38. Rahasia Besar Alvero dan Luka Lama

1422 Kata
Senyum tak kunjung meredup dari gadis kecil sejak kedatangannya di ruang melati 1 siang ini. Bahkan badannya yang kecil itu terus menempel namun seseorang yang ditempeli tak marah sama sekali. “Sela ... Turun dulu sayang. Itu Kakak Ralph kesakitan, loh,” tutur Andara sesekali meringis saat melihat anak bungsunya tanpa sengaja menyenggol perut Ralph. Di tempatnya, Ralph menggeleng tak masalah karena memang sudah tak terlalu sakit. Hanya saja memar bekas pukulan itu masih ada sehingga akan selalu terasa. Kali ini memang Sela bisa mengunjungi Kakaknya karena kebetulan Bu Lita juga sedang menjenguk. Sela yang pada dasarnya selalu penasaran, pada akhirnya diizinkan datang ke rumah sakit meskipun tak lama. Karena jika Bu Lita pulang, maka gadis kecil itu juga harus ikut pulang. “Mama ... Bolehkah Sela tidur disini dengan Kakak Lalph?” Andara yang mendapatkan pertanyaan seperti itu langsung melotot. Bukan karena marah, namun wanita itu shock dengan permintaan anak cantiknya. “Gak boleh, Sela.” Sela hanya bisa cemberut setelah mendapatkan penolakan dari Mamanya. Namun setelahnya gadis itu kembali menatap Ralph dan memeluknya erat. Bahkan posisi Sela seperti mencekik Kakaknya. “Kakak kecekik, Sela,” ujar Ralph kesusahan. Sela melepaskan pelukan itu dan tertawa lucu. Giginya yang kecil membuatnya semakin terlihat imut. “Ibu pulang nanti, kok. Sela boleh main sama Kakaknya dulu, ya ...” ucap Bu Lita yang sempat menyimak perbincangan keluarga kecil tersebut. “TELIMA KASIH BU LITA!” pekik Sela bahagia. *** Pulang sekolah Alvero terlihat mengemasi buku pelajarannya yang berserakan dengan gerakan yang cepat seolah sedang mengejar sesuatu. Hal tersebut disadari oleh Brisia dan Ralin yang rencananya akan mengajak Alvero menjenguk Jeno. “Al!” panggil Ralin. Alvero tanpa menoleh langsung menjawab, “Hm.” “Ikut ke Jeno, kan? Kasian bonyoknya lagi kerja,” ajak Ralin yang perlahan menghampiri tempat duduk Alvero. “Gue gak bisa. Ada urusan,” tolak Alvero. Bisa gagal rencananya untuk mendatangi Ralph dan membahas soal donor yang sempat ia janjikan waktu itu. Brisia diam-diam curiga dengan tingkah sahabatnya. Matanya menelisik Alvero dari atas sampai bawah dengan pandangan mengintimidasi. Sadar diperhatikan, Alvero langsung berpendar mata hingga bertatapan dengan Brisia. “Apa?” “Alvero mau kemana? Inget ya ... Cita-cita Brisia sebagai seorang Psikolog udah dimulai dari baca-baca buku. Jadi tingkah Alvero ini –” “Sorry banget gue beneran ada urusan. Gue janji kalau urusan udah selesai, gue bakal langsung kesana,” potong Alvero kemudian berlari keluar dari kelas. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Ralin pun turut berlari sembari menghubungi supir pribadinya karena Ralph sudah beberapa hari ini tidak kelihatan wujudnya. Jadi dia menyimpulkan jika kekasihnya itu tidak masuk sekolah. Kekasih? Masih pantaskah pria seperti itu dia anggap kekasih? Di depan gerbang, Ralin melihat mobil keluarganya sudah bertengger di sebelah pintu berwarna putih. Segera gadis itu berlari dan memasuki mobil dengan gerakan cepat. Brak! Suara pintu mobil yang ditutup kencang membuat sang supir yang terlelap kaget. Pria paruh baya yang nyawanya belum terkumpul sempurna itu hanya bisa mengerjap saja. “Pak! Jalan ikutin mobil di depan!” sentak Ralin sembari menunjuk keberadaan mobil Alvero yang mulai meninggalkan pekarangan sekolah. Sadar akan tugasnya, Pak Mono segera melajukan mobilnya sesuai dengan arahan Nona mudanya. “RALIN KENAPA BRISIA DITINGGAL???!!!” Sebenarnya dari dalam mobil, Ralin mendengar teriakkan itu. Namun ia tak peduli dan meminta Pak Mono untuk tetap melajukan mobilnya. Mobil berwarna hitam itu terus berjalan melewati macetnya jalanan Ibukota. Ralin sendiri cukup heran karena semakin lama, mobilnya semakin menjauhi Kota. Hingga sekitar 1,5 jam berhenti di sebuah rumah sakit yang lumayan besar. Keningnya mengerut saat melihat Alvero turun dengan tergesa tanpa menggunakan payung. “Non, bawa payung atuh. Hujannya deras, nanti Tuan Mores marah,” cegah Pak Mono kala Ralin bersiap turun dari mobil. Mau tak mau gadis itu menerima payung yang diberikan oleh Pak Mono dan segere membukanya. “Kalau sekiranya lama, Pak Mon tinggal aja,” ucap Ralin dan segera turun dengan tergesa. “Atuh ... Mana mungkin saya ninggalin Nona muda disini,” gumam Pak Mono menatap punggung Ralin yang semakin mengecil. Pria paruh baya itu menurunkan sandaran kursi dan memejamkan matanya. Nikmat Tuhan mana lagi yang akan kau dustakan? Apalagi di dashboard ada banyak makanan ringan. Di gedung rumah sakit, Ralin berjalan mengendap-endap supaya tidak ketahuan oleh Alvero. Matanya menatap sebuah plang bertuliskan Utara namun gadis itu hanya acuh dan terus melanjutkan langkahnya. Kok ... Kamar jenazah? Batin Ralin kaget saat melihat Alvero menuju arah yang ditunjukkan oleh sebuah plang. Namun Ralin seketika mendengus saat ternyata sahabatnya itu hanya melewati saja. Dia sudah berpikir yang macam-macam karena takut ada sesuatu dengan keluarga Alvero. Tak lama Alvero tiba di depan pintu dan tanpa permisi langsung masuk. Melihatnya, Ralin langsung berlari dan bersembunyi di balik tembok. Dia harus berhati-hati karena posisi tembok dan kaca jendela sangat tipis sehingga mudah diketahui dari dalam ruangan. Saat berhasil mengintip siapa seseorang yang sedang dikunjungi oleh Alvero, gadis itu langsung membekap mulutnya karena hampir saja berteriak. Ini sangat diluar dugaan karena yang ia tahu, Alvero sangat membenci sosok tersebut. “Gue harap, lo gak buka mulut soal apa yang lo alami.” “Iya ... Gue gak akan buka mulut tentang ini.” “Seharusnya emang detik itu juga gue bunuh lo, supaya Ralin gak terus mikirin lo yang bahkan udah nyakitin dia.” Di balik dinding, Ralin mengepalkan kedua tangannya. Tanpa dijelaskan lebih lanjut pun dia tahu jika Ralph masuk rumah sakit karena tindakan yang dilakukan sahabatnya. Tak mau mendengar lebih, gadis itu berjalan menuju kursi panjang yang berada di lorong sembari menunggu Alvero keluar. Selang lima menit, terdengar langkah kaki berjalan ke arahnya. Bisa dipastikan itu Alvero karena tak ada orang lain disini mengingat sekitarnya adalah kamar jenazah. Ralin yang tadinya menunduk langsung berlari menarik tangan Alvero ke tempat yang lebih sepi. Bruk! Gadis dengan amarah yang sudah tak bisa dibendung itu membenturkan punggung Alvero pada dinding. “R-Ralin?” Mendadak Alvero gugup ketika berhadapan dengan sahabatnya. Terlebih, bagaimana gadis itu bisa berada disini? “Kaget?” Agar tak terlihat seperti menyembunyikan sesuatu, Alvero langsung menggelengkan kepalanya tegas. Dan hal tersebut justru membuat tawa yang bercampur air mata terjadi. “Kenapa lo sembunyikan ini, Vero?” lirih Ralin. Air mata masih mengalir dari kedua pipinya. “Apa maksud lo?” Disaat seperti ini, Alvero masih bisa berpura-pura jika semuanya baik. “GUE DENGER SEMUANYA, VERO! GUE DENGER APA YANG LO UCAPIN DI KAMAR RALPH TADI!!!” Deg! Jantung Alvero langsung mencelos saat mendengar jawaban Ralin. Pemuda itu menelan ludahnya susah payah. Rahasianya terbongkar? “Bu—bukan gitu maksud gue.” Siall! Kenapa harus gugup? Alvero mengumpat dalam hati. “TERUS APA, VER? LO MASIH BENCI SAMA DIA DISAAT GUE UDAH PUNYA HUBUNGAN SAMA DIA? BAHKAN JENO YANG TERANG-TERANGAN BENCI, GAK PERNAH MAIN FISIK SAMA DIA!!!” Jeritan pilu itu membuat kedua mata Alvero memejam, apalagi Ralin juga menangis karenanya. “GUE BENCI SAMA ORANG YANG SELALU NYAKITIN SAHABAT-SAHABAT GUE! GUE KENAL LO DARI KITA MASIH KECIL, DAN GUE TAU GIMANA WAKTU LO NANGIS KARENA NYOKAP LO LEBIH MILIH BELAIN KEMBARAN LO DARIPADA DIRI LO SENDIRI!” Pada akhirnya Alvero membuka luka lama yang telah dipendam oleh Ralin. Ralin benar-benar mematung. Benarkah yang berada di depannya ini adalah sahabatnya? Orang yang selama ini dipercaya, justru membuka luka lama dalam hidupnya. “AKKHHHH ... HKKKK!!!” Setelah berteriak kencang, Ralin langsung menyandarkan wajahnya pada d**a Alvero. “Kenapa harus lo yang buka luka itu, Ver ...” *** Selepas Alvero pergi, Ralph langsung menarik nafasnya pelan. Entah apalagi cobaan dari Tuhan yang akan menghampiri selain dari Alvero. Dia adalah korban, tetapi dia juga yang diancam. Cklek! Karena terlena dengan lamunan, Ralph sampai tidak menyadari jika seseorang masuk ke ruangan dan mengayunkan tangan di depan wajahnya. Bahkan pemuda itu seolah tuli dengan teriakkan Ralin dan Alvero yang jaraknya tidak terlalu jauh. “Cleon ...” Mendengar seruan lembut itu barulah Ralph tersadar. “Chloe? Kapan lo dateng?” Chloe hanya tersenyum saja menanggapi. “Ayo makan dulu. Tadi dokter bilang, kamu udah boleh mengkonsumsi bubur,” titah Chloe dengan menyodorkan bubur di depan bibir Ralph. Puji Tuhan ... Mata Ralph sampai merem melek setelah bubur yang sangat halus itu melewati kerongkongannya. Masakan Chloe memang tak perlu diragukan lagi. Ralph tentu saja hafal karena dia pernah bekerja dengan gadis itu selama beberapa tahun. “Apa perutmu sakit setelah bubur itu tertelan?” tanya Chloe saat matanya melihat Ralph terpejam. Seketika Ralph membuka mata dan berujar, “Enggak. Itu gue menikmati rasa masakan lo yang rasanya selalu enak.” Tidak tahukah Ralph, jika pujian itu membuat gadis di depannya baper namun masih berusaha menampik? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN