Jalanan yang gelap karena waktu hampir memasuki tengah malam tak membuat mobil yang berisikan Ralph serta Ralin itu gentar. Mobil hitam itu melaju di kegelapan malam karena panggilan untuk shooting yang memang serba mendadak. Ralph yang berada di samping gadisnya, menyentuh perutnya yang terasa perih. Bukan karena lapar, namun ia merasa jika perutnya seperti ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum. Sepertinya efek kerusakan pada lambungnya kembali dirasakan olehnya.
“Jangan sekarang, pliss ...” gumam Ralph pelan sekali supaya tidak membangunkan Ralin. Jika gadis itu terbangun, maka semua rahasianya akan terbongkar dan permusuhan antara Ralin dan Alvero semakin menjadi-jadi.
Dari spion tengah, sang supir melihat jika kekasih Nonanya bergerak gelisah namun tak sampai hati membangunkan Nonanya. Ingin bertanya, namun takut jika suaranya akan membangunkan sang Nona.
Setelah menempuh perjalanan selama tiga jam, tepat pada pukul dua dini hari mobil hitam tersebut tiba di sebuah villa. Lokasi shooting kali ini berada di puncak Bogor yang membuat Mores mau tak mau mengizinkan putrinya membolos.
“Class bangun ...” Ralph menepuk pelan pipi gadis itu hingga si empu mengulet pelan.
“Udah sampe, ya?” Dalam keadaan setengah sadar, Ralin menatap ke arah luar jendela.
“Hm, ayo.”
Mengetahui jika Ralph akan membawakan peralatannya, Ralin segera mencegah. “Ini bukan tugas lo. Gue ada asisten yang emang khusus buat gue kalau lagi job.” Gadis itu segera menggulirkan layar ponselnya yang tak diketahui oleh Ralph.
Tok! Tok!
Ketukan pada kaca mobil membuat Ralin segera menurunkan kaca tersebut. Terlihat seorang wanita berusia 30 tahunan menyembulkan kepalanya hingga Ralph kaget.
“Non, kamarnya sudah saya siapkan. Lebih baik istirahat dulu soalnya kata Bro Andro take pertama jam 8,” ujar Silvia, managernya.
Ralph hanya terdiam sembari menunggu diperintahkan oleh sang ratu. Katakan saja dia bucin yang berlebihan. Sedangkan Ralin menanggapi ucapan Silvia dengan anggukan kecil.
“Ayo.” Gadis itu mengajak Ralph untuk segera turun dan masuk ke villa. Udara di luar sangat dingin mengingat lokasi mereka saat ini di puncak. Ralph mengangguk dan berjalan bersebelahan dengan Ralin. Melihat jika bosnya sudah berlalu, Silvia langsung memasukkan barang bawaan bosnya ke kamar yang nantinya di tempati gadis itu.
***
Suasana pagi di puncak Bogor ternyata sangat menyenangkan. Selain udara yang sejuk, Bogor juga memiliki pemandangan yang tentu saja berbeda dari tempat tinggalnya selama ini. Itu yang ada di pikiran Ralph. Saat ini Ralph sedang menikmati secangkir teh hangat dan roti tawar dengan meses coklat, sangat cocok untuk vibes pagi yang di depan matanya terdapat pegunungan.
“Ralph!” Sebuah panggilan mengalihkan atensi Ralph dari keindahan puncak. Saat menoleh, Ralph langsung disuguhkan dengan pemandangan yang lebih indah daripada di depannya tadi. “Heh, malah ngelamun!” gertak gadis itu kembali saat tak mendapati respon dari Ralph.
“Ngeliat lo pagi-pagi gini bikin perhatian gue beralih sama lo,” gombal Ralph setelah sadar dari lamunannya.
“Gak usah gombal, gak mempan!” tukas Ralin malas.
Ralph tersenyum hingga menampilkan deretan gigi putihnya. Saat sedang asik mengobrol, Silvia datang menginterupsi bahwa sarapan pagi telah disiapkan.
“Non, Mas, saya sudah siapkan sarapan. Segera dimakan supaya bisa lebih santai soalnya jam tujuh nanti team make up minta para artisnya untuk stay,” tutur Silvia sesuai dengan pesan Bro Andro tadi.
“Ayo. Lo harus sarapan yang banyak biar gak pusing pas didandani,” ucap Ralph yang mendapat dengusan dari gadisnya.
“Lebay, lo!” Ralin beranjak masuk dan meminta Ralph untuk ikut serta.
Di dalam villa hanya ada Ralph dan gadisnya saja karena memang deretan villa disini sudah dikontrak oleh rumah produksi untuk kebutuhan shooting. Sehingga masing-masing talent terjaga privasinya.
Ralph melirik Ralin yang terlihat termenung di depan meja makan. Bisa Ralph tebak jika gadis itu memikirkan kostumnya yang ukurannya sesuai dengan bentuk tubuhnya saat ini. Pemuda itu menghela pelan sembari berdecak pelan. Perempuan itu terlalu ribet menurutnya.
Lapar ingin makan, takut gemuk.
Setelah melihat semua masakan ini, Ralph ingin sekali menghabiskan semuanya. Namun Ralph masih tau aturan kalau disini masih ada Silvia yang juga membutuhkan sarapan karena sebagai manager, kegiatan Silvia lebih berat darinya. Tidak tau saja dia jika semua yang ada di meja makan memang di khususkan untuk dirinya dan Ralin.
“Non, kenapa gak dimakan? Masakan saya gak enak?” Silvia yang kebetulan akan melewati ruang makan begitu saja, langsung berseru saat melihat Nonanya sama sekali tidak mau menyenggol makanannya.
Ralin tersentak dan menggeleng. “Saya belum makan, Mbak.”
“Hah? Sepertinya Nona sudah berada disini sejak tadi.” Tentu saja Silvia kaget karena ia cukup lama mengobrol dengan asisten lain di luar villa.
“Sa-saya takut wardrobe yang sudah disiapkan, tidak muat saya pakai kalau pagi ini saya harus sarapan.”
Penjelasan itu sungguh membuat Silvia tertawa. Terlalu lama tidak mengambil job sepertinya membuat gadis itu melupakan kebiasaannya. Segera saja Silvia mengambil sesuatu dari dalam Sling bag miliknya dan menyerahkannya kepada Ralin.
“Biasanya kan Non Ralin minum ini sehabis makan di lokasi shooting,” ucap Silvia.
Ralin mengamati obat tersebut kemudian menipiskan bibirnya. Sejak tadi Ralph memperhatikan gadisnya yang seperti orang linglung karena terlalu lama tidak mengikuti kegiatan shooting.
“Mending lo minum realfood daripada harus konsumsi obat. Kalau di konsumsi jangka panjang, obat yang lo bikin ini bisa mengeras di organ dalam dan bikin ginjal lo rusak,” sahut Ralph memberitahu.
Mendengar penjelasan itu, Ralin langsung bergidik. Bagaimana jadinya jika salah satu organ dalamnya rusak? Dia tidak mau mati!
“Saya minum realfood aja, Mbak,” tolak Ralin.
Silvia menarik kedua sudut bibirnya dan mengangguk. Sepertinya pengaruh Ralph sangat besar untuk Nonanya.
“Memang seharusnya seperti itu, Nona.”
***
Di SMA Bengawan, Zigo terlihat lontang-lantung karena hari ini sahabatnya kembali tak masuk sekolah. Pemuda itu berulang kali menghubungi Ralph namun selalu tak mendapatkan jawaban. Zigo tidak tau saja jika di sebrang sana, Ralph kelimpungan karena signal pada ponselnya melemah hingga dia tak bisa menghubungi Mamanya.
“Zigo ... Cleon gak masuk, ya?”
Zigo mengalihkan pandangannya kepada Chloe yang saat ini sedang menatapnya. Pemuda itu mengangguk sebagai jawaban dan berujar. “Iya. Gak biasanya dia gak masuk tanpa izin gini. Pasti gara-gara tuh cewek gak jelas.”
Chloe merasa terhibur dengan tingkah Zigo yang selalu menggebu-gebu ketika menjelaskan soal kekasih dari Ralph. Kekasih? Seketika bibirnya mendatar kala mengingat jika ia tak bisa lagi memiliki Ralph. Namun bukan Chloe namanya jika merebut milik orang.
Sangat tidak mungkin! Dia adalah gadis yang dididik untuk tidak merusak kebahagiaan orang lain dan dia berharap akan selalu seperti itu.
“Ralin cewek baik, Zigo ... Jangan benci terlalu lama, takutnya kamu jatuh cinta sama dia,” gurau Chloe membuat mata Zigo melotot tak percaya.
“Ogah! Gak sudi gue suka sama dia. Gue inget banget kalau semuanya gara-gara tuh cewek sampai Ralph harus terjebak sama dia!” ujar Zigo kembali menggebu-gebu hingga otot lehernya terlihat jelas.
Penjelasan yang dilontarkan Zigo itu membuat Chloe mengerti jika pemuda di hadapannya adalah sosok yang mudah emosi.
“Setiap orang berhak memiliki amarah, namun tidak untuk seterusnya.”
***