Bak ikan yang menggelepar mendamba air, Emi memaksa untuk turun dari gendongan Arron begitu mereka memasuki penthouse. Arron tentu tak ingin terjadi sesuatu jika membiarkan Emi turun begitu saja, dia menahannya hingga mereka sampai di sofa barulah melepaskan perempuan itu.
Emi buru-buru beranjak menjauh dari Arron, dia benar-benar ketakutan dan tak ingin kejadian malam itu terulang lagi. Sudah cukup sekali saja dia terjebak dalam perangkap Wawan dan April yang membuatnya menjadi wanita penghibur untuk Arron.
“Sebentar aku ambilkan minum!” kata Arron, tersenyum seraya berjalan menuju dapur.
Emi mengikutinya dengan pandangan mata penuh curiga, meski selanjutnya mata lugunya tak bisa mengabaikan pemandangan mewah yang ada di sekitarnya. Sekejap saja perempuan itu terpana dan terkagum-kagum dengan kemewahan interior ‘rumah’ Arron.
“Nggak heran dia gampang banget membuang uang percuma hanya untuk main perempuan, rupanya dia memang sekaya ini!” gumamnya setengah mencibir.
Meski berasal dari kampung, tapi Emi juga cukup pintar dan paham akan kehidupan modern yang biasanya hanya bisa dia lihat di televisi. Dia juga cerdas untuk tidak bertindak gegabah menghadapi laki-laki semacam Arron, salah melangkah bisa-bisa dia malah rugi sendiri nantinya.
“Ini, minumlah dulu!”
Arron muncul membawa dua gelas tinggi berisi cairan bening keemasan dengan gelembung kecil-kecil di dalamnya. Terlihat begitu cantik terkena sinar lampu.
Emi menerimanya dengan ragu, tangannya begitu canggung memegang dasar gelas kristal yang tipis dan kecil. Dia ngilu jika tiba-tiba tangannya keseleo dan membuat gelas mahal itu jatuh ke lantai.
“Mari, duduk saja supaya kamu lebih tenang!” ucap Arron seraya memegang tangan Emi, menariknya lembut untuk duduk di sofa.
Emi diam, namun dia menurut juga dan mengikuti ajakan Arron untuk duduk bersama. Dia bergeser menjauh ketika merasa jaraknya dengan Arron terlalu dekat.
Arron hanya tersenyum melihatnya, dia tak mau terburu-buru melancarkan serangannya pada Emi. Dia ingin gadis itu memasrahkan diri tanpa ada paksaan sedikitpun, meski caranya harus seperti ini.
“Minumlah, aku tidak curang memasukkan obat apapun di sana!” ujar Arron, paham dengan pemikiran skeptis Emi terhadapnya.
Dan memang benar, Emi curiga dengan minuman yang diberikan Arron, itu sebabnya dia tak segera meminumnya.
“Begini saja,” kata Arron seraya maju mendekat.
Emi hendak menjauh lagi namun dia lalu termangu ketika Arron rupanya hanya bermaksud menukar gelas minuman mereka.
“Ini milikku. Punyamu, aku minum!” kata Arron.
Daripada mengomentari tingkah Arron yang saat ini tengah menenggak minuman itu dalam sekali gerakan, Emi justru salah fokus mendengar kalimat yang diucapkan laki-laki itu. Terasa ambigu dan itu membuat bulu kuduknya meremang.
“Apa ini beneran aman?” gumam Emi meneliti cairan keemasan di dalam gelas di tangannya.
Arron hanya tersenyum mendengarnya, bersikap seolah tak mendengar apapun dia lalu beranjak dari kursinya.
“Aku mau mandi dulu. Kalau misal kamu lapar, di dapur ada makanan yang bisa dihangatkan untuk sekedar mengganjal perut!” katanya melenggang pergi menuju kamarnya.
Emi termangu sendiri setelahnya, dia tetap diam di kursinya sampai Arron benar-benar hilang masuk ke kamar, barulah dia beranjak bangun.
“Ini benar-benar mewah!” bisiknya kagum.
Emi berjalan menyusuri ruangan luas itu. Dengan langit-langit tinggi yang dihiasi lampu gantung yang indah, juga jendelanya yang besar dan terdiri dari kaca sepenuhnya membuatnya kagum. Tanpa sadar dia melakukan itu sambil menyesap minuman di tangannya.
Rasanya yang manis tak seperti minuman murah yang biasa dia sajikan pada para tamu di kampung, Emi tak sadar akhirnya dia tandas menghabiskan sampanye itu sampai tak tersisa.
“Aduh!”
Emi merasa kepalanya dan tubuhnya ringan dan nyaman, dia tertawa sendiri berjalan sempoyongan menelusuri lemari hias yang penuh dengan barang antik.
“Hm, aku harus simpan gelas ini dulu sebelum jatuh ke lantai dan pecah!” ucapnya mulai meracau.
Emi meletakkan gelas itu di atas nakas, agak ke pinggir yang mana itu terlihat benar di matanya yang mulai kabur. Gelas ramping yang ringan itu kemudian melayang jatuh begitu saja.
PRANG!
Emi kaget, dia seketika panik dan buru-buru berjongkok memeriksa gelas itu.
“Ya ampun, aku malah menjatuhkannya!” serunya panik.
Berniat untuk membereskan kekacauan yang dibuatnya, Emi meringis merasakan sakit yang menusuk ujung jarinya.
“Aduh!” Jarinya terkena pecahan kristal itu dan berdarah.
Arron yang baru saja keluar dari kamar, terkejut melihat Emi yang tengah berjongkok memegangi tangannya yang berdarah itu.
“Emily!” serunya kaget seraya bergegas menghampiri.
Emi menoleh padanya, dengan pandangan mata yang mulai kabur. Dia mengerjap berusaha memperjelas penglihatannya, namun wangi maskulin yang segar menguar dari lelaki itu membuatnya seketika terpaku. Seluruh indra yang ada di sekujur tubuhnya seolah terbangun dan terjaga disertai desir hangat gairah yang tiba-tiba saja muncul begitu saja.
“Tanganmu berdarah!” desah Arron memegang tangan Emi dengan lembut dan memeriksanya.
Emi merasa dadanya mulai sesak, nafasnya memburu merasakan gairah yang mulai membakar tubuhnya. Dia lalu dibuat terkejut ketika Arron menghisap ujung jari tangannya yang terluka itu, mulut hangat lelaki itu membuat imajinasinya hidup membayangkan apa yang pernah dilakukan mulut itu di bagian tubuhnya yang lain.
Emi menggigit bibir menahan desahan yang ingin keluar dari mulutnya.
“Masih sakit kah?” tanya Arron dengan wajah cemas.
Tapi lalu dia tertegun ketika melihat wajah cantik Emi yang merah merona, bibirnya setengah terbuka disertai nafasnya yang terdengar lebih cepat dari biasa.
“Emily? Kamu baik-baik saja, ‘kan?” tanyanya seraya mendekatkan wajahnya.
Emi mengangguk dengan gugup, namun gadis itu tak bisa mengendalikan matanya yang saat ini tertuju pada bibir tebal milik Arron yang hanya berjarak beberapa senti saja darinya.
“Panas ….“
Alis Arron terangkat mendengarnya, tak mengerti dengan apa yang diucapkan Emi.
“Panas? Kalau begitu ayo duduk dulu, kita juga perlu mengobati tanganmu!” kata Arron seraya merangkul bahu Emi dan mengajaknya untuk berjalan menuju sofa.
“Sebentar aku ambilkan obat dulu!” kata Arron setelah Emi duduk.
Emi terdiam tak menjawab, perempuan itu terlihat gelisah sambil sesekali menyentuh beberapa bagian tubuhnya.
“Kenapa begini?” gumam Emi lirih, tubuhnya terasa panas disertai gairah yang perlahan semakin menggebu.
Emi berbaring, berpikir mungkin itu akan sedikit meredakan semuanya. Namun itu justru membuatnya semakin menjadi, dia mendesah menyentuh tubuhnya sendiri.
“Ahh ….“
Emi tak bisa mengendalikan dirinya, dia menggigit bibir serta memejamkan mata sambil menyentuh bagian sensitif tubuhnya sendiri.
Di sudut ruangan, Arron berdiri bersandar di dinding melihat pemandangan itu. Bibirnya naik membentuk seringai licik penuh intrik.
“Indah sekali, ini yang aku maksud sebagai goyangan maut Sang Biduan!” ucapnya terkekeh kecil.
Arron tertegun ketika dilihatnya Emi mulai membuka pakaiannya sendiri satu persatu dengan frustasi, keringat mengalir membasahi tubuh sintal nan mulus itu serta bagaimana mulut kecil dan bibir mungilnya terbuka dengan nafas memburu. Emi bersandar di sofa sambil mengangkat kedua kakinya ke atas meja, dan mulai beraksi di luar kendali.
“Sial!” geram Arron manakala melihat Emi memainkan puncak dadanya sendiri sambil mendesah nikmat.
“Ohh … ssshh, ahhh!”