjang lagi membuka pintu dan masuk ke dalam mobil Arka. Lagi pula hari ini sangat panas sekali.
“Ketemu seseorang?” tanya Arka lagi.
“Iya. Kenapa? Nggak boleh?” Clara balik bertanya.
“Haha. Nggak apa-apa, yang penting kamu nggak jalan sama laki-laki lain.”
“Huh, kenapa nggak adil banget sih? Aku aja nggak permasalahkan kalau Bapak mau jalan sama cewek lain, kok.” ucap Clara seraya melipat kedua tangannya di depan d**a.
“Memangnya saya mantan tunangan kamu!”
Clara terdiam mendengar ucapan Arka. Padahal sepertinya dia belum memberitahukan permasalahan pembatalan pertunangannya dengan Arka, kan?
“Udah, deh. Bapak diem aja bisa, nggak? Bikin bete aja!” ujar Clara kesal seraya menatap ke luar jendela.
“Oke.” Arka melajukan mobilnya ke arah lain.
Sepanjang perjalanan, Clara tidak peduli Arka akan membawanya ke mana, dia hanya ingin berdiam diri saat ini.
“Kamu mau nggak ikut saya sebentar. Nggak apa-apa kan? Saya masih ada urusan ke tempat lain.” Arka berbicara.
“Hemm. Terserah,” jawab Clara tanpa menolehkan kepalanya sama sekali.
Arka pun membelokkan mobilnya ke arah lain.
“Tunggu di sini sebentar. Saya akan kembali dalam sepuluh menit. Atau, kamu mau ikut saya ke dalam?” tanya Arka menawarkan.
“Nggak deh. Nggak perlu.”
“Oke.”
Arka pun turun dari mobil dan berlari ke dalam kafe, tidak tahu apa yang pria itu lakukan di dalam sana. Clara hanya malas untuk ikut ke dalam.
Seperti yang Arka katakan, pria itu kembali lagi dalam waktu sepuluh menit. Clara tidak menyadarinya karena memandang ke arah jalanan.
“Ini buat kamu.” Arga memberikan sebuah es krim untuk Clara.
“Buat saya?”
“Iya, pemilik kafe adalah teman saya dan dia berikan dua buah es krim untuk kita. Gratis,” ucap Arka memberikan es krim di dalam mangkuk itu untuk Clara. Wajah Clara yang tadinya mendung seketika berbinar saat melihat makanan kesukaannya itu, apalagi ada coklat dan vanila di sana. Cocok sekali untuk di makan pada saat cuaca sedang sangat panas.
“Saya nggak suka coklat. Buat kamu saja,” ujar Arka memberikan es krim coklat yang dia punya ke dalam mangkok Clara.
Clara sangat senang sekali dan tidak menolak pemberian dari Arka. Dia tidak menyangka akan makan es krim bersama dengan dosennya itu. Tanpa Clara tahu ada seseorang yang memperhatikannya dari luar.
“Sayang, ada apa?”
Devan langsung menggelengkan kepalanya pelan. “Nggak ada apa-apa, ayo kita masuk ke sana,” ajak Devan sambil menggandeng Elina untuk masuk ke kafe itu. Sebelum masuk, Devan melirik sekali lagi ke arah mobil Arka berada.
Perasaannya menjadi tidak suka melihat Clara yang tersenyum lebar dengan pria itu.
Bersambung.